Menuju konten utama

Setelah Catalunya, Kini Basque Ingin Merdeka

Geliat referendum Catalunya menular ke Basque, sebuah daerah otonom yang puluhan tahun memelihara aspirasi kemerdekaan dari Spanyol.

Setelah Catalunya, Kini Basque Ingin Merdeka
Bendera Basque berkibar di Pamplona, Spanyol.

tirto.id - Ketika ribuan warga Catalunya menuntut kemerdekaan dengan mengadakan referendum pada 1 Oktober lalu, dukungan membanjir dari warga Basque yang mayoritas bermukim di sebelah timur laut Spanyol, dekat perbatasan Perancis.

Dukungan ditunjukkan lewat demonstrasi besar di wilayah Basque pada Jumat (29/9) sebelum referendum Catalunya. Aspirasi kemerdekaan warga Basque ikut naik.

"Saya menginginkan kemerdekaan seperti yang diminta Catalunya sekarang. Kami ingin menyebut diri kami bangsa Basque. Kami bukan Spanyol, meskipun KTP kami Spanyol," kata seorang warga Basque kepada Euronews.

“Basque” merujuk pada budaya, bahasa, dan penduduk beretnis Basque yang tinggal di sebagian wilayah Spanyol dan Perancis. Tiga provinsi Spanyol (Alava, Vizcaya, dan Guipuzcoa) dihuni orang Basque. Sejak konstitusi Spanyol 1978 disahkan dan berlaku pada tahun baru 1979, tiga wilayah tersebut kini berstatus daerah otonom. Pada 2011, populasi Basque berusia 16 tahun ke atas tercatat sekitar 2,6 juta jiwa.

Sedangkan di Perancis, etnis Basque menghuni provinsi Labourd, Lower Navarre, dan Soule. Jumlahnya lebih sedikit dari etnis Basque di Spanyol: 239.000 jiwa. Di luar Perancis dan Spanyol, warga Basque juga berdiaspora di Amerika Serikat dan negara-negara di Amerika Latin. Dibandingkan Spanyol, aktivitas pro-kemerdekaan Basque di Perancis kurang terdengar karena jumlah populasinya kecil.

Kemunculan nasionalisme Basque tidak bisa dilepaskan dari politik penyeragaman budaya oleh para penguasa Spanyol. Pada masa pemerintahan Raja Felipe V (1683-1746), melalui serangkaian dekrit Nueva Planta, Kerajaan Kastila memusatkan kekuasaan seluruh monarki Spanyol di Madrid.

Baca juga: Spanyol Jadi Sarang Separatis Akibat Penyeragaman Etnis

Menurut ketentuan tersebut, pelbagai bahasa lokal dihapus dan diganti bahasa Kastila. Madrid pun mengirim pejabat ke daerah-daerah di luar Kastila untuk menjalankan pemerintahan lokal. Dekrit Nueva Planta diputuskan guna meredam potensi pembangkangan terhadap Felipe V.

Kemunculan Republik Spanyol pada 1931 juga memecah aspirasi politik etnis Basque, terutama di wilayah Vizcaya dan Guipuzcoa. Beberapa daerah Basque lain seperti Navarra ingin menyaksikan Republik Spanyol hancur. Sementara wilayah Alava memutuskan untuk tetap bersatu dengan Republik Spanyol asalkan diberi status daerah otonom.

Kediktatoran Franco Melahirkan Separatisme

Ketika Jendral Francisco Franco naik ke tampuk kekuasaan pada 1939, kebijakan penyeragaman ala Raja Philip V kembali diterapkan, khususnya pada kelompok-kelompok etnis minoritas di pinggiran Spanyol. Bahasa Spanyol dijadikan alat untuk membungkam bahasa-bahasa lokal termasuk di Basque hingga Catalunya.

Tak pelak lagi, kebijakan ini menyuburkan nasionalisme Basque. Lalu meletuslah konflik Basque pada 1959 yang tercatat dalam sejarah sebagai perlawanan bersenjata terpanjang dan paling berdarah yang harus dihadapi pemerintah Spanyol.

Ketika itu, organisasi mahasiswa yang menamai diri Basque Euskadi Ta Askatasuna (ETA) atau Basque Homeland and Freedom mencuat pada awal 1950-an sebagai bentuk frustrasi dari sikap moderat Partai Nasionalis Basque. Rezim Franco mati-matian menghancurkan ETA di Provinsi Basque, melakukan penangkapan acak, penyiksaan, dan pembunuhan. Pada 1969-1970, para pemimpin pucuk ETA ditangkap oleh polisi dan disidang secara militer di Kota Burgos.

Kematian Franco pada 1975 kenyataannya gagal menjinakkan ETA. Seakan membalas dendam atas kebrutalan Franco selama bertahun-tahun, jumlah pembunuhan atas nama ETA malah berlipat ganda. Sebagian besar korban pembunuhan adalah para perwira militer, hakim, dan pejabat tinggi Spanyol.

Baca juga: Referendum Catalunya dan Sinyal Buruk Demokrasi Spanyol

Langkah pemerintahan demokratis Spanyol pasca-Franco dengan memberi otonomi daerah berdasarkan Konstitusi Spanyol 1978 yang meliputi provinsi Alava, Vizcaya, dan Guipuzcoa tak menyurutkan niatan kelompok ETA untuk tunduk dan menerima. Bahkan pemerintah Spanyol gagal meredam keinginan etnis Basque sekalipun mengajukan pengampunan kepada anggota ETA jika meninggalkan tindakan separatisme.

Operasi-operasi ETA dibiayai dari perampokan, penculikan, dan pajak yang diperas dari pengusaha. Usai kematian Franco, ETA mendirikan organisasi front politik seperti Herri Batasuna supaya dapat mengikuti pemilu.

ETA berhenti melakukan kekerasan setelah mengikuti konferensi Oktober 2011 yang turut dihadiri oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan. Konferensi ini mendesak ETA untuk meninggalkan segala bentuk kekerasan serta meminta Spanyol dan Perancis menggelar perundingan. Desakan itu disanggupi ETA yang lekas mengumumkan gencatan senjata, meskipun berjanji untuk terus memperjuangkan berdirinya negara Basque yang merdeka.

Infografik Basque Ingin merdeka

Otonomi Basque Saja Tidak Cukup

Status otonomi Basque berdasarkan hasil referendum 1979 telah disahkan dalam konstitusi Spanyol. Namun, gerakan bersenjata seperti ETA masih terus beraksi menuntut kemerdekaan Basque secara penuh.

Diego Muro Ruiz dalam tesisnya berjudul Ethnicity and Violence: The Case of Radical Basque Nationalism menyebutkan sejumlah faktor kultural penggerak nasionalisme Basque. Orang Basque memelihara persepsi diri sebagai bangsa dengan bahasa dan budaya yang unik, termasuk tradisi egaliter yang berakar dari adat-istiadat.

Versi lain seperti yang ditulis dalam laporan United State Institute of Peace berjudul The Basque Conflict and ETA The Difficulties of an Ending menyatakan peran orang-orang Basque dalam penulisan sejarah pembentukan negara Spanyol dikesampingkan. Akibatnya, mereka dianggap sebagai orang asing di tanah Spanyol.

Terlebih lagi dalam Referendum Basque pada 25 Oktober 1979, para nasionalis Basque memilih absen. Walhasil, konstitusi baru yang memberikan hak otonomi bagi Basque hanya didukung oleh 31 persen penduduk Basque. Barulah pada negosiasi undang-undang otonomi pada tahun berikutnya, Partai Nasional Basque mulai memberikan masukan dan susunan kerangka konstitusi.

Baca juga: Gonjang-Ganjing Referendum Kemerdekaan Kurdistan Irak

Sementara itu, organisasi seperti ETA tetap bersikukuh menolak hasil referendum yang hanya memberikan status otonomi. Penolakan ini menimbulkan perpecahan politik antara kaum nasionalis Basque yang pro-kemerdekaan dan orang-orang Basque yang pro-Spanyol.

Berbagai partai politik di Basque juga sempat mekar dan kini tumbang. Beberapa yang masih hidup sampai detik ini adalah Partai Nasionalis Basque, Eusko Alkartasuna, Sortu, dan Aralar.

Partai Nasionalis Basque sendiri adalah partai paling populer dan tertua. Berdiri sejak 1895, partai ini memimpin daerah otonom Basque sejak 1980, kecuali pada 2009 sampai 2013.

Pada 2008, sebuah proposal referendum kemerdekaan Basque sempat dilayangkan sebelum kesepakatan damai antara ETA dan pemerintah Spanyol tercapai pada 2011. Namun, atas desakan Madrid, proposal ini berhasil dicegat oleh Mahkamah Agung Spanyol.

Madrid berdalih bahwa mereka ingin mengakhiri konflik dengan ETA sehingga referendum kemerdekaan tidak diperlukan.

Baca juga: Mengingat Referendum, Jalan Panjang Kemerdekaan Timor Leste

ETA sendiri mendapat banyak sorotan di tubuh gerakan nasionalis Basque karena aktivitasnya yang berdarah. Sejak 1968 sampai 2011, kelompok ETA telah membunuh 840 orang, melukai sekitar 2.500 orang, dan menculik 80 orang. Angka kematian nihil selama tahun 2003 sampai 2006. Adapun dalam kurun waktu 2006 hingga kesepakatan perdamaian pada 2011, hanya 12 kematian tercatat.

Aroma kemerdekaan Catalunya merambah dunia sepak bola dengan mendirikan tim nasional Catalunya yang berlaga dengan tim nasional dari negara-negara lain. Demikian pula Basque dengan timnasnya yang melawan timnas Tunisia dalam pertandingan internasional pada 30 Desember 2016.

Baca juga: Apa Jadinya Timnas Spanyol Tanpa Catalunya dan Basque?

Beberapa pemain sepak bola dunia juga berdarah Basque. Sebut saja Xabi Alonso yang kariernya moncer saat memperkuat Liverpool, Real Madrid, dan terakhir berseragam Bayern Munich. Juga Ander Herrera yang tergabung dengan Manchester United, serta Fernando Llorente yang pernah berseragam Juventus dan kini membela Tottenham Hotspur.

Baca juga artikel terkait REFERENDUM CATALUNYA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf