tirto.id - Produk daging ayam asal Brasil dalam jumlah besar dikabarkan siap masuk ke Indonesia mulai Februari 2021. Selain itu, menurut Wakil Sekretaris Jenderal I Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Muhlis Wahyudi, “kalau enggak salah di belakang[nya] ada 14 negara sudah antre.”
Impor daging potong ayam ini adalah buntut dari kekalahan Indonesia dari Brasil di WTO pada 2017. Brasil menggugat karena Indonesia melarang masuk produk mereka, tak sesuai dengan regulasi perdagangan bebas. Tiga tahun berlalu realisasinya belum dilakukan karena berbagai alasan, termasuk sertifikasi halal.
“Dari WTO sudah kalah. Suka enggak suka itu,” kata dia menambahkan.
Muhlis mengatakan karena kabar ini peternak skala kecil gundah-gulana, apalagi selama beberapa tahun terakhir mereka sudah nyaris bangkrut. Terbukanya keran impor akan membuat mereka mati lebih cepat dan menyisakan pasar bagi peternakan daging besar-terintegrasi (integrator) dan importir.
Sebagai gambaran, harga ayam hidup di tingkat peternak Jawa per Oktober 2018 sempat mencapai Rp19.000/kg. Menurut Pinsar angka ini turun menjadi Rp17.000/kg (Februari 2019) dan Rp14-15.000/kg (Maret 2019). Semua jauh di bawah harga Pokok Produksi (HPP) Rp19.000/kg sehingga peternak merugi.
Data Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kemendag mencatat harga sempat naik dan mendekati HPP di Oktober-Desember 2019. Namun jatuh lagi menjadi Rp15.333/kg (Maret 2020), Rp10.855/kg (April 2020). Per September 2020 turun lagi ke Rp13.855/kg meski sempat membaik pada Mei-Juni. Jauh di bawah harga pemerintah Rp20.000/kg.
Rendahnya harga di tingkat peternak merupakan imbas dari kelebihan pasokan ayam indukan di hulu, sehingga ayam pedaging juga ikut surplus. Akibatnya, ayam hidup peternak kesulitan menembus rumah potong yang juga sudah kelebihan.
BPS mencatat produksi daging ayam terus naik. Dari 3,17 juta ton (2017) menjadi 3,4 juta ton (2018) dan 3,49 juta ton (2019). Sayangnya, permintaan tak seberapa. Data Kementan-Kemendag menunjukkan produksi 2018 mencapai 116,9% dari kebutuhan nasional karena permintaan hanya 3,04 juta ton. Tahun 2019 produksi mencapai 121,17% dari kebutuhan nasional karena permintaan 3,25 juta ton saja.
Lebih dari itu impor daging ayam dapat membuat Indonesia benar-benar gagal mencapai swasembada daging dan menjadi nett importir. Sebelum ayam, daging sapi selama bertahun-tahun diimpor karena produksi dalam negeri selalu defisit.
Minim Solusi
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo mengatakan rugi atau tidaknya peternak tidak terletak pada ada impor atau tidak.
“Ini berlaku untuk ayam dan yang lain-lain, sebetulnya, kan, terserah pada kita, ya,” ucap Iman dalam diskusi 'New Normal dalam Perdagangan Internasional,' Jumat (6/11/2020). Maksudnya, selama masyarakat memilih produk lokal, maka mau sebanyak apa pun produk impor, produsen dalam negeri tetap diuntungkan.
Oleh karena itu satu-satunya solusi yang ia tawarkan kembali ke masing-masing peternak, yaitu tetap harus menjaga kualitas. Hanya dengan cara itu, ia meyakini, “kita bisa bersaing di pasar kita sendiri.”
Guru Besar IPB University Dwi Andreas menjelaskan betapa solusi meningkatkan kualitas sama sekali bukan jawaban. Ia bilang daging impor yang akan datang merupakan kelebihan produksi. Harganya pun sangat murah karena mereka lebih efisien dan disubsidi oleh negara asal. Data BPPP Kemendag mencatat disparitas harga daging ayam domestik dan internasional: Rp44.674/kg & Rp29.511/kg (2018), Rp44.045/kg & Rp25.932/kg (2019), dan Rp31/257/kg & Rp22.087/kg (Agustus 2020).
Per 5 November 2020, Uni Eropa mencatat harga daging ayam (asumsi 1 euro=Rp16.000) Brasil bahkan lebih murah lagi, yaitu Rp16.000/kg. Amerika bahkan hanya Rp19.680/kg disusul Eropa Rp28.900/kg.
Perlu diingat, meski lebih mahal, ini tidak menguntungkan peternak lokal. Data BPPP Kemendag mencatat per September 2020, bila harga di konsumen mencapai Rp30.331/kg, peternak hanya mendapat Rp15.289/kg. Bahkan perbandingan konsumen-peternak per September 2019 adalah Rp30.799/kg & Rp13.320/kg.
Ini semua belum termasuk persoalan biaya sarana-produksi peternak (sapronak) yang mahal yang mesti ditanggung peternak mandiri. Mereka yang tidak efisien praktis akan terlibas.
Oleh karena itu ia meminta pemerintah mengambil langkah lebih jelas. Jika tidak, Indonesia akan mengulangi kesalahan komoditas bawang putih dan kedelai: sempat swasembada pada 1990-an, tetapi kini menjadi importir karena produksi petani hancur karena derasnya impor.
“Solusinya pasang tarif. Itu mutlak kalau enggak bisa hancur,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Selasa (27/10/2020).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal sependapat tarif dapat menjadi solusi. Faisal bilang mekanisme safeguard bisa diterapkan agar tidak terlalu banyak daging yang masuk. “Agar tak banyak yang injury di indonesia, kita bisa lakukan safeguard,” ucap Faisal kepada reporter Tirto, Jumat (6/11/2020).
Jangka panjangnya, Indonesia dapat menginvestigasi dugaan banting harga (dumping) bila harga jualnya sangat murah, apalagi jika benar di bawah ongkos produksi wajar.
Sementara ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah memperketat sertifikasi halal. Meski gagal di level perdagangan internasional, cara ini bisa efektif selain pertimbangan amanat UU juga karena konsumen Indonesia mayoritas muslim.
“Kan, enggak mungkin barang yang masuk enggak punya sertifikat halal, cara menyembelih dan segala macam,” ucap Bhima kepada reporter Tirto, Jumat.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz