tirto.id - Tim Advokasi Nasional melaporkan dugaan pelanggaran HAM berat ke Komnas HAM terkait dengan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat polisi selama aksi demonstrasi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja periode Oktober 2020. Tim ingin Komnas HAM dapat melakukan kewenangannya menjalankan fungsi pemantauan sesuai Pasal 76 juncto Pasal 89 ayat (3) KUHP.
“Kami menyampaikan data [terkait] pola pelanggaran oleh kepolisian yang kami dapat dari 20 titik yang terdapat tim advokasi,” ujar Saleh Al Ghifari, peneliti publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Senin (9/11/2020).
Saleh mengatakan Komnas HAM berwenang melakukan penyelidikan perkara atas dugaan tersebut, karena ada tindakan terstruktur dan sistematis yang dilakukan kepolisian yang memburu pihak-pihak penentang Omnibus Law. Terjadi pula tindakan represif di lokasi demonstrasi terhadap massa.
Ghifari menyatakan, Komnas HAM telah menerima berkas dan akan menindaklanjuti. “Masih dipelajari,” ujar dia menirukan.
Tim advokasi berharap penyelidikan ini akan berlanjut. Ada tujuh temuan mereka seperti pembungkaman, ancaman melalui pendidikan, penggunaan kekuatan ormas untuk mengadang massa, serangan digital, serangan terhadap jurnalis, pembatasan berserikat, serta intimidasi dan brutalitas aparat.
Hingga saat ini, tim advokasi tidak mendapatkan data pasti jumlah peserta aksi yang ditangkap polisi karena penghalangan pencarian data yang dilakukan di seluruh kantor polisi di seluruh tingkat. Data yang mereka berikan adalah nama atau jumlah peserta yang sudah dibebaskan.
"Tim hukum membuka pengaduan bagi keluarga atau kerabat yang kehilangan anggota keluarga atau temannya. Data tersebut sulit kami cocokan ketika kami datang ke kantor-kantor polisi karena ketertutupan akses tersebut,” ujar Ghifar.
Tim juga tak bisa mendampingi secara merata di kantor polisi dengan alasan tidak jelas. Rata-rata polisi menggunakan alasan bahwa demonstran yang ditangkap itu diamankan dan tidak perlu didampingi karena statusnya bukan tersangka.
Anehnya, hal itu juga berlaku bagi peserta aksi yang statusnya juga sebagai tersangka. Beberapa kantor polisi telah menyediakan pengacara yang dipilih oleh polisi dan tidak mendampingi dengan baik dan tuntas, hanya sekedar formalitas.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto