tirto.id - Kebijakan kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diberlakukan sejumlah pemerintah daerah belakangan ini menuai reaksi keras dari masyarakat. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ribuan warga turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap keputusan Bupati Sudewo yang menaikkan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Menurut Bupati Sudewo, kenaikan PBB ini didasarkan pada pertimbangan bahwa selama 14 tahun terakhir, tidak pernah ada penyesuaian tarif. Ia menegaskan bahwa langkah ini diambil untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah, mengingat kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih tergolong rendah, yakni hanya sekitar 14,5 persen.
Sudewo juga menambahkan bahwa pendapatan dari PBB akan diarahkan untuk mendanai pembangunan infrastruktur jalan, pembenahan RSUD RAA Soewondo, serta mendukung sektor pertanian dan perikanan. Ia bahkan membandingkan penerimaan PBB Kabupaten Pati dengan daerah tetangga yang dinilai lebih kecil secara geografis namun memiliki pemasukan pajak lebih besar.
"PBB Kabupaten Pati hanya sebesar Rp29 miliar, di Kabupaten Jepara Rp75 miliar. Padahal, Kabupaten Pati lebih besar daripada Kabupaten Jepara. Kabupaten Rembang itu Rp50 miliar, padahal Kabupaten Pati lebih besar daripada Kabupaten Rembang. Kabupaten Kudus Rp50 miliar, padahal Kabupaten Pati lebih besar daripada Kabupaten Kudus," ujar Sudewo.
Namun, penjelasan tersebut tidak cukup meredam kemarahan publik. Sorotan media dan tekanan di media sosial terus menguat. Hingga akhirnya, pada Jumat, (8/8/2025), Bupati Sudewo memutuskan untuk membatalkan kenaikan PBB-P2 yang telah direncanakan.
Tren Kenaikan PBB Juga Terjadi di Daerah Lain
Tren serupa juga terlihat di Kota Cirebon. Pada Selasa, (12/8/2025), kelompok masyarakat yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon menggelar aksi unjuk rasa, menuntut pencabutan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 yang mengatur kenaikan tarif PBB.
Juru bicara Paguyuban Pelangi, Hetta Mahendrati, menilai kebijakan itu tidak realistis di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum pulih. Ia mencontohkan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang membatalkan kenaikan PBB sebesar 250 persen.
“Kalau di Pati bisa dibatalkan, kenapa di Cirebon yang kenaikannya hampir 1.000 persen tidak bisa?” ujarnya seperti yang diberitakan Tirto, Kamis (14/8/2025).

Dalam aksi tersebut, ada empat tuntutan yang mereka bawa. Pertama, membatalkan Perda dan mengembalikan tarif PBB seperti tahun 2023. Kedua, mencopot pejabat yang dianggap bertanggung jawab. Ketiga, meminta langkah konkret dari Wali Kota dalam waktu sebulan. Keempat, melanjutkan aksi jika tuntutan tidak diindahkan.
Kenaikan drastis tarif PBB di Cirebon disebut-sebut terjadi akibat penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) agar selaras dengan harga pasar tanah dan bangunan. Namun, di lapangan, banyak warga terkejut dengan lonjakan tagihan yang tak wajar. Salah satu warga mengaku pajak tahunannya melonjak dari Rp6,2 juta menjadi Rp64 juta.
Merespons hal itu, Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, menyebut kenaikan PBB di Kota Cirebon tidak sampai 1.000 persen. Namun, dia bersama sejumlah dinas terkait dan pihak eksternal tetap akan mengkaji ulang aturan tersebut.
“Kami terbuka untuk berdialog dan menampung aspirasi warga,” ujarnya.
Situasi serupa terjadi pula di Kabupaten Jombang. Di kota yang dijuluki Kota Santri ini, warga juga mengeluhkan lonjakan PBB yang dinilai tak masuk akal. Salah satu warga Desa Sengon, Anis Purwatiningsih, mengungkapkan bahwa tagihan PBB atas nama almarhum ayahnya kini naik dari sekitar Rp400 ribu menjadi Rp3,5 juta untuk dua tahun.
Objek tanah tersebut berada di dua lokasi berbeda di wilayah Kecamatan Jombang Kota, dengan luas masing-masing lebih dari 1.000 dan 700 meter persegi. Dengan kata lain, pajak PBB-P2 yang harus dibayarkan Anies mengalami kenaikan hingga 775 persen.
"Dulu saya hanya membayar Rp400 ribu, sekarang naik menjadi Rp3,5 juta," ujar Anis, dikutip AntaraNews, Kamis (14/8/2025).

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Jombang Hartono mengemukakan kebijakan kenaikan pajak itu adalah terjadi secara nasional kemudian di daerah juga dilakukan pembaruan data.
Pemkab menyebutkan sudah 14 tahun tidak dilakukan pembaruan data Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), setelah sebelumnya dari Kantor Pajak hanya menyerahkan data tanpa dilakukan pembaruan. Pemkab kemudian bekerja sama dengan pihak desa melakukan pembaruan data. Untuk data tanah dan bangunan di depan jalan raya juga berbeda dengan nilai bangunan yang berada jauh dari jalan raya.
"Sudah 14 tahun tidak ada pembaruan data. Harga tanah jauh dari NJOP pertama dulu dari KPP Pratama diserahkan ke pemerintah kabupaten belum dilakukan pembaruan. Sehingga kalau daerah lain mau pembaruan, kasusnya sama," kata dia.
Selain Kabupaten Pati, Jombang dan Cirebon, berdasarkan pantauan Tirto, kenaikan tarif PBB juga terjadi di sejumlah wilayah lain seperti Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Dampak dari Efisiensi?
Pakar otonomi daerah yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof. Djohermansyah Djohan menilai menjelaskan bahwa lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di berbagai daerah yang terjadi baru-baru ini tidak dapat dilepaskan dari persoalan fiskal yang dihadapi pemerintah daerah, terutama setelah terjadinya pemangkasan besar-besaran terhadap dana transfer dari pemerintah pusat.
Djohermansyah, yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu, menyebut sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) selama ini masih sangat bergantung pada Dana Transfer ke Daerah (TKD), baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK).
“Instruksi presiden yang baru saja terpilih untuk melakukan efisiensi. Nah, efisiensinya itu cukup besar untuk kepentingan daerah, di mana ada data yang beredar Rp50 triliun lebih dana transfer ke daerah dipangkas. Nah, jadi itu kena lah daerah-daerah otonom Indonesia,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (14/8/2025).
Kondisi tersebut semakin rumit karena sejumlah bupati dan walikota baru saja dilantik pada Februari 2025, dalam keadaan APBD yang telah disusun oleh pemerintah sebelumnya. Setelah resmi menjabat, mereka mendapati bahwa alokasi dana dari pusat menyusut drastis, bahkan ada yang kehilangan anggaran hingga ratusan miliar rupiah.
“Posisi APBD di Februari itu, dana dari pusat yang berasal dari transfer ke daerah itu, banyak yang hilang, ada yang Rp100 miliar, ada yang Rp 200 miliar. Nah, masing-masing daerah beragam lah. Kemudian ketika mereka memperbaiki atau melakukan perubahan APBD di bulan Maret, April, atau Mei, itu mereka mulai berimprovisasi, cari jalan gimana untuk tetap melanjutkan pembangunan yang sudah direncanakan,” ujarnya.
Pria yang juga pernah menjabat sebagai PJ Gubernur Riau 2013-2014 itu menyebut opsi lain untuk mendapatkan dana bagi daerah seperti menjalin kerja sama dengan swasta atau memaksimalkan pendapatan dari BUMD membutuhkan waktu panjang dan hasilnya tidak instan.

Sementara di satu sisi, para kepala daerah merasa harus segera memenuhi janji-janji kampanye mereka. Imbasnya, mereka segera melakukan perubahan APBD dan mencari cara cepat untuk menutup kekurangan anggaran.
“Bupati-bupati itu kemudian mencari cara yang gampang, memang kan dengan menaikkan pajak. Cara meningkatkan PAD yang lebih cepat untuk pembangunan yang tidak ada anggarannya itu, ya dari naikkan pajak,” ujarnya.
Meski demikian, ia menyayangkan langkah kenaikan PBB-P2 ini dilakukan tanpa kajian mendalam dan minim konsultasi publik. Menurutnya, banyak daerah tidak melakukan pelibatan masyarakat dalam perumusan keputusan ini. Juga tidak berkonsultasi dengan pemerintah provinsi dan Kemendagri.
“Sayangnya itu tadi tanpa konsultasi publik yang baik, tanpa kajian yang dalam. Tiba-tiba naiknya mencolok pula drastis, ratusan persen, ya kan? Tentu bagi rakyat, PBB itu, semua rakyat terkena mau di perdesaan, mau di perkotaan, itu bayar PBB. Nah, maka kagetlah masyarakat, dan masyarakat keberatan,” ujarnya

Selain komunikasi yang buruk, Prof. Djohermansyah menilai pemerintah daerah gagal mempertimbangkan faktor penting dalam menetapkan tarif pajak. Meski UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) memberi kewenangan untuk mengatur NJOP dan tarif, keputusan tersebut seharusnya tetap memperhatikan kondisi makroekonomi, daya beli masyarakat, serta tingkat kemiskinan dan pengangguran di daerah.
“Di undang-undang HKPD, menaikan pajak, harus mempertimbangkan faktor makro ekonomi daerah. Keadaan kapal rakyatnya miskin, kapal rakyatnya menganggur. Itu harus dipertimbangkan. Keadaan kemampuan potensi pembayar PBB harus dihitung dengan baik. Nah ini kan tidak dilakukan,” pungkasnya.
Tuduhan terkait kenaikan pajak imbas dari efisiensi anggaran pemerintah pusat ini juga direspon oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi.
Hasan membantah kebijakan Bupati Pati, Sudewo, terkait Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) merupakan imbas dari efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat.
"Mengenai tuduhan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah ini terkait dengan kebijakan efisiensi, kami menganggap ini sebuah tanggapan yang prematur," ucap Hasan Nasbi di Kantor PCO, Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2025).
Hasan mengatakan efisiensi anggaran telah berlangsung sejak awal 2025. Kebijakan itu juga tidak cuma berlangsung untuk 1-2 kota/kabupaten, melainkan kota/kabupaten se-Indonesia.
"Ini kebijakan daerah, dan kalau ada kejadian seperti di Pati, itu murni dinamika lokal. Dan kalau itu dituduhkan sebagai efek dari kebijakan pemerintah pusat, maka kita harus bicara dalam konteks lima ratusan kabupaten/kota," tuturnya.
Perlunya Transparansi dan Pelibatan Publik
Terpisah, Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Badiul Hadi, menegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan luas dalam menetapkan tarif PBB-P2. Hal ini diatur dalam UU No 1 Tahun 2022 (UU HKPD), khususnya Pasal 38–43, yang memberi kepala daerah fleksibilitas menetapkan NJOP dan tarif PBB-P2.
Hadi menyebut bahwa salah satu alasan utama banyak daerah serempak menaikkan tarif PBB-P2 adalah penyesuaian NJOP seiring lonjakan harga tanah. Tekanan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga menjadi pendorong kuat.
“Di mana NJOP dapat disesuaikan setiap tiga tahun, bahkan lebih cepat untuk objek tertentu. Hal ini memungkinkan adanya kenaikan signifikan meskipun tarif maksimal hanya 0,5 persen. Berbondong-bondongnya pemda menaikkan pajak PBB-P2 diantaranya karena ada penyesuaian nilai NJOP berdasarkan pertumbuhan harga tanah yang cepat di wilayah masing-masing daerah,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (14/8/2025).
Namun, ia menekankan bahwa lonjakan tarif yang drastis harus dibarengi mekanisme transparan, komunikasi publik yang jelas, dan penetapan bertahap agar tidak memicu gejolak sosial. Kasus di Kabupaten Pati, menurutnya, mencerminkan kegagalan komunikasi dan lemahnya pelibatan masyarakat dalam proses kebijakan.
“Kejadian di Pati itu menunjukkan gagalnya komunikasi Pemda dengan masyarakat dan buruknya komitmen Pemda dalam pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan,” ujarnya.
Kedepannya, ia mendorong pemerintah daerah untuk menekankan pentingnya keterbukaan dalam menyampaikan dasar perhitungan NJOP, mekanisme penyesuaiannya, serta implikasi tarif secara transparan kepada publik agar kebijakan tidak ditetapkan secara sepihak.
“Melibatkan musyawarah publik, konsultasi dengan DPRD, warga, dan pemangku kepentingan lain sebelum menetapkan NJOP atau tarif baru. Memperbaiki komunikasi dengan masyarakat dan tidak mengedepankan arogansi dan superioritas sebagai pemimpin,” ujarnya.
Tekanan Fiskal Bukan Alasan Naikkan Pajak
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N Suparman, juga masih menilai lonjakan tarif PBB-P2 yang terjadi di sejumlah daerah seperti Pati, Jombang, dan Cirebon, sebagai gejala nasional yang berakar dari kebijakan fiskal dan tata kelola perpajakan daerah yang belum ideal.
Ia mengaitkan fenomena ini dengan realitas fiskal di daerah. Banyak daerah, katanya, masih bergantung pada Transfer ke Daerah dari pemerintah pusat, yang kini semakin ketat dan bahkan mengalami pemotongan dalam kebijakan efisiensi.
“Apalagi dalam kebijakan efisiensi kemarin itu ada transfer ke daerah yang dipotongkan sebesar Rp50,59 triliun gitu. Dan daerah itu dalam konteks seperti itu ya berupaya untuk meningkatkan PAD-nya, pendapatan asli daerahnya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (14/8/2025).
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa tekanan fiskal tidak bisa menjadi pembenaran untuk menaikkan pajak secara sembarangan. Ia menyebut kondisi ekonomi masyarakat kita saat ini sedang tidak baik-baik saja. Atas dasar hal tersebut, menurutnya kebijakan yang lebih tepat adalah mendorong optimalisasi sistem pemungutan pajak.

KPPOD, katanya, sejak lama mendorong digitalisasi sistem perpajakan daerah serta pembenahan database wajib pajak sebagai solusi berkelanjutan yang tidak membebani masyarakat secara mendadak.
“Karena kalau lihat masalah pajak selama ini ada dua. Masalah di kebijakan atau masalah di sistem pemungutan. Misalnya penggunaan platform digital ya. Karena itu sebetulnya yang kami dorong adalah di optimalisasi di dalam sistem pemungutan, dan juga database wajib pajak,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































