tirto.id - Indonesia adalah bangsa yang suka menghindari voting atau pemungutan suara orang per orang. Pernah ada masa di mana voting dianggap “kemusyrikan” yang tak cocok dengan budaya bangsa. Jika persoalan diselesaikan dengan voting, hal itu akan dianggap sebagai bentuk kemenangan egoisme. Bukan macam itu jati diri bangsa Indonesia, segala mesti dimusyarawahkan, pasti bisa dimusyarahkan. Mufakat dianggap sebagai keutamaan yang paling premium.
Untuk seluruh rakyat Papua, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 pun dulu berupa musyarawah. Bukan voting orang per orang. Jangankan untuk rakyat Papua yang terabaikan nasibnya, selama puluhan tahun di masa Orde Baru, rakyat Indonesia di daerah lain pun harus terima dengan pemilihan Presiden ala musyarawah mufakat di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan pemilihan langsung seperti sekarang.
“Pepera 1969 telah dilaksanakan di Tanah Papua Barat sesuai dengan sistem Indonesia, yaitu musyawarah. Pelaksanaan dengan cara Indonesia ini sangat berlawanan dengan isi Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia bahwa Pepera 1969 dilaksanakan dengan sistem dan mekanisme Internasional, yaitu one man one vote,” kata Pendeta Socratez Sofyan Yoman dalam artikel berjudul "Ketidakadilan dan Kepalsuan Sejarah Integrasi Papua ke Dalam Wilayah Indonesia Melalui Pepera 1969".
Pada 11 Desember 2002, Pendeta Socratez dapat cerita dari Purnawirawan Polisi Christofel L. Korua. Ia berkisah: “Orang-orang Papua yang memberikan suara dalam PEPERA 1969 itu ditentukan oleh pejabat Indonesia dan sementara orang-orang yang dipilih itu semua berada di dalam ruangan dan dijaga ketat oleh militer dan polisi Indonesia.”
Menurut laporan resmi PBB, Annex1 paragraf 189-200, “Pada 14 Juli 1969, Pepera dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir.”
Sementara Carmel Budiarjo punya cerita lain, cerita yang tidak kalah ngeri. Musyarawah tersebut, kata Carmel, “Dilaksanakan di bawah tekanan dari penguasa militer Indonesia.”
Filep Karma, aktivis Papua, pernah bilang, “Indonesia menganggap one man one vote tidak cocok untuk Papua. Orang Papua dianggap masih terbelakang, belum siap buat referendum, Indonesia ingin pakai sistem musyawarah," kata Filep dalam buku Seakan Kitorang Setengah Binatang (2014).
Sebelum banyak bicara soal Papua, Filep juga pembaca buku politik. Buku Jusuf Wanandi, Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998, juga dibacanya. Di sana, Wanandi mengaku terkejut melihat barang-barang dijarah tentara Indonesia. Ketika itu dia menjadi asisten Letnan Jenderal Ali Moertopo, salah satu penasehat Presiden Soeharto.
Bulan Mei 1967, Jusuf Wanandi dikirim ke Papua untuk mendalami persiapan referendum. Dalam laporannya, Wanandi menyebut jika diadakan pemungutan suara di tahun 1968, Indonesia pasti kalah dan harus angkat kaki Papua. Wanandi usul, sebaiknya pemungutan suara ditunda sampai 1969. Bisa jadi, laporan Wanandi inilah yang membuat Soeharto dan jajarannya panik kehilangan Papua dan segera memakai cara “kekeluargaan” yakni musyarawah yang hanya diwakili orang-orang tertentu saja. Repos sudah jadinya jika semua orang Papua memilih.
Sebelum Wanandi datang, sebelum 1963, Belanda sudah membangun infrastruktur kesehatan, pendidikan, jalan dan lainnya di Papua, meski belum menyeluruh. Setelah masuknya Indonesia penjarahan terjadi. Termasuk inventaris peninggalan Belanda.
“Saya pernah lihat rumah sakit di Surabaya memakai lemari baja buatan Belanda untuk rumah sakit Dok II Jayapura. Masih ada stempel Dok II di lemari tersebut,” aku Filep.
Filep Karma masih berusia 10 tahun saat Pepera berlangsung. Dia masih SD. Dia tidak ikut Pepera, tapi dia juga dapat cerita pilu soal Pepera.
“Pada 1969, akhirnya hanya 1.025 orang dipilih oleh pihak Indonesia untuk 100 persen mendukung integrasi dengan Indonesia. Mereka diancam dan dipaksa memilih Indonesia. Ini secara prinsip bertentangan dengan Perjanjian New York,” kata Filep.
Banyak orang Papua, seperti yang didengar Filep dari banyak orang-orang tua Papua, lebih suka referendum one man one vote.
“Mereka yang ingin referendum ditangkap tentara,” kata Filep. “Ibu teman saya lebih suka one man one vote maka dituduh mendukung Papua Merdeka. Ditangkap militerlah dia, dipenjara dan diinterogasi.”
Menurut cerita-cerita yang didengar Filep dari keluarganya, mimpi buruk rakyat Papua sudah dimulai setidaknya setelah tahun 1963. Dari abangnya, Sam Karma, Filep dapat cerita, “Jika mobil patroli polisi atau militer lewat di jalan dan ada dua atau tiga orang Papua berdiri di pinggir jalan, mobil itu berhenti, polisi turun dan perintahkan orang Papua bubar. Bila di antara orang tersebut ada yang vokal, mereka langsung ditangkap dan dibawa ke pos polisi terdekat untuk ditahan.”
Dari tantenya, A. Rumpaisum, yang anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP), Filep dapat cerita lagi. Sang tante dikarantina di asrama STM Dok VII Tanjung, Jayapura. Doktrin-doktrin untuk ikut Indonesia dari perwira militer adalah makanan sehari-hari. Ketika malam tiba, indoktrinasi jalan terus. Mereka dapat bir gratis sepuasnya, sambil mengindoktrinasi.
“Waktu Pepera 1969 dilaksanakan, tante saya diancam, kalau memilih opsi Papua Merdeka, maka mulutnya akan disobek dan keluarganya akan dibunuh,” kata Filep.
Rasa tenteram orang Papua hilang ketika orang-orang Papua yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) jadi buruan. Aparat menggedor rumah tanpa pandang bulu. Bahkan ayah Filep, Andreas Karma, yang jadi Wakil Bupati Jayapura (1968-1971) saja, pernah digedor dengan kasar di rumahnya yang terletak di Kampung Harapan. Aparat itu menggedor rumah dengan menenteng senjata api.
“Apakah disini menyembunyikan pentolan OPM?” teriak tentara. Kebetulan salah satu sanak famili keluarga Filep, Jan Pieter Karma, juga salah satu pentolan OPM di Biak.
Tuduhan sebagai OPM sama terkutuknya dengan tuduhan PKI di luar Papua. Begitu kena tuduh OPM, seseorang akan jatuh miskin dan ditangkap. Dulu, cerita Filep, toko-toko di Jalan Irian dimiliki orang-orang Papua pada 1960an. Toko-toko tersebut kemudian pindah tangan dengan paksa. Para pemilik bahkan banyak dituduh sebagai anggota OPM dan ditangkap.
Filep bercerita tentang seorang bernama Herman Wayoi. Sekitar 1961-1962, Herman diserahi sebuah pom bensin di Dok V Bawah, Jayapura, dari orang Belanda yang hendak pulang ke negerinya. Herman menerimanya lengkap dengan semua surat-surat hak kepemilikan dan izin usaha. Sial bagi Herman ketika militer Indonesia masuk. Herman dituduh OPM. Pompa bensin itu diambil paksa. Status pom bensin itu jadi aset sebuah perusahaan di bawah Angkatan Darat.
Jadi musyarawah dalam Pepera adalah harus. Kalau pakai voting, su pasti masalah to? Itu sudah!
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS