Menuju konten utama

Gugatan di WTO, Lingkaran Setan Mimpi Swasembada Indonesia

Nasib negara berkembang seperti Indonesia ibarat maju kena mundur kena, termasuk soal menempatkan diri dalam perdagangan internasional. Alih-alih mengejar swasembada, Indonesia malah sering berurusan dengan wasit perdagangan dunia, WTO. Salah satunya terkait masalah daging.

Gugatan di WTO, Lingkaran Setan Mimpi Swasembada Indonesia
Peternakan sapi di Selandia Baru. [foto/shutterstock]

tirto.id - ”Indonesia mitra dagang terbesar ke-13 dengan Selandia Baru, ini potensi yang sangat besar untuk membangun hubungan lebih lanjut.”

Pernyataan ini disampaikan Perdana Menteri Selandia Baru John Key jelang rencana kunjungan kenegaraan ke Indonesia 17-20 Juli 2016 mendatang. Selandia Baru ingin meningkatkan perdagangan dengan Indonesia sebagai negara yang punya pasar 250 juta jiwa.

Rencana kunjungan sang perdana menteri dalam rangka peningkatan perdagangan memang cukup menarik. Sebab, kedua negara sedang bertengkar di WTO terkait tudingan Selandia Baru kepada Indonesia soal pembatasan impor produk buah dan sayur hingga daging sapi. Negara maju seperti Selandia baru tak rela sedikitpun kepentingan para petani dan peternak mereka terusik.

Berdasarkan catatan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru, negara tersebut berpotensi kehilangan nilai perdagangan 500 juta dolar AS hingga 1 miliar dolar AS akibat kebijakan pembatasan impor daging sapi oleh Indonesia.

Pada 2010, mereka mengklaim Indonesia merupakan pangsa pasar terbesar kedua bagi produk daging sapinya. Negeri Kiwi itu mampu mengirim 48.823 ton daging senilai 185 juta dolar AS. Semenjak ada kebijakan swasembada termasuk pengendalian impor daging sapi pada 2011, pasokan daging sapi Selandia Baru ke Indonesia anjlok. Pada tahun lalu Selandia Baru hanya bisa memasok 8.899 ton daging sapi.

Apa yang terjadi oleh Selandia Baru jadi bukti bahwa negara maju tak akan rela negara berkembang seperti Indonesia membangun kemandirian pangan termasuk daging sapi. Upaya-upaya menekan Indonesia melalui jalur sengketa perdagangan jadi ongkos mahal bagi Indonesia dalam mengejar swasembada.

Mimpi Swasembada dan WTO

Selama bertahun-tahun pemerintah berjuang untuk mencapai swasembada. Impor dikendalikan dengan harapan mendorong atau menyemangati peternak atau petani tetap berproduksi. Namun, upaya itu tidak mudah. Di tengah perdagangan dunia yang sudah bebas, batas-batas kepentingan antar negara makin tipis. Hadirnya WTO sebagai wasit perdagangan dunia akan mudah mencengkeram negara-negara anggotanya yang mencoba menarik lebih jauh kepentingan negaranya dengan mengandalkan restriksi perdagangan demi industri, peternak, dan petani mereka.

Berdasarkan laporan WTO pada 2013, terjadi peningkatan kebijakan perdagangan yang restriktif. Organisasi tersebut mencatat ada sebanyak 407 kebijakan baru yang dibuat dan diterapkan oleh 130 anggota WTO. Sebanyak 407 kebijakan tersebut berpengaruh terhadap nilai perdagangan dunia sebesar 240 miliar dolar AS.

Soal restriksi perdagangan, Indonesia termasuk negara yang paling sering kena gugatan oleh negara-negara lain, khususnya negara maju. Dalam catatan WTO, selama 15 tahun terakhir, Indonesia berurusan dengan WTO kurang lebih 25 kali. Sejak 2004, Indonesia sudah digugat 13 kali, dan 12 kali menggugat. Yang menarik, Indonesia umumnya digugat soal isu pertanian dan peternakan. Sementara Indonesia lebih banyak menggugat soal sektor industri.

Salah satu perkara yang sedang bergulir, dan menanti keputusan final tahun ini adalah gugatan tuduhan restriksi impor yang dilakukan Indonesia terhadap produk hortikultura seperti buah dan sayur hingga produk hewan khususnya daging sapi. Dalam kasus ini, AS merupakan negara pertama yang melaporkan keberatannya ke WTO pada awal 2013. Pada tahun yang sama, Selandia Baru juga mengajukan kasus yang sama. Setelah itu, sebanyak 14 negara lain ikut menebeng kasus serupa, termasuk Brazil. Dalam kasus ini, Indonesia benar-benar dikeroyok total.

Tudingan restriksi impor daging sapi ini memang paling dilema bagi pemerintah. Saat di dalam negeri program swasembada daging bergulir beberapa kali pergantian pemerintahan. Swasembada daging sudah jadi komoditi politik setiap pemerintahan. Maka jalan yang paling mudah ditempuh dan instan adalah membatasi impor daging apapun caranya seperti sistem kuota, sistem rekomendasi atau lisensi. Kebijakan-kebijakan ini lah yang menjadi peluru negara maju membawa Indonesia ke meja WTO .

Perkara di WTO

Pemerintah Indonesia tentu saja memiliki alasan kuat dalam menghadapi gugatan terkait tuduhan restriksi perdagangan hortikultura dan daging sapi. Pintu impor Indonesia masih dibuka. Namun, pemerintah menginginkan data yang jelas soal kebutuhan dan importasi untuk periode tertentu.

Ibaratnya ada sebuah kran air yang bisa mengatur kapan produk impor masuk ke pasar, juga kapan dihentikan sementara untuk disesuaikan dengan produksi dalam negeri. Dalam impor buah dan sayur ada skema Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang dianggap mempersulit negara pemasok. Di perdagangan sapi ada sistem kuota, termasuk rekomendasi impor hingga ketentuan-ketentuan soal pembatasan pihak pengimpor.

"Tidak hanya Indonesia yang melakukan hal seperti ini, di mana-mana yang namanya produk pertanian itu sarat dengan perlindungan baik di negara maju maupun di negara berkembang sendiri," kata mantan Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami dikutip dari Antara.

Sayangnya, alasan ini tetap tak mempan bagi negara-negara penggugat seperti AS maupun Selandia Baru. Bagi mereka melaporkan Indonesia ke WTO merupakan cara ampuh memepet negara berkembang. Padahal data menunjukkan kepentingan ekspor barang yang mereka perjuangkan tidak besar-besar amat.

Menggunakan istilah Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung persoalan ini hanya “urusan kecil” sehingga kedua negara tadi dianggap berlebihan. Padahal jalan diplomasi lebih elegan. Pada 2012, atau setahun sebelum AS menggugat Indonesia ke WTO, nilai impor hortikultura Indonesia dari AS hanya 120 juta dolar AS atau hanya 12 persen dari total impor hortikultura. Nilai impor daging Indonesia dari AS juga hanya 3,5 persen dari total daging sapi impor yang 417 juta dolar AS. Padahal logikanya, seharusnya Cina sebagai pemasok utama buah impor ke Indonesia yang melakukan gugatan ke WTO.

Dalam kasus daging impor, malah Selandia Baru yang menggugat ke WTO, bukan Australia yang selama ini jadi pemasok utama daging impor ke Indonesia. Mengutip data Comtrade, Indonesia hanya di urutan keenam pasar daging sapi Selandia Baru. Pasar ekspor daging sapi Selandia Baru lebih banyak ke AS, Cina, Jepang, Korsel, dan Kanada. Media stuff.co.nz, menulis ekspor daging sapi Selandia Baru ke Indonesia memang berfluktuasi. Pada 2014 sempat ada kelonggaran impor daging sapi, per September 2014 mereka berhasil mengekspor 20.000 ton senilai 79 juta dolar AS. Angka ini jauh lebih baik dibandingkan 2013 yang hanya 10.000 ton daging sapi.

“Ketentuan impor, seperti pengaturan masa atau periode impor yang diterapkan Indonesia sebenarnya tidak menurunkan volume impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan dari Selandia Baru dan AS, jadi sama sekali bukan kategori restriksi impor,” kata Bustanul dikutip dari laman pribadinya barifin.wordpress.com.

Menghadapi kasus ini, Indonesia sebenarnya sempat melunak terhadap kepentingan AS dan Selandia Baru khususnya dalam perkara hortikultura. Indonesia sempat merevisi ketentuan RIPH di Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 60 Tahun 2012 tentang RIPH, yang telah diubah jadi Permentan No 47/2013 pada April. Revisi lanjutan juga terjadi dengan terbitnya Permentan No 86/2013 pada Agustus tentang hal yang sama.

Juga ada revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 60/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura (KIPH) menjadi Permendag No 16/2013 pada bulan April. Lagi-lagi ada revisi, muncul dengan hadirnya Permendag No 57/2013 pada September. Intinya semua prosedur perizinan impor banyak disederhanakan dan aplikasi izin impor secara online. Namun, negara maju seperti AS dan Selandia Baru tak puas, mereka tetap ingin menyelesaikan di WTO.

Melunaknya Indonesia di sektor hortikultura tak dibarengi dengan kebijakan daging sapi impor. Sejak 2011 Indonesia memang cukup keras dalam menekan impor daging sapi, terlebih setelah Jokowi terpilih jadi presiden. Melalui Kementerian Pertanian, sejak awal 2015 pemerintah memperketat impor daging sapi kategori secondary cut melalui Permentan Nomor 58 Tahun 2015 tentang perubahan atas Permentan Nomor 139 Tahun 2014 tentang pemasukan karkas, daging, dan jeroan dalam negeri.

“Indonesia telah merusak inti dari prinsip WTO dan tak konsisten dengan kewajiban dari perjanjian yang ada di WTO,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru dikutip dari stuff.co.nz.

Sayangnya pemerintah tak konsisten. Saat harga daging sapi melonjak awal puasa lalu, pemerintah membuka jurus impor daging sapi besar-besaran hingga puluhan ribu ton termasuk jenis daging secondary cut yang sebagian izinnya diberikan ke importir swasta. Hal ini membuat kecemburuan importir lain yang tidak kebagian, dan pastinya pemerintah melanggar aturan yang sudah dibuatnya. Akhirnya, pada pekan ini Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman membuka izin impor secondary cut yang selama ini hanya menjadi ranah BUMN untuk melakukan impor.

“Insya Allah, drafnya masih ada diubah sedikit. Hal yang masih dalam perubahan draf seperti secondary cut bisa di impor oleh siapa saja, begitu juga jeroan," kata Amran dikutip dari kompas.com.

Akhirnya Indonesia menyerah. Pergulatan kepentingan antara negara maju dan negara berkembang dalam perdagangan dunia sudah bergulir tanpa titik terang hampir 15 tahun. Nama Doha Development Agenda (DDA) atau Putaran Doha memang sebuah makhluk asing bagi khalayak banyak. Namun, di sini lah upaya jalan tengah antara kedua kepentingan dirundingkan, yang akhirnya memang tak akan pernah mencapai titik temu.

Dalam kasus restriksi daging sapi, Indonesia babak belur dua kali. Gugatan di WTO mau tak mau harus diladeni, di sisi lain Indonesia akhirnya harus menyerah membuka kran impor yang selama ini disumpal dengan regulasi-regulasi perdagangan dan pertanian demi bermimpi mandiri di kaki sendiri dengan cara instan.

Jadi, kunjungan perdana menteri Selandia Baru menjadi bukti bahwa jalan tengah akan dipilih, saat nasi sudah jadi bubur di meja WTO. Lagi-lagi, iming-iming investasi bakal jadi jurus pamungkas negara maju menyelipkan kepentingannya agar negara berkembang membuka pasar. Selandia Baru hanya tak mau kehilangan secuil pun pasarnya dari Indonesia. Sampai kapan Indonesia bebas dari “lingkaran setan” menggapai mimpi swasembada?

Jawabannya ada tiga, apakah Indonesia hanya rela memfasilitasi kepentingan negara maju. Kedua, berniat mencapai swasembada dengan cara instan membatasi impor di tengah peta perdagangan dunia yang sudah liberal, dengan risiko berurusan dengan “sang wasit” yang akhirnya jadi lingkaran setan. Ketiga, membangun industri peternakan dan daging sapi yang berdaya saing, dan melibatkan BUMN.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti