tirto.id - Minggu (1/10/2017) adalah hari yang bersejarah bagi warga Catalunya. Mereka turut berpartisipasi dalam referendum kemerdekaan yang sudah direncanakan sejak Juni lalu dan disetujui parlemen provinsi pada 6 September 2017. Meski mendapat tantangan keras dari Pemerintah Spanyol, pemimpin pemerintahan otonomi Catalunya Charles Puigdemont bersikeras bahwa pengadilan maupun pemerintah pusat tidak dapat menunda gerakan kemerdekaan warganya.
Pemerintah Madrid mengumumkan referendum kemerdekaan Catalunya adalah ilegal, inkonstitusional, dan mendorong warga Spanyol untuk melanggar hukum. Kementerian dalam negeri Spanyol mengatakan 336 pusat pemungutan suara, dari lebih dari 2.000 di seluruh wilayah, telah ditutup oleh polisi lokal dan nasional.
Soraya Saenz de Santamaria, wakil Perdana Menteri Spanyol, memuji aparat kepolisian karena telah bersikap profesional dengan menghalangi pemungutan suara yang semestinya “tidak boleh dirayakan”. Sayangnya, apa yang dipuji Saenz juga meliputi tindakan represif dan kekerasan oleh aparat kepada para peserta referendum, baik di luar maupun di dalam gedung tempat pemungutan suara.
Polisi juga mendesak mundur para pemilih dari tempat pemungutan suara sambil memukuli mereka dengan pentungan. Menurut Kementerian Kesehatan Catalan, 844 orang yang terluka akibat aksi kekerasan yang dilancarkan kepolisian Spanyol. Dua korban paling parah dirawat di rumah sakit Barcelona.
Baca juga: Referendum Catalunya dan Sinyal Buruk Demokrasi Spanyol
Terlepas dari aksi yang dikecam dunia internasional itu, referendum tetap dilanjutkan hingga selesai. Hasilnya: 90 persen dari 2,26 juta warga yang melakukan pemungutan suara memilih ingin merdeka dari Kerajaan Spanyol. Seperti dilaporkan The Guardian, 8% pemilih menolak kemerdekaan dan sisanya berupa surat suara kosong atau tidak berlaku. Puigdemont kemudian akan mengirimkan hasil pemungutan suara hari ini kepada parlemen Catalan.
Ini bukan akhir dari perjuangan rakyat Catalunya. Perdana Menteri Mariano Rajoy telah mendesak Mahkamah Konstitusi menunda keputusan yang telah disahkan Parlemen Catalunya.
Selain itu pemerintah pusat Spanyol mulai bergerak untuk mengontrol penuh anggaran otonomi, memaksa kepolisian daerah untuk menerima komando Garda Sipil Spanyol, menangkap para pejabat yang terlibat perencanaan referendum, menyita berkas-berkas terkait referendum, dan menutup situs-situs berisikan informasi referendum.
Ada dua alasan utama mengapa Catalunya ingin merdeka. Pertama, ialah krisis ekonomi 2008, yang telah menyebabkan kenaikan angka pengangguran dan hutang di Spanyol, tak terkecuali di Catalunya. Kedua, pembatalan pemberlakuan Undang-Undang Peradilan Konstitusi 2010 yang berisi peningkatan kedaulatan dalam Statuta Otonomi Catalunya.
Alasan pokok lain yang konsisten menguatkan solidaritas rakyat Catalunya sejak beratus-ratus tahun silam: mereka punya identitas politik dan budaya yang khas sekaligus kuat. Lebih kuat daripada ikatan nasionalistik kepada Kerajaan Spanyol.
Makin Diseragamkan, Makin Ingin Kemerdekaan
Catalunya hanya satu dari kawasan penuh separatis di Spanyol yang selalu merepotkan pemerintah pusat. Suara kemerdekaan lain yang tergolong populer dan legendaris di Negeri Matador datang dari rakyat Etnis Basque. Rakyat Basque tinggal di Spanyol bagian utara, terutama di Provinsi Alawa, Biscay, dan Gipuzkoa.
Komunitas masyarakat Basque diberikan status pemerintahan sendiri berdasarkan Konstitusi Spanyol 1978, sebuah era baru bagi Spanyol modern setelah hampir 40 tahun dikuasai oleh diktator Fransisco Fanco.
Selama berkuasa, Franco memiliki kebiasaan penyeragaman dari banyak aspek yang membuat wilayah-wilayah, termasuk Basque dan Catalunia, gerah. Kebijakan ini pernah dilakoni oleh Philip V, raja Spanyol yang berkuasa sepanjang tahun 1683-1746. Salah satu yang paling krusial adalah peniadaan batas internal negara antar masing-masing wilayah. Regionalitas adalah musuh yang ingin diperangi sang raja. Kebijakan penyeragaman ia tuangkan dalam “Keputusan Nueva Planta”.
Politik Spanyol era Philip V makin tersentralisasi. Tujuannya tentu demi penguatan kekuatan monarki, sebagaimana kebijakan kerajaan besar di Eropa lain. Namun kebijakan ini juga jadi dalih untuk merepresi wilayah-wilayah yang menentang kekuasaan Philip V. Represinya pun datang dalam berbagai bentuk. Selain penyeragaman secara kultural dan birokratis, datang pula represi melalui angkatan senjata jika penyelewengan di sebuah wilayah dirasa sudah terlalu parah.
Pejabat elite di masing-masing wilayah diangkat langsung dari Madrid, ibukota Kerajaan Spanyol hingga kini. Sebagian besar institusi lokal dihapuskan dan diganti dengan lembaga perwakilan asal pusat. Kasus-kasus hukum hanya direpresentasikan dan didebatkan memakai bahasa Kastillia yang menjadi bahasa resmi pemerintah pusat, menggantikan bahasa-bahasa lain yang jadi penyambung lidah rakyat lokal, seperti Bahasa Latin atau Bahasa Catalan.
Baca juga: Mengingat Referendum, Jalan Panjang Kemerdekaan Timor Leste
Kebijakan penyeragaman dilawan oleh sejumlah elit lokal yang memiliki kesadaran nasionalisme lokal. Dasar perlawanan mereka adalah atribut-atribut tradisional, historis, linguistik, maupun budaya yang khas dan patut untuk dipertahankan. Identitas politik yang menolak dihilangkan oleh raja. Rakyat Catalan adalah salah satu pemberontak yang paling bandel. Tak heran jika huru-hara yang dihasilkan berlangsung hingga kini, merentang dari urusan politik, kultural, hingga sepakbola.
Sejarah mencatat ada sejumlah pemberontakan fisik akibat kerasnya sikap Philip V, dan rata-rata berhasil ditumpas kerajaan Spanyol. Sentimen nasionalisme lokal kemudian makin besar di abad ke-19, bertepatan dengan melemahnya kekuasaan Kerajaan Spanyol, lalu diikuti dengan penghapusan hak istimewa, pelanjutan tradisi dagang antarkawasan (yang sebelumnya cenderung dimonopoli elite-elite kerajaan), dan pembangunan basis-basis industri skala lokal.
Sayang, kemudian datang Si Fasis Franco yang punya kebijakan penyeragaman serupa. Ia menetapkan bahasa Spanyol sebagai satu-satunya bahasa resmi dan mempersekusi semua bahasa serta identitas historis lokal yang tersisa. Franco punya semangat serupa dengan fasis-fasis negara lain: ultra-nasionalisme, anti-pluralisme.
Sebagai teman dekat rezim Nazi di Jerman dan Fasis Italia, Franco makin dimusuhi banyak warga lokal sebab makin tahun makin bengis. Kebengisannya memakan kurang lebih 400.000 korban jiwa yang rata-rata dibunuh di kamp konsentrasi. Para korban adalah pihak oposisi politik dari beragam basis ideologi: komunis, anarkis, hingga nasionalis lokal.
Baca juga: Pepera, Cara Indonesia Siasati Potensi Keok Saat Referendum
Kematian Franco pada 1975 membuat kekuasaan berpindah ke Raja Juan Carlos I, sosok yang membawa Spanyol ke arah yang lebih demokratis. Setelah referendum, sebuah konstitusi baru mengubah Spanyol menjadi sebuah negara yang menganut demokrasi parlementer di bawah monarki konstitusional.
Sejak era ini pula muncul lagi suara-suara dari Catalunya, Basque, Andalusia, Aragon, Galicia, Asturias, Kepulauan Canary, hingga Valencia, yang menuntut kemandirian pengelolaan wilayah berbentuk daerah otonomi. Tuntutan yang kemudian benar-benar terkabul.
Catalunya mendapat status otonominya pada 18 September 1979, Galicia pada 21 April 1981, Andalusia pada 30 Desember 1981, Asturias pada 30 Januari 1982, Valencia pada 1 Juli 1982, Aragon dan Kepulauan Canary pada 16 Agustus 1982.
Meski telah mandiri, para nasionalis berbagai kawasan itu ingin melangkah lebih jauh: kemerdekaan seutuhnya dari Kerajaan Spanyol, dan membentuk negara sendiri. Di akar rumput, pendukung gerakan kemerdekaan mengorganisir banyak aktivitas, mulai dari pembentukan organisasi-organisasi sayap pemuda, hingga corat-coret slogan kemerdekaan di tembok bangunan di ruang publik. Di ranah parlementer, tuntutan kemerdekaan diusung ke pundak partai-partai sayap kiri maupun kanan.
Gerakan mendirikan negara sendiri di Galicia disuarakan oleh Partai Bloque Nacionalista Galego, Partai Sosialis Galicia, dan didukung gerakan pemuda seperti Galiza Nova serta organisasi militan Resistência Galega. Gerakan kemerdekaan Aragon diwakilkan Partai Chunta Aragonesista, Puyalón de Cuchas, Partai Aragon, dan Estado Aragonés. Sementara di Andalusia diwakilkan Partai Andalusia (1965-2015) dan kelompok non-parlemen seperti Nación Andaluza dan Asamblea Nacional de Andalucía.
Baca juga: Gonjang-Ganjing Referendum Kemerdekaan Kurdistan Irak
Di Basque, perjuangan melepas status bagian dari Kerajaan Spanyol diperjuangkan oleh kelompok etnis Basque di Pyrenees barat sejak akhir abad 19. Kantong-kantong perjuangannya mencangkup tiga wilayah di dua negara bagian: Komunitas Otonomi Basque dan Navarre di Spanyol, dan French Basque Country di Prancis.
Pada 1959 sejumlah pemuda nasionalis Basque membentuk Basque Homeland dan Liberty (ETA). Mereka menyebarkan aktivisme lewat mural di jalanan, maupun pendistribusian pamflet dan bendera kemerdekaan Basque secara gerilya. Aktivitas ini berubah menjadi perjuangan memakai kekerasan setelah polisi Spanyol menyiksa aktivis Basque pada pertengahan 1960-an. Mereka mengadopsi perjuangan revolusioner Marxis ala Castro di Kuba atau Ho Chi inh di Vietnam demi negara Basque yang sosialis dan merdeka.
Kekerasan dan pembunuhan mereda saat Basque dijadikan daerah otonom pada akhir 1970-an. Mereka akhirnya punya pemerintahan sendiri, polisi sendiri, dan bisa mengelola keuangan publiknya sendiri. Perjuangan kemerdekaan tetap mereka lanjutkan secara demokratis, yakni lewat partai politik dan pemilihan umum.
Sayangnya, gerakan menuju merdeka seratus persen di Basque dan wilayah otonom lain di Spanyol selalu terhadang oleh musuh utama, yakni rakyatnya sendiri yang tetap memilih bersama Kerajaan Spanyol. Sikap ini selalu hadir di tiap referendum. Di beberapa wilayah, referendum bahkan masih menjadi proses demokrasi yang tergolong sulit untuk diwujudkan.
Catalunya boleh jadi hampir menuntaskan perjuangan. Namun di tempat lain, pekerjaan rumah masih menumpuk tinggi di meja kerja para aktivis kemerdekaan.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf