tirto.id - Upaya pemerintah Spanyol menghalangi Catalunya untuk mengadakan referendum kemerdekaan pada hari Minggu (1/10/2017) berujung kekacauan. Referendum yang rencananya diselenggarakan dengan damai justru ditanggapi mendapat tekanan aparat keamanan.
Dengan tujuan menutup TPS dan menyita isinya, pemerintah pusat mengirimkan sejumlah besar personel polisi anti huru-hara ke seluruh wilayah di Catalunya. Akibatnya, korban luka-luka jatuh dari warga sipil. New York Timesmelaporkan, referendum tersebut awalnya berjalan kondusif. Laki-laki, perempuan, muda dan tua, hingga anak-anak saling bernyanyi dan bertepuk tangan jelang pencoblosan
Menurut pejabat Catalunya, ratusan orang terluka akibat kericuhan tersebut, sementara polisi mengklaim jumlahnya hanya puluhan. Kekerasan yang dilakukan pemerintah pusat melalui aparat kepolisian nampaknya hanya akan meningkatkan militansi warga Katalunya untuk menentukan nasib sendiri, sebuah aspirasi yang telah mengalir sejak abad 19.
Referendum pada hari Minggu merupakan babak baru dari kebuntuan proses-proses politik antara pemerintah pusat dan Catalunya. Otoritas Catalunya sudah lama menginginkan kemerdekaan dari Madrid. Catalunya beranggapan, Madrid berlaku tidak adil dengan mengeruk kekayaan Catalunya serta menolak hak untuk menentukan nasib (self-determination).
Pemimpin pemerintahan otonomi Catalunya Charles Puigdemont menuduh pemerintah Spanyol telah menggunakan cara yang “tidak dapat dibenarkan dan tidak bertanggung jawab” guna menghentikan referendum. “Hari ini, Spanyol telah kehilangan lebih banyak dari yang telah hilang dan warga Catalunya telah menang lebih banyak dari yang didapatkan,” ungkap Puigdemont saat berbicara di keramaian Sant Juli de Ramis. “Citra Spanyol telah mencapai tingkat memalukan yang akan tinggal bersama mereka selamanya.”
Baca juga: Referendum Kurdi: 93% Warga Memilih Merdeka dari Irak
Pemerintah Madrid dengan dukungan pengadilan Spanyol mengumumkan bahwa referendum kemerdekaan Catalunya adalah ilegal dan inkonstitusional. Pihak berwenang Spanyol menyatakan pemerintah separatis telah mendorong pemilih untuk melanggar hukum. Soraya Saenz de Santamaria, wakil Perdana Menteri Spanyol, memuji aparat kepolisian karena telah bersikap profesional dengan menghalangi pemungutan suara yang semestinya “tidak boleh dirayakan”.
Referendum Catalunya sudah direncanakan sejak Juni lalu dan disetujui parlemen provinsi tersebut pada 6 September 2017. Sehubungan dengan lahirnya keputusan Parlemen Catalunya tersebut, Puigdemont bersikeras bahwa pengadilan maupun pemerintah pusat tidak dapat menunda keputusan pemerintahan Catalunya untuk memerdekakan diri.
Pemerintah Spanyol tidak tinggal diam. Perdana Menteri Mariano Rajoy mengecam wacana referendum Catalunya sebagai tindakan melanggar hukum. Ia lantas mendesak Mahkamah Konstitusi menunda keputusan yang telah disahkan Parlemen Catalunya. Selain itu, pemerintah pusat Spanyol mulai bergerak untuk melakukan langkah-langkah riil: mengontrol penuh anggaran otonomi, memaksa kepolisian daerah untuk menerima komando Garda Sipil Spanyol, menangkap para pejabat yang terlibat perencanaan referendum, menyita sekitar 10 juta surat suara disita, dan menutup situs-situs berisikan informasi referendum.
Baca juga: Pemerintah Spanyol Bersiap Cegah Referendum Catalunya
Meski demikian, hasil referendum berakhir manis; 90 persen dari 2,26 juta warga yang mencoblos memilih "Ya," alias merdeka.
Masalah Klasik
Gerakan kemerdekaan Catalunya telah dimulai sejak diktator fasis Fransisco Franco berkuasa pada 1939. Di bawah Franco, penggunaan bahasa Catalunya dilarang dan semua institusi pemerintah setempat dihapus untuk mengakhiri regionalisme di Spanyol. Setelah pemerintahan Franco berakhir pada 1975, keadaan perlahan berubah. Pemerintah Spanyol mengembalikan status Catalunya sebagai wilayah otonom di Spanyol.
Pada 2010, sekitar 25 persen masyarakat Catalunya menyatakan ingin merdeka dari Spanyol. Setahun kemudian, menurut Pusat Studi Opini Catalunya lebih dari 30 persen masyarakat Catalunya mendukung kemerdekaan. Jumlah ini meningkat menjadi 57 persen pada 2012.
Melihat terus naiknya suara pro-kemerdekaan tiap tahunnya, upaya lebih serius pun dilakukan pada 2014. Pemungutan suara informal dilaksanakan pada bulan November. Hasilnya, sekitar 2,25 dari total 5,4 juta warga Catalunya coblos merdeka. Mantan Presiden Catalunya Arthur Mas memuji hasil tersebut sebagai kesuksesan besar. Berkaca dari itu, Mas mendorong adanya referendum formal di masa depan dengan membandingkan situasi Skotlandia yang melakukan referendum pada September 2014. Pada 2017, wacana referendum kembali muncul dan didukung 41,1 persen warga Catalunya berdasarkan jajak pendapat Juli lalu.
Baca juga: Referendum Catalunya: 90 Persen Warga Memilih Merdeka
Secara garis besar, terdapat dua alasan mengapa Catalunya getol menuntut merdeka. Alasan pertama ialah krisis ekonomi 2008, yang telah menyebabkan kenaikan angka pengangguran dan hutang di Spanyol, tak terkecuali di Catalunya. Berdasarkan data pemerintah dari 2005 hingga 2016, ditemukan korelasi yang tinggi antara dukungan kemerdekaan dan pengangguran di Catalunya.
Masyarakat Catalunya percaya bahwa Madrid punya andil besar dalam krisis tersebut. Asumsi ini diperkuat lagi dengan permintaan Madrid kepada Catalunya untuk membayar pajak lebih tinggi dibanding wilayah lain guna memperkuat perekonomian wilayah miskin di Spanyol. Menurut Reuters, Catalunya membayar pajak senilai $12 miliar per tahun kepada Madrid. Nyatanya, dari jumlah pajak yang disetorkan ke Madrid tidak mempengaruhi besarnya imbalan yang diperoleh Catalunya.
Seketika isu pajak, krisis finansial, pengangguran, hingga rasa terabaikan yang dialami Catalunya menghidupkan kembali gejolak separatis. Pada 2012, wacana referendum untuk memerdekakan diri didukung oleh Mas, mantan pimpinan Catalunya setelah Madrid menolak mengalokasikan banyak dana ke Catalunya maupun memberikan kebebasan fiskal.
Alasan kedua,keputusan pemerintah Madrid untuk membatalkan pemberlakuan Undang-Undang Peradilan Konstitusi 2010. Dalam perkembangannya, undang-undang tersebut bertujuan untuk meningkatkan kedaulatan dalam Statuta Otonomi Catalunya agar setara dengan konstitusi. Kedua alasan di atas meyakinkan masyarakat Catalunya bahwa kehidupan mereka akan menjadi lebih baik apabila berada di bawah kendali pemerintahan sendiri.
Sejak saat itu pula Madrid gigih menentang referendum dengan alasan bahwa tindakan tersebut dilarang melanggar konstitusi 1978, yang salah satu pasalnya berbunyi “setiap wilayah merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari Bangsa Spanyol.”
Selain faktor di atas, tuntutan referendum juga didasari politik identitas yang kuat. Budaya, tradisi, hingga bahasa Catalunya telah memberikan identifikasi ataupun karakter yang melekat pada setiap masyarakat Catalunya. Menurut penelitian, dua nilai suci Catalunya dianggap memotivasi gerakan kemerdekaan, yakni menentukan nasib sendiri dan melindungi identitas Catalunya.
Baca juga: Gonjang-Ganjing Referendum Kemerdekaan Irak Kurdistan
Dari studi-studi yang ada, penolakan terhadap aspirasi separatis umumnya hanya akan memperbesar gerakan kemerdekaan lebih jauh. Sampai referendum itu terjadi, masih banyak orang yang bingung memilih. Namun, setelah Madrid menolak referendum mentah-mentah, banyak yang kecewa dan menyatakannya dukungan atas kemerdekaan.
Pada hakikatnya, menurut kepala urusan luar negeri pemerintah regional Raul Romeva, Catalunya selalu terbuka untuk setiap pembicaraan yang tak melulu berlandaskan hitam-putih merdeka atau status quo. Akan tetapi, respons pemerintah yang dianggap kurang baik justru malah memperlebar jarak antara Madrid dan Catalunya.
Di samping itu, Romeva menolak gagasan bahwa Catalunya melanggar konstitusi Spanyol. Menurutnya, apa yang dilakukan Catalunya saat ini adalah dialog politik.
Memburuknya situasi di sekitar referedum catalunya menunjukkan satu hal: demokrasi tidak berjalan baik. Hammad Sheikh, Angel Gomez dan Scott Atran dalam studinya menyebutkan hanya 23 persen orang Spanyol yang menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang sakral.
Baca juga: 844 Orang Terluka Akibat Kericuhan Saat Referendum Catalunya
Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai warga di Spanyol, Sheikh dkk. menyimpulkan bahwa turunnya kepercayaan masyarakat disebabkan karena pemerintah pusat tidak responsif dalam memenuhi kebutuhan warganya. Bagi masyarakat Spanyol (yang menjadi narasumber dalam studi tersebut) demokrasi Spanyol adalah ketika para pejabat mencuri jutaan uang rakyat, tanpa peduli nasib warganya, dan memprioritaskan kekuasaan pribadi belaka. Partai Rakyat yang saat ini berkuasa, misalnya, terlibat dalam 65 kasus korupsi.Sikap Perdana Menteri Rajoy yang kerap membela para tersangka pun dinilai mengecewakan. Walhasil, banyak orang mempertanyakan bagaimana arah pemerintahan saat ini.
Kekerasan di Catalunya hanya akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan dari wilayah lain seperti Basque dan Galicia.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf