tirto.id - Ombudsman Republik Indonesia menerima 1.936 laporan masyarakat perihal Polri dalam tiga tahun terakhir.
Pada 2019, Ombudsman menerima 882 pengaduan, kemudian pada 2020 ada 713 pengaduan, dan selama Januari-Juli 2021 menerima 341 pengaduan.
“Kepolisian sebagai terlapor di Ombudsman masih menduduki tiga besar setelah isu agraria dan kepegawaian," kata anggota Ombudsman Republik Indonesia Johanes Widijantoro, dalam diskusi daring, Kamis (29/7/2021).
Pengaduan tertinggi ke Ombudsman adalah kasus menyangkut isu agraria dengan 3.044, disusul isu kepegawaian dengan 2.056 pengaduan.
Bentuk-bentuk pengaduan dari warga kepada Ombudsman berkaitan pelanggaran polisi mencakup penembakan, pemukulan saat penyidikan, salah tangkap, kekerasan penanganan demonstrasi, penetapan tersangka hingga penanganan perkara cenderung lama.
Dari sisi persentase, pengaduan atas kinerja Polri meliputi penundaan berlarut (56,5 persen), diskriminasi (1,13 persen), berpihak (0,56 persen), penyalahgunaan wewenang (1,69 persen), dan penyimpangan prosedur (15,25 persen).
Kemudian permintaan imbalan uang, barang, dan jasa (2,26 persen), tidak kompeten (2,26 persen), tidak memberikan pelayanan (18,08 persen), tidak patut (2,26 persen).
Masyarakat pun kerap mengadukan polisi atas dugaan pelanggaran etik, tetapi penyelesaiannya terkesan tidak transparan.
“Tidak sederhana mendorong proses penanganan perkara pelanggaran etik dilakukan secara transparan. Ombudsman selalu berupaya dengan berbagai cara dan strategi agar semua pelanggaran etik diproses secara hukum, sesuai ketentuan yang berlaku di kepolisian,” terang Widijantoro.
Pelanggaran Polri di Berbagai Daerah
Eti Oktaviani, Direktur LBH Semarang menyatakan di wilayah kerjanya terdapat 19 kasus pelanggaran polisi dengan 593 korban. Sebagian besar pelanggaran yang terjadi menghambat pemenuhan hak asasi manusia.
Bentuk pelanggaran polisi di Provinsi Jawa Tengah seperti penghalangan demonstrasi. Polisi biasanya menyisir masyarakat dan lingkungan dan melakukan penangkapan terhadap admin media sosial yang menyebarkan seruan aksi.
“Juga ada cara dengan mengintimidasi pengelola gedung atau kampus tempat konsolidasi atau titik aksi dilakukan,” kata Eti.
Lantas, polisi juga hobi membubarkan diskusi publik, alasannya mencegah penyebaran COVID-19 di wilayah tersebut.
Di Sumatera Utara masalah yang dihadapi juga bervariasi. Wakil Direktur LBH Medan Irvan Syahputra berujar ada 8 kasus yang kini sedang ditangani pihaknya.
“Bentuk pelanggarannya adalah dugaan penyiksaan, kriminalisasi, proses hukum yang berlarut-larut, dan tidak adanya penuntasan kasus yang ditangani,” tutur Irvan.
Pelanggaran hukum polisi di Sumatera Utara dilakukan oleh poliri level Polsek (3 perkara), Polres (2 perkara), dan Polda (1 perkara).
Direktur LBH Papua Emanuel Gobay mencatat pelanggaran polisi berupa pembubaran demonstrasi damai, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, kriminalisasi menggunakan pasal makar dan UU ITE.
“Dalam pelanggaran HAM yang dilakukan polisi sampai hari ini, di Papua, tidak ada satu pun yang ditindak atas kesalahannya. Sementara masyarakat sipil yang ditangkap dan disiksa, itu diproses hingga pengadilan," katanya.
Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadhli mencatat pelanggaran polisi berupa pengusiran warga Kentingan Solo oleh personel Polresta Surakarta dan Satpol PP, kriminalisasi kepada jurnalis BPPM Balairung UGM, represi massa Komite Aksi untuk Perjuangan Tani (Kamrat).
“Polisi lebih percaya dengan peraturan yang langsung berhubungan dengan institusinya, misalnya UU Kepolisian, Peraturan Kapolri,” ujar dia.
Namun regulasi seperti KUHAP, Kovenan Hak Sipil dan Politik, UU HAM, UU Advokat, dan UU Bantuan Hukum, tampaknya tidak terlalu penting bagi polisi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali