Menuju konten utama

Nasib Buram Petani dan Peternak di Tengah Pandemi COVID-19

Hancurnya harga cabai dan ayam bikin petani dan peternak terancam gulung tikar.

Nasib Buram Petani dan Peternak di Tengah Pandemi COVID-19
Ilustrasi nasib petani di tengah wabah COVID-19. tirto.id/Lugas

tirto.id - Sejak diumumkan pasien pertama positif oleh presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, Kementerian Pertanian rajin bikin kampanye di akun twitternya. Mulai dari kampanye manfaat buah dan rempah-rempah untuk menangkal virus corona, himbauan physical distancing, hingga kepastian stok bahan baku pokok pangan aman sampai bulan Agustus 2020.

Sayangnya, dari semua kampanye itu tidak ada informasi dampak wabah COVID-19 terhadap para petani dan peternak.

Dari 68 postingan terkait COVID-19, satu di antaranya terkait harga pangan di Pasar Mitra Tani/ TTIC pesan via Gofood. Beras Rp8.880 per kilogram (kg), ayam Rp30.000/kg, minyak goreng Rp11.000/kg, gula Rp12.500/kg, cabai rawit Rp35.000/kg, cabai panjang Rp25.000/kg, daging Rp75.000/kg, telur Rp22.000/kg, dan bawang merah Rp35.000/kg.

Jika melihat harga yang ditetapkan Kementerian Pertanian, angka tersebut bisa membuat petani tersenyum. Tapi realitasnya tidak demikian, para petani hortikultura dan peternak ayam ras menjerit karena hasil panen yang melimpah tidak dibarengin dengan permintaan pasar. Kondisi ini terjadi karena dampak wabah virus COVID-19 menghantam pertani dan peternak ayam di pulau Jawa.

Sholeh Iskandar, petani cabai Desa Kiarasari, Bogor mengatakan wabah virus COVID-19 berdampak pada jadwal operasional Pasar Bogor yang biasanya 24 jam, kini dibatasi hanya 10 jam. Dari jam 4 sore sampai dengan jam 2 pagi. Sebelum wabah, harga cabai merah keriting dipatok Rp40-50 ribu per kilogram. Tapi saat ini harga cabai turun drastis menjadi Rp10 ribu per kilogram.

"Dengan harga murah saat ini petani juga kesulitan untuk menjual hasil pertaniannya. Sebab minimnya permintaan. Apalagi setelah ada pembatasan waktu operasional pasar," kata Sholeh saat dihubungi Tirto, Sabtu (11/4/2020).

Penjualan hasil panen cabai petani akan bertambah sulit ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor diberlakukan pada Rabu (15/4/2020). Memang, wilayah kabupaten Bogor tidak menerapkan PSBB di seluruh wilayah, PSBB hanya berada di 11 dari 40 kecamatan yang masuk zona merah penyebaran COVID-19.

Sholeh menambahkan harga cabai turun Rp10 ribu per kilogram pada tingkat petani karena tengkulak yang mematok harganya. Beberapa petani terpaksa menjual ke tengkulak karena akses lokasi pasar yang jauh dengan desa dan khawatir merugi lebih besar. Jarak Desa Kiarasari, tempat Sholeh menanam cabai ke Agen Pupuk di kecamatan Sukajaya harus menempuh jarak 21 kilometer, sedangkan ke ibu kota kabupaten sekitar 90 kilometer.

"Petani enggak mau cabainya busuk, tapi dijual harganya murah banget," kata Sholeh yang memiliki luas lahan 2 hektare.

Ia menambahkan hasil pertanian yang dijual ke Tengkulak dikirimkan ke Pasar Bogor, Pasar Rakyat Leuwisadeng dan Pasar Lama Cigudeg. Tiga lokasi pasar tersebut berada di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor.

Petani di wilayah Bogor Barat ini pun menyiasati penjualan cabai secara online agar rugi tidak bertambah besar. Pada 13 Januari 2020, Sholeh berhasil menjual 80 kilogram cabai merah kepada warga satu desa dengan harga di bawah pasar yakni Rp20 ribu per kilogram. Jumlah tersebut kecil bila dibandingkan dengan penyerapan di pasar tradisional, tapi sebagai petani skala kecil, Sholeh tak punya pilihan lagi.

Nasib Petani Bergantung Pada Jakarta

Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) mencatat, kebutuhan pangan khususnya cabai untuk Jakarta mencapai 80-100 ton per hari. Untuk memenuhi pasokan itu, Jakarta bergantung pada daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Namun, dengan kondisi wabah COVID-19 dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta membuat permintaan cabai menurun menjadi 20-25 ton per hari.

Ketua Umum AACI Abdul Hamid mengatakan saat ini petani memanen cabai 200 ton per hari. Melimpahnya produksi cabai untuk memenuhi kebutuhan pangan Provinsi Jakarta dalam menyambut bulan ramadan dan lebaran. Dia menambahkan wajar petani cabai meningkatkan produksi dua kali lipat sebab pasar terbesar pangan berada di Jakarta.

"Kalau kondisi saat ini kebutuhan cabai 20-25 ton per hari. Sementara panen petani sekarang bisa mencapai 200 ton per hari. Ini yang saya khawatirkan, jangan sampai petani cabai rugi," kata Hamid kepada Tirto, Jakarta, Senin (13/4/2020).

Penurunan permintaan cabai, lanjut Hamid, dikarenakan sebagian besar rumah makan, hotel dan tempat kuliner lainnya tutup. Akibatnya kebutuhan cabai sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu, asosiasi mencari jaringan baru untuk distribusi cabai yang melimpah. Salah satunya dengan bekerja sama dengan platform start up untuk memasarkan hasil pertanian kepada masyarakat.

Hamid menegaskan akan memasok hasil pertanian lewat platform start up, tapi dia menyarankan untuk tidak menjual dengan harga mahal seperti di pasar tradisional. Misalnya, kalau ambil untung Rp10 ribu per kilogram, dia hanya bisa jual 100 kilogram. Tapi ketika mengambil untung Rp5 ribu per kilogram, platform bisa menjual satu ton. Saat ini, kata Hamid, permintaan cabai untuk perusahaan platform start up naik 30-40 persen. Bila biasanya 1 ton per hari menjadi 1,4 ton.

Dampak lain COVID-19 adalah buruh kerja yang memanen hasil cabai takut keluar rumah ketika pekerja dari Jakarta pulang ke desa, sebab ada kekhawatiran membawa virus COVID-19. Dampak selanjutnya, pada bulan Mei akan banjir cabai besar-besaran sebab ada 12 ribu lahan cabai yang akan panen raya.

Saat ini, kata Hamid, harga cabai merah besar berjatuhan seperti di pinggiran Kota Malang dipatok Rp7 ribu per kilogram. Kemudian cabai keriting Rp10 ribu per kilogram di Kota Malang dan Pasuruan. Jika harga cabai di tingkat petani tetap di angka Rp10 ribu per kilogram, maka petani akan menangis.

Hamid menjelaskan modal petani untuk menanam cabai sampai panen membutuhkan biaya Rp13 ribu per kilogram. Bila harga pasar di bawah itu, otomatis petani akan merugi. Dampaknya tidak bisa membayar kredit usaha rakyat (KUR). Kondisi itu membuat petani enggak bisa menanam cabai di bulan enam dan tujuh karena tidak ada modal lagi, sementara untuk mengambil KUR harus melunaskan terlebih dahulu.

"Petani ini ada yang modalnya pinjaman. Pemerintah bilang ada relaksasi KUR, tapi saya lihat relaksasi tidak banyak membantu juga. Relaksasikan utangnya tetap, hanya diperpanjang tenornya aja. Mau dapat untuk petani hidup aja enggak bisa, gimana mau bayar utang. Ini yang repot," kata Hamid.

Bukan hanya petani cabai yang terdampak wabah COVID-19, petani jagung di Lamongan dan peternak ayam ras di Jombang, Jawa Timur juga kena.

Rifai, pria yang sudah 20 tahun bergelut menjadi petani Hortikultura ini mengatakan hasil panen jagung diperuntukkan bagi pasar ekspor dan pakan ternak dalam negeri. Tapi sampai saat ini, tidak ada pembeli baik dari pabrik maupun pengepul untuk menyerap hasil panen jagung.

Kondisi ini sudah berlangsung selama satu bulan terakhir. Jika pun ada yang beli harganya murah sekali, dari Rp4.500 per kilogram menjadi Rp3.000 per kilogram. Biasanya kata Hamid, musim panen jagung pabrik-pabrik pakan ternak akan menyerap hasil panen tapi kondisinya pabrik menghentikan pasokan karena dampak COVID-19. Persoalan lainnya, buruh kerja untuk memetik hasil panen pun sulit ditemui karena mereka khawatir terkena COVID-19.

"Sekarang petani itu banyak yang membiarkan tanaman jagung masih di kebun meskipun sudah waktunya panen," kata Rifai yang memiliki lahan seluas satu hektar.

Sahrial Asro, Peternak Ayam Jombang mengatakan sebelum ada wabah COVID-19, usaha ternaknya bisa menjual ayam potong sebanyak 50-70 ton per hari untuk pedagang di Pasar Jombang dan Pasar Mojokerto. Tapi kondisi saat ini, Asro hanya mampu menjual 10-25 ton per hari. Dampak wabah asal Wuhan ini membuat distribusi ayam berantakan.

Meski Pasar Jombang belum menerapkan PSBB, pemerintah daerah sudah membatasi waktu operasional pasar sampai jam 6 sore. Dampaknya penyerapan hasil panen ayam broiler di pasar tradisional menurun, hal ini diperparah dengan pengunjung yang pergi ke pasar juga sedikit. Pembatasan operasional pasar pun terjadi di Kabupaten Jember, Bojonegoro dan Cirebon

"Orang mau keluar juga takut akhirnya daya belinya menurun. Sedangkan produksi ayam broiler di perternakan banyak," kata Asro akhir pekan lalu kepada Tirto.

Dampak dari menurunnya permintaan membuat para tengkulak melakukan negosiasi harga kepada peternak ayam. Satu kilogram, tengkulak mematok harga Rp6-7 ribu. Sementara rumah pemotongan ayam (RPA) mematok harga Rp8-9 ribu per kilogram. Kondisi itu, kata Asro berlangsung selama dua Minggu. Padahal harga pokok penjualan (HPP) ayam broiler diangka Rp18.200 per kilogram.

Pada saat harga RPA lebih tinggi dibandingkan tengkulak, peternak ayam berlomba-lomba menjualnya kepada penawar yang lebih tinggi. Jika dibeli RPA, mungkin ayam broilernya dikirim untuk kebutuhan warga Jakarta. Sisanya untuk warga Surabaya, Jombang, Mojekerto, dan Sidoarjo. Sekarang, harga ayam kembali ke angka Rp15 ribu per kilogram, Asro berharap kondisi tersebut membaik sampai menuju angka HPP.

Intervensi Untuk Selamatkan Petani

Penerapan PSBB membuat ekspedisi pengangkut logistik pangan takut tidak diizinkan masuk ke daerah tujuan. Padahal dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 disebutkan pengecualian bagi angkutan pangan.

Sayangnya kondisi di lapangan tidak sejalan dengan kemauan pemerintah.

Di Lamongan contohnya, Rifai mengatakan pemerintah desa melakukan pembatasan bagi orang luar yang masuk wilayahnya untuk antisipasi penyebaran COVID-19. Pembatasan itu bagus, sayangnya perlakuan itu juga berlaku bagi pedagang. Mereka yang mau beli hasil panen jagung harus diperiksa dan dikarantina terlebih dahulu oleh pihak desa. Dampaknya, pedagang yang niatnya membeli hasil petani itu enggan masuk ke wilayah tersebut.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengakui menerima laporan seperti itu di lapangan. Bahkan laporan terbaru dari pemerintah Cianjur bahwa angkutan pangan berupa beras tidak bisa di bawa keluar lagi dengan alasan pembatasan, alhasil angkutan pangan tersebut kembali lagi ke Cianjur.

"Pemerintah pusat sudah memberikan pengecualian bagi angkutan logistik pangan. Tolong dong diikuti oleh semua pemerintah daerah, termasuk pemerintah desa. Saya kadang mendengarkan laporan itu miris," kata Agung kepada Tirto, Selasa (14/4/2020).

Pemerintah daerah boleh melakukan PSBB, tapi yang perlu diingat tidak semua kebutuhan bisa dipenuhi sendiri. Misalnya, Jakarta, kebutuhan pangan hampir 98% bergantung sama daerah penyangga seperti Kerawang, Lembang, Bogor, Bekasi dll. Jika semua dilarang, pertanyaannya, siapa yang mengangkut bahan pokok pangan untuk warga Jakarta?

Sementara itu, pemerintah pusat harus melakukan intervensi di lapangan terkait penyelamatan hasil panen petani.

Abdul Hamid mengatakan, pertama Kementan harus memasarkan hasil panen petani cabai yang melimpah dengan cara mewajibkan para ASN di Kementan, Kementerian Perdagangan, PNS DKI dan pemerintah daerah lainnya untuk membeli hasil panen petani. Seminggu, cukup membeli setengah kilogram dengan harga di bawah pasaran Rp10-15 ribu per setengah kilogram.

"ASN bisa beli setengah kilogram saja dengan harga Rp10-15 ribu aja sudah sangat membantu sekali petani," kata Hamid.

Kedua, pemerintah harus membuat terobosan Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi petani cabai. Sebab di daerah mengeluhkan belum ada petunjuk pelaksanaannya dari pusat. Relaksasi KUR tidak sekadar memperpanjang tenor utang, tapi menjamin adanya modal bantuan meskipun belum bisa menyelesaikan KUR sebelumnya.

Ketiga, menyelesaikan anomali harga hasil panen di tingkat petani dengan di pasar. Harga cabai di tingkat petani sebesar Rp10 ribu per kilogram, sedangkan di tingkat pasar sudah mencapai Rp40-50 ribu per kilogram.

Infografik HL Cabe

Infografik nasib petani di tengah wabah COVID-19. tirto.id/Lugas

Menanggapi omongan Hamid ini, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi meyakini masalah bakal bisa diatasi. Misalnya soal KUR, Agung bilang masalah akan selesai ketika Kementan menyerap hasil panen petani dengan harga yang wajar. Namun pada saat yang sama Agung mengaku bahwa penyerapan kementan tidak bisa sebesar yang para pedagang pasar tradisional lakukan.

Meski tak memiliki jawaban soal besaran penyerapan hasil panen cabai, Agung mengklaim paling tidak Kementan bisa mengontrol harga cabai di petani.

Kemudian terkait anomali harga di tingkat petani dan pasar, Agung mengatakan bekerja sama dengan Satgas Mafia Pangan untuk mengawasi harga di pasar. Dia mengklaim harga di retail modern sudah mengikuti acuan harga pemerintah semua. Sedangkan persoalan di pasar tradisional harus diawasi bersama Kementerian Perdagangan.

"Pasar tradisional sedikit terbuka, memang tidak bisa sempurna amat tapi kita terus awasi," kata Agung.

Kementan boleh mengklaim sudah berusaha menyerap hasil panen dengan harga wajar atau balik modal, namun faktanya sudah ada petani dan peternak mulai berhenti produksi karena harga jual di pasar tidak sesuai.

Di antaranya petani sayuran di Desa Kiarasari sebanyak 15-18 orang, lalu peternak ayam di Jombang 90 persen gulung tikar dari 220 pengusaha ternak ayam. Begitu pula petani cabai.

"Kalau gulung tikar sudah mulai banyak. Ini akan bertambah ketika harga cabai stagnan Rp10 ribu perkilogram," kata Hamid.

Baca juga artikel terkait DAMPAK PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Mawa Kresna