tirto.id - Pertanyaan; “Siapa itu orang Arab?” adalah pertanyaan yang susah-susah gampang untuk dijawab. Paling tidak ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan untuk memperoleh jawaban ini secara memuaskan. Pertama, secara genealogi. Arab dipandang sebagai sebuah ras yang merujuk pada skala teritori wilayah.
Kita bisa menggunakan kacamata Philip K. Hitti dalam History of Arabs (1937: 20) untuk membagi Arab secara geografis dan ras pada era sebelum kedatangan Islam. Pemisahan yang membagi pada dua kriteria umum. Pertama orang-orang Arab Selatan, dan kedua, orang-orang Arab Utara.
Orang-orang Arab Selatan merujuk pada wilayah yang lebih maju. Di sekitaran Yaman, Hadramaut, dan sepanjang pesisirnya, orang-orang tidak menggunakan bahasa Arab, melainkan bahasa Semit Kuno. Orang-orang Arab Selatan inilah yang kemudian punya relasi secara internasional sampai—setidaknya—abad ke-5 atau 6 Masehi. Bangsa Yunani menyebutnya sebagai “Arabia Felix” yang bermakna kawasan Arab yang beruntung.
Dibandingkan orang-orang Arab Selatan, orang-orang Arab Utara sedikit tertinggal. Mereka berada di kerasnya kondisi geografis yang tidak bersahabat—lautan gurun pasir yang luas—orang-orang Arab Utara kebanyakan masih nomaden (bahkan sampai sekarang), meskipun beberapa ada yang tinggal di Hijaz dan Nejed. Bahasa yang digunakan di daerah-daerah ini adalah bahasa Arab.
Orang Arab Utara baru mengembangkan literasi tertulis sejak kedatangan Nabi Muhammad. Sebelum itu, budaya literasi Arab Utara lebih condong pada literasi lisan. Prosa, puisi, sajak, sampai pepatah-pepatah Arab dengan rima dan diksi indah turun-temurun melalui ingatan yang disampaikan dari mulut ke mulut. Maka dari itu, istilah “jahiliyah” lebih erat kaitannya dengan dengan orang-orang Arab Utara.
Di tahap inilah aspek kedua untuk memperoleh batasan “siapa itu Arab?” muncul. Aspek bahasa. Sebutan Arab dipakai untuk wilayah-wilayah yang menggunakan Bahasa Arab sebagai “bahasa Ibu” mereka. Pada poin inilah muncul perdebatan apakah Mesir dan negara-negara di sepanjang Afrika Utara termasuk “Arab”, karena praktis bahasa Arab bukanlah bahasa ibu bangsa-bangsa ini.
Kita juga perlu mengetahui apa yang dimaksud "Arab” dan "Jazirah Arab". Jazirah yang berarti tanah yang menganjur ke laut seakan-akan menjadi pulau ini adalah pembatas geografis yang cukup jelas. Karena “Arab” punya makna padang pasir, maka Jazirah Arab adalah sebutan untuk menandai wilayah geografis semenanjung padang pasir. Batas-batasnya adalah Laut Merah dan Teluk Aqabah di barat daya, Laut Arab di tenggara, serta Teluk Oman dan Teluk Persia di timur laut. Saat ini, secara politik daerah ini berisi negara Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain.
William Montgomery Watt, professor studi Arab dan Islam Universitas Edinburgh, dalam esainya "Who is an Arab?" menyebut bahwa kehadiran Muhammad dengan agama Islam tidak hanya membawa perubahan pada keyakinan orang-orang Arab Utara, tapi juga Arab secara luas sebagai sebuah kesatuan politik. Sejak kemunculan wahyu pertama sampai wafatnya, suku-suku yang saling bermusuhan secara rentang waktu yang begitu cepat berhasil disatukan dalam satu persamaan: Islam.
Di sinilah kemudian aspek ketiga muncul: aspek politik. Perluasan pengaruh agama Islam sejak kekhalifahan Umar bin Khattab sampai era Bani Abassiyah segera memperluas sebutan tentang “Siapa itu Arab?”. Perluasan teritori yang berlanjut sampai dengan 750 Masehi. Sebutan “Arab” kemudian membentang dari Spanyol (Andalusia) sampai Asia Tengah (Punjab). Sekaligus menyebarluaskan bahasa Arab dan agama Islam yang menjadi terminologi pembatas siapa yang disebut Arab.
Sekalipun identik dengan Islam, kebudayaan Arab pada awalnya merupakan gambaran keyakinan warisan bangsa Semit. Pada era tersebut, kesadaran akan keberadaan Tuhan yang tunggal sudah muncul. Hanya saja, kemudian muncul “tuhan-tuhan” baru dalam wujud al-‘Uzza, Al-Lat, dan Manat, yang dianggap tiga anak perempuan Tuhan.
Ketiga “tuhan” baru ini memiliki tempat pemujaan di dekat kota Mekah, tempat nenek moyang bangsa Arab—Ibrahim dan Ismail—mendirikan Ka’bah. Hal ini menunjukkan bahwa Bangsa Arab memiliki ragam agama, baik sejak sebelum kedatangan Islam sampai era modern. Dari Kristen, Yahudi, Majusi, sampai paganisme. Meskipun Islam—tentu saja—menjadi agama yang sangat dominan.
Pada akhirnya, ketiga aspek tersebut adalah jawaban dari setiap determinan yang digunakan. Jika kita menyebut Jazirah Arab, maka kita akan bicara pada batas-batas geografis. Jika kita menyebut “Dunia Arab”, maka kita akan menggunakan kacamata bahasa. Semua komunitas yang berbahasa Arab termasuk dunia Arab: dari Aljazair sampai Mesir di Afrika Utara, sampai seluruh negara di Jazirah Arab.
Inilah yang kemudian menjadi sebab Iran dan Turki tidak termasuk “Dunia Arab.” Baik secara sejarah peradaban maupun bahasa, keduanya berbeda dengan Arab. Iran dengan Persia dan Turki dengan ‘Romawi’ (biasa juga disebut Romawi Timur) membuat warisan bahasa yang digunakan pun berbeda: bahasa Farsi dan Turki.
Berbeda lagi jika menyebut “Negara Islam.” Rujukan utama tentu daerah di Jazirah Arab, terutama Arab Saudi karena secara teritori dan sejarah sumber awalnya memang berasal di sana. Sebutan ini juga merujuk pada sistem kenegaraan yang masih menggunakan hukum-hukum agama Islam.
Uniknya, jika merujuk “Negara Muslim”, menurut American-Arab Anti Discrimination Committee, justru malah Indonesia yang mendapat sebutan itu. Tentu saja karena penganut Islam alias Muslim di Indonesia mencapai angka 170 juta jiwa. Terbesar di dunia.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Maulida Sri Handayani