tirto.id - Pada 6-12 September 1978, delegasi dari 140 negara, termasuk Indonesia, berkumpul selama tujuh hari di Kazakhstan dalam Konferensi Pelayanan Kesehatan Primer. Di sana mereka menyepakati Deklarasi Alma Ata, dinamai sesuai kota penyelenggaraan konferensi. Deklarasi itu menyatakan bahwa pelayanan kesehatan primer adalah tulang punggung sistem kesehatan.
Hari ini, di tengah amukan COVID-19, deklarasi itu menunjukkan relevansinya. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), fasilitas kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat, yang jumlahnya lebih dari 10 ribu dan tersebar di seluruh Indonesia, semestinya menjadi garda terdepan mengendalikan pandemi, kata Senior Advisor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) asal Indonesia Diah Satyani Saminarsih. Lagipula Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 mengamanatkan puskesmas peran yang sangat strategis, mulai dari pelayanan promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif.
Diah mengatakan sejak awal WHO menekankan pentingnya layanan kesehatan primer dalam menghadapi pandemi secara khusus dan sistem kesehatan semesta secara umum.
"Logika berpikirnya memang sudah disusun sejak kita belum bicara pandemi sama sekali, sejak 42 tahun yang lalu, kemudian 2018. Memang sudah ada logical framework yang dibangun dan disepakati semua orang bahwa layanan kesehatan primer ini penting," kata Diah dalam diskusi virtual, Kamis (5/11/2020).
Ia juga mengatakan kini WHO sedang membuat global preparedness unit untuk mempersiapkan dunia menghadapi pandemi berikutnya. Dia menyebut, persiapan itu bukan dimulai dari WHO, melainkan oleh masing-masing negara. Dan persiapan di level negara itu dimulai sejak level puskesmas.
Kedodoran
Presiden Joko Widodo telah menyadari pentingnya puskesmas untuk melawan pandemi sejak berbulan-bulan yang lalu. "10.134 Puskesmas di seluruh Indonesia betul-betul perlu diefektifkan, diaktivasi menjadi simpul dalam pengujian sampel, pelacakan, dan penelusuran kasus COVID-19 yang ada di lingkungan di wilayah sekitar," kata Jokowi di Jakarta, 18 Mei lalu.
Direktur Kebijakan Center For Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) Olivia Herlinda mengatakan dalam konteks pandemi, puskesmas bisa diberdayakan selain untuk penelusuran kontak dan melakukan tes, juga pemantauan isolasi mandiri hingga pembinaan dan edukasi di tingkat komunitas.
Masalahnya, setelah delapan bulan pandemi menghantam Indonesia, peran fasilitas kesehatan ini masih belum maksimal.
Survei yang dilakukan CISDI bersama KawalCovid19 dan Cekdiri terhadap 765 responden dari 647 puskesmas di seluruh Indonesia menunjukkan itu. Survei memang menemukan 96 persen puskesmas melakukan penelusuran kontak, namun 47 persen dari mereka hanya menemukan kurang dari lima orang dari satu kasus positif. Hanya 5 persen yang mendapat lebih dari 20 kontak erat per kasus positif, dan hanya 7 persen yang berhasil mendapat 16-20 kontak erat.
Semua ini karena minimnya jumlah tim yang terjun ke lapangan.
"Beberapa studi dan rekomendasi di beberapa paper mengatakan paling tidak 70-90 persen kontak harus ditelusuri dan dites per satu kasus positif. Mengutip studi yang lain, dengan angka kasus reproduksi yang sekarang, paling tidak setiap satu kasus positif itu harus dilacak 20-30 kontak eratnya," kata Olivia juga dalam diskusi virtual.
Survei ini pun menemukan hanya ada 39 persen puskesmas yang menggunakan tes PCR, sementara 61 persen sisanya menggunakan rapid test antibodi--yang akurasinya lebih rendah.
Hal ini utamanya disebabkan kapasitas laboratorium yang terbatas. Sebanyak 28 persen puskesmas hanya mendapat 0-10 kuota untuk tes PCR/TCM, sementara 40 persen lainnya tidak mendapatkan kuota. Kapasitas laboratorium juga mengakibatkan hasil lambat keluar. 60 persen responden baru mendapat hasil tes dalam 3-7 hari dan 20 persen lainnya bahkan lebih dari 7 hari.
Pada aspek pemantauan isolasi mandiri, 99 persen puskesmas melakukan pemantauan, 91 persen di antaranya melalui telepon/pesan dan 45 persen melakukan kunjungan rumah. Dari sisi frekuensi, hanya 57 persen puskesmas yang melakukan pemantauan setiap hari.
Survei ini juga menemukan minimnya kapasitas puskesmas dalam mencegah penularan COVID-19. Sebanyak 45,4 persen puskesmas belum mendapatkan pelatihan tentang pengendalian dan pencegahan infeksi. Selain itu, baru 62 persen puskesmas yang memiliki SOP penggunaan alat pelindung diri dalam pelayanan semasa pandemi COVID-19.
Temuan lain: sebanyak 66 persen responden mengeluhkan kekurangan masker N95, 43 persen kekurangan gaun medis, dan 40 persen kekurangan masker bedah.
Pemerintah lewat Kementerian Kesehatan mengakui kelemahan ini. Direktur Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan Saraswati mengatakan peran puskesmas saat ini "lebih ke arah untuk mengedukasi masyarakat." Prioritas tetap rumah sakit yang menangani pasien, katanya, juga dalam diskusi.
Pemerintah cenderung berkutat pada aspek penanganan pasien positif dengan penguatan rumah sakit melalui penyediaan alat kesehatan dan tenaga kesehatan, termasuk pendirian rumah sakit-rumah sakit darurat.
Saraswati mengatakan pemanfaatan puskesmas belum maksimal karena terkendala beberapa hal. Pertama, sumber daya manusia yang variatif. Sulit berharap mereka serempak dapat maksimal melakukan penelusuran kontak kasus positif. Kedua, pemerintah juga kesulitan memenuhi alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan di puskesmas. Dinas kesehatan harus mengatur alokasi APD juga untuk rumah sakit yang notabene prioritas.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Puskesmas Indonesia dr. Mustakim Manaf mengatakan minimnya sumber daya manusia dapat disiasati dengan merekrut relawan. Namun, sebelum itu, tenaga kesehatan harus diberikan pelatihan test, trace, dan treatment agar kelak mampu memberikan pelatihan pula.
"2T (training dan teaching) tersebut merupakan penguatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama terutama puskesmas sebelum [merekrut] relawan, baik relawan medis maupun non medis," katanya dalam diskusi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino