tirto.id - Mahmud Kashua terbiasa melaksanakan salat berdampingan dengan senjata karena ia seorang keturunan Arab sekaligus warga negara Israel yang bergabung dengan Angkatan Pertahanan Israel (Israeli Defence Force/IDF). Kombinasi yang unik. Namun Mahmud tidak sendirian—setidaknya dalam beberapa tahun belakangan.
IDF punya tim bernama Gadsar yang terdiri dari kurang lebih 500 tentara keturunan Arab, baik muslim maupun kristen. Dibanding angka yang tercatat pada tahun 2016 itu, angkanya naik sampai 10 kali lipat dibanding tahun 2013. Targetnya adalah penambahan personel hingga beberapa ratus lagi pada tahun ini dan tahun-tahun ke depan. Mereka adalah unit Arab pertama dan bertugas di Tepi Barat yang menjadi rumah bagi 1,7 juta warga Palestina keturunan Arab.
"Saya menganggap diri saya seorang Arab dan seorang Muslim, tapi saya juga menganggap diri saya sebagai bagian dari negara ini," kata Mahmud kepada BBC News awal November 2016. "Ini negara kita dan kita harus memberikan sesuatu, untuk membantu sebanyak yang kita bisa untuk negara yang melindungi kita ini."
Pekerjaan mereka memiliki risiko yang sama dengan tentara Israel lain. Tahun lalu angka kasus penyerangan bersenjatakan pisau terhadap prajurit-prajurit Arab-Israel ini, termasuk serangan senjata dan mobil yang dilajukan kencang, telah menghilangkan nyawa 37 personel. Pelakunya diklaim sebagai warga Palestina atau warga Israel keturunan Arab—yang dalam tragedi tersebut juga turut jadi korban. Dua ratus orang, kata Israel, juga turut meninggal tahun lalu.
Baca juga:Partai Komunis Israel Terus Membela Hak Rakyat Palestina
Kecaman dari warga Arab lain yang tinggal di Israel kerap hadir kepada Mahmud. Mahmud sendiri mengakui tugasnya terasa berat karena mereka meremehkannya. Mahmud bisa melihatnya hanya dari bagaimana warga Arab menjawab pertanyaan-pertanyaan Mahmud saat mobil yang mereka dihentikan di pos pemeriksaan. Atau saat sedang di kampungnya di Israel bagian Utara, ia hanya berseragam di dalam rumah keluarganya.
“Beberapa pemuda yang menyaksikanku mengenakan seragam militer dan bilang aku pengkhianat. Aku jawab itu urusanku tapi aku tak peduli apa yang orang lain katakan. Jika aku pengkhianat kenapa dirinya juga masih hidup di negara ini?” ungkapnya. “Tapi pada akhirnya aku tetap menikmati pekerjaanku dan aku harus mengerjakannya.”
Penduduk Israel keturunan Arab yang masuk ke militer hanya satu persen dan bisa dimengerti sebab secara politis cukup dilematis. Dalam catatan Biro Pusat Statistik Israel, pada tahun 2013 ada kurang lebih 1.658.000 warga Israel keturunan Arab yang merepresentasikan 20,7 persen dari total penduduk Israel. Pada tahun 2017, angkanya naik menjadi 1.808.000 jiwa (20,8 persen).
Baca juga:50 Tahun Perang 6 Hari dan Pendudukan Israel atas Palestina
Kementerian Luar Negeri Israel mencatat mayoritas warga Arab beragama Islam yang jumlahnya pada tahun lalu mencapai 1.454.000. Mayoritasnya lagi adalah Suni, sisanya Syiah, Ahmadiyah, Sufi, dan aliran lain. Kelompok agama terbesar kedua yakni penganut Kristen yang kebanyakan tinggal di Kota Nazareth.
Warga Arab muslim sendiri banyak yang tinggal di Israel bagian Tengah dan Utara terutama di teritori bernama Galilea. Mereka juga banyak menghuni kawasan Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel melalui Perang Enam Hari pada tahun 1967. Kota Nazareth jadi basis terbesar penduduk keturunan Arab, juga di kota-kota seperti Rahat, Umm al-Fahm, dan Tayibe. Di kota-kota tersebut, menurut data Kementerian Luar Negeri Israel, jumlah penduduk Arab minimal ada 40.000 dan kini terus naik.
Banyak warga Arab di Israel yang memiliki ikatan keluarga dengan warga Jalur Gaza, Tepi Barat, maupun yang sedang mengungsi di Yordania, Suriah, dan Lebanon. Pendirian Israel tahun 1948 diikuti dengan perang dan pengusiran warga Palestina dari tanah yang sudah dihuninya selama bertahun-tahun. Mereka istilahkan dengan “nakba”, dan tiap tahun dirayakan dengan minimal mengingat hingga turun ke jalan untuk memprotes pemerintah Israel.
Baca juga:Perang Yom Kippur: Bukti Sulitnya Mendamaikan Arab-Israel
Ada sejarawan yang tak ragu untuk menyebut awal proyek Zionisme sebagai pembersihan etnis Arab di wilayah yang kini menjadi teritori Israel. Oleh karena itu warga Arab di Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan punya komitmen untuk menolak tawaran kewarganegaraan dari Israel. Sikap ini tak mewakili seluruh warga Arab di Israel, yang seperti Mahmud, cenderung lebih moderat, bahkan nasionalis. Sikap yang dikecam hingga level politisi di parlemen.
Haneen Zoabi, anggota parlemen Israel atau Knesset dan perwakilan dari koalisi partai Arab Joint List, ketertarikan orang-orang seperti Mahmud ke militer Israel adalah dampak dari diskriminasi sekaligus pemiskinan warga Arab secara sistematis. Gaji dan hak-hak yang diterima militer Israel memang menggiurkan. Hanin menegaskan mereka yang jadi tentara rata-rata miskin dan lama berstatus sebagai pengangguran.
Data yang diklaim Haneen kepada BBC News tahun lalu ada “52-54 persen warga Palestina di Israel yang berada di bawah garis kemiskinan, dan kebijakan pemerintah menciptakan kondisi bagi mereka untuk mencari satu-satunya solusi yang ada—masuk militer.”
Baca juga:Sekolah-Sekolah Palestina dalam Cengkeraman Israel
The Economist pernah menurunkan laporan yang menguatkan klaim Haneen. Dari awal hingga pertengahan 2000-an ada ketidaksetaraan dalam alokasi dana publik untuk kebutuhan warga keturunan Yahudi dan Arab di Israel sehingga memicu diskriminasi kerja secara luas dan kesenjangan ekonomi di antara dua kelompok masyarakat tersebut.
Dalam laporan Adalah – The Legal Center for Arab Minority Rights in Israel, pada tahun 2005, dari 40 kota di Israel dengan tingkat pengangguran tertinggi, 36 di antaranya adalah kota dengan mayoritas penduduk Arab. Pada tahun 2003, menurut laporan Bank Sentral Israel, gaji rata-rata pekerja Arab 29 persen lebih rendah ketimbang pekerja Yahudi.
Ada kemajuan memasuki pertengahan 2010-an, termasuk di tahun 2017. Namun jalan menuju perbaikan ini tergolong pelan. Lebih krusial lagi: belum merata ke seluruh warga Arab. Bahkan untuk profesi yang prestisius seperti dokter sekalipun.
Ada sebuah kisah yang datang dari Desa Arraba di Galilea Selatan, sebelah utara Israel. Tahun lalu 26 mahasiswa dari desa tersebut adalah lulusan sekolah kedokteran dan Arraba menjadi salah satu wilayah dengan rasio dokter-warga tertinggi di dunia (6 dokter untuk per 1.000 warga). Sesuai namanya, Arabba adalah desa yang mayoritas dihuni penduduk keturunan Arab.
Baca juga:Siapakah yang Dimaksud Orang Arab?
Per 2015 hanya ada lima sekolah kedokteran di Israel yang cuma menyediakan 400 kursi tiap tahun. Ratusan pendaftar bersaing tiap tahun ajaran baru untuk memperebutkan kesempatan ini, yang dalam perbandingan, nantinya hanya satu dari empat warga Israel yang lolos. Penduduk Arraba yang memang punya kultur dan kebanggaan menjadi dokter, akhirnya banyak yang memilih untuk bersekolah di Eropa.
Merujuk laporan Mohammad Khateeb untuk i24 News, seorang mahasiswa Arab lulusan Institut Teknologi Israel di Haifa bernama Nassar Nassar menjelaskan kesulitan sekolah kedokteran di negara itu karena perkara bahasa. Dalam ujian psikometri, misalnya, terjemahan ke bahasa Arab tak bisa dipahami sehingga menyulitkan Nassar dan kawan-kawan. Kondisi yang sama juga terjadi di tes masuk sekolah kedokteran, katanya.
Persoalannya bukan saat sekolah, namun peluang kerja usai lulus. Para dokter baru berdarah Arab menghadapi kesulitan perizinan untuk membuka praktek atau menjadi dokter di rumah sakit. Jika pun diterima, mereka ditempatkan jauh dari rumah dan di daerah dengan infrastruktur buruk.
Diskriminasi yang mereka terima dinilai lebih baik ketimbang warga keturunan Arab yang menjajaki bidang pekerjaan lain, seperti perbankan atau lembaga keuangan. Alasannya sederhana: di beberapa daerah di Israel masih kekurangan tenaga kesehatan.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf