tirto.id - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritik praktik jual beli seragam sekolah yang sangat mahal seperti terjadi di Tulungagung, Jawa Timur. Harga seragam tersebut seharga Rp2,36 juta sehingga dikeluhkan wali murid.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri memandang banyaknya jenis seragam dan biaya yang tinggi terhadap pembelian seragam sangat membebankan orang tua.
Sehingga P2G meminta Kemendikbudristek meninjau ulang Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Siswa Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
"Fakta tersebut menunjukkan betapa banyaknya seragam yang dipakai siswa. Dan pembelian seragam sebanyak itu jelas membebani orang tua. Belum lagi baju kegiatan ekstrakurikuler lain," kata Iman melalui keterangan tertulisnya, Kamis (27/7/2023).
Selain seragam sekolah, kata Iman, orang tua harus memenuhi kebutuhan sekolah lainnya yaitu sepatu, tas, dan buku. Semuanya harus dipenuhi ditambah uang pangkal dan SPP khusus sekolah swasta.
Iman mengingatkan bahwa kebijakan yang melahirkan pemakaian seragam begitu banyak, tidak berkorelasi dengan mutu pendidikan.
“Silakan cek, apa korelasi seragam sekolah yang banyak dengan peningkatan mutu pendidikan? Jangan sampai kita terlalu sibuk mengatur seragam anak, lantas mengorbankan waktu dan tenaga untuk meningkatkan kualitas pendidikan," ucapnya.
Dirinya memandang biaya seragam yang banyak sudah seharusnya masuk dalam skema pembiayaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pusat atau BOS Daerah. Juga bisa dengan skema KJP Plus untuk masyarakat tidak mampu.
Kemudian, praktik jual beli seragam dan atribut sekolah lain selalu terjadi karena tingginya demand dari orang tua. Pihak sekolah melihat ada peluang bisnis sehingga demand and supply terjadi. Padahal praktik jual beli seragam di sekolah dilarang berdasarkan Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022, khususnya Pasal 13.
Selanjutnya, Komite Sekolah sebagai wadah orang tua siswa, baik individu atau kolektif juga dilarang jual beli seragam di sekolah menurut Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
"Artinya baik guru atau orang tua dilarang melakukan praktik bisnis jual beli tersebut," ucap Anggi Afriansyah, Dewan Pakar P2G.
Atas kondisi tersebut, P2G mendesak Dinas Pendidikan (Disdik) menyisir sekolah yang melakukan praktik terlarang itu. Sebab sudah bukan rahasia lagi fakta demikian berlangsung di sekolah negeri sejak lama.
P2G juga mendorong Dinas Pendidikan bersikap tegas memberi sanksi sesuai aturan kepada guru, kepala sekolah, pengawas yang terindikasi kuat melakukan praktik jual beli seragam atau yang membiarkannya.
"Mengapa praktik itu masih terjadi? Karena tidak adanya pengawasan dan sanksi tegas dari Dinas Pendidikan atau kepala daerah," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Fahreza Rizky