tirto.id - Pembunuhan yang melibatkan personel polisi terus terjadi dan menjadi sorotan masyarakat. Kasus-kasus itu tak hanya terjadi sebagai dugaan tindakan pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing, tapi juga terjadi di ranah domestik. Seperti di Kabupaten Bogor, Aipda Nikson Jeni Pangaribuan (41) membunuh ibunya kandungnya, Herlina Sianipar (61). Nikson disebut memang memiliki riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya.
Selain kasus Nikson, kasus polisi menembak mati warga sipil dan sesama personel juga jadi perbincangan publik. Bulan lalu, anggota Polrestabes Semarang menembak seorang pelajar SMKN 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy, hingga tewas.
Kapolrestabes Semarang sempat mengatakan bahwa korban tewas terkena tembakan dari Bripka R yang hendak membubarkan tawuran. Namun, belakangan terungkap bahwa tak pernah terjadi aksi tawuran saat peristiwa penembakan Gamma.
Dua hari sebelum kasus penembakan di Semarang, pada Jumat 22 November 2024, Kabag OPS Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar, menembak mati rekannya, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, AKP Ryanto Ulil Anshar. Pembunuhan yang dilakukan Dadang terkait dengan penanganan tambang ilegal yang tengah ditangani AKP Ryanto Ulil Anshar. Dadang diduga menjadi beking kegiatan bisnis tambang ilegal di Solok Selatan.
Tembak mati juga menimpa warga bernama Beni (46). Pelaku penembakan tersebut adalahanggota Brimob Polda Bangka Belitung yang kala itu tengah menjaga kebun PT BPL. Peristiwa itu terjadi bulan lalu dan diduga terjadi karena polisi menduga Beni melakukan tindakan pidana pencurian buah sawit di kawasan kebun.
Tak habis di situ, kasus serupa juga terjadi di Lampung dan menjadi viral belakangan ini. Warga bernama Romadon dikabarkan ditembak mati oleh anggota Polda Lampung di depan istri dan anaknya. Kasus ini terjadi di kediaman korban karena dia diduga merupakan pelaku pencurian dengan kekerasan atau disebut begal.
Rentetan peristiwa pembunuhan di luar hukum hingga kekerasan yang menyebabkan warga tewas membuat institusi kepolisian didesak segera berbenah. Kepolisian RI alias Polri terus mendapat desakan untuk mengevaluasi kondisi kesehatan mental dan penggunaan senjata api para personelnya.
Evaluasi Kondisi Kesehatan Mental Polisi
Kepala Biro Psikologi Rumah Cinta, Retno Lelyani Dewi, menjelaskan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum secara teori dapat terjadi karena dorongan faktor internal dan eksternal. Faktor internal, kata Retno, meliputi hal-hal seperti kepribadian, gangguan kesehatan mental, dan genetik temperamental.
Sementara itu, faktor eksternal meliputi tekanan pekerjaan, pengaruh dari asuhan otoriter serta penelantaran, media sosial, hingga lingkungan sosial yang permisif kekerasan.
“Artinya, bisa jadi tekanan pekerjaan menjadi pemicu. Namun, interaksi semua faktor perlu diperiksa juga untuk memastikan,” kata Retno dihubungi reporter Tirto, Jumat (6/12/2024).
Idealnya, kata dia, pemeriksaan dan pengawasan kesehatan mental aparat penegak hukum dilakukan sejak rekrutmen. Kemudian, evaluasi rutin secara berkala satu sampai tiga bulan perlu dilakukan untuk memastikan kondisi kesejahteraan mental aparat mumpuni untuk bisa bertugas di tengah masyarakat.
Di sisi lain, faktor internal institusi kepolisian, seperti kultur rantai komando hingga adanya superioritas aparat, juga dapat pemicu tindakan kekerasan oleh polisi.
Menurut Retno, proses perekrutanPolri perlu dilengkapi asesmen menyeluruh terkait kesehatan mental calon anggota. Selain itu, faktor-faktor terkait kesejahteraan aparat, seperti gaji layak dan tunjangannya, perlu disesuaikan dan dipublikasi secara transparan. Ini akan membuat masyarakat dapat mengawasi dan membantu menjaga kinerja aparat kepolisian.
“Penyediaan center for mental health khusus untuk aparat kepolisian juga penting,” terang dia.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI, Chairul Anam, menilai kesejahteraan mental anggota Polri memang menjadi faktor penting menekan kasus abuse of poweryang belakangan marak. Kesehatan mental yang baik, kata dia, dapat mengatur emosi agar lebih sehat dan stabil.
Stabilitas dan jiwa yang sehat dinilai Anam menjadi kunci penting bagi siapa pun aparat penegak hukum yang punya kewenangan membawa senjata api.
Kompolnas mendorong kebijakan untuk memperketat syarat penggunaan senjata api. Anam pun mendorong penggunaan senjata nonlethal weapon. Senjata api baru digunakan dalam kondisi tertentu dengan syarat tertentu pula.
Dari sisi personel, Anam menyoroti soal tes psikologi anggota Polri yang perlu dilakukan secara rutin.
“Penting untuk menggerakkan minimal level Polda, di level Polres, ada pelayanan mental healthdari psikologi untuk anggota. Bisa seminggu sekali, bisa sebulan sekali,” ujar Anam kepada reporter Tirto, Jumat.
Dalam menyikapi berbagai kasus kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan polisi, Anam menyatakan bahwa lembaganya terus mendorong penegakan hukum atas kasus-kasus tersebut dilakukan secara profesional dan transparan. Penting, menurut dia, melihat bagaimana proses pengusutan kasus dan akuntabilitas polisi tetap berjalan sesuai aturan.
“Apalagi kalau pelanggaran itu dilakukan oleh anggota kepolisian sendiri. Ini juga untuk membangun kepercayaan penegakan hukum oleh kepolisian,” terang Anam.
Masalah Serius yang Harus Dihentikan
Sementara itu, Wakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, mengungkap data yang didapat dari pemantauan selama satu tahun terakhir terhadap pelanggaran HAM di Indonesia. Dari data tersebut, KontraS mendapati pelaku pelanggar HAM didominasi kalangan aparat penegak hukum.
Andi menjabarkan bahwa salah satu pelanggaran HAM yang banyak terjadi adalah extrajudicial killing. Total kasus yang terkait dengan extrajudicial killingdari Desember 2023 sampai November 2024 sebanyak 45 kasus.
KontraS mencatat, bentuk tindakan pembunuhan di luar hukum itu terbagi menjadi tiga jenis, yakni penyiksaan, penembakan pelaku kriminal, dan penembakan warga sipil. Tindakan-tindakan itu secara akumulatif tercatat menewaskan 47 orang. Detailnya, 37 korban merupakan tersangka tindak pidana dan 20 lainnya bukan tersangka tindak pidana.
Penembakan dengan senjata api, seturut data KontraS, menyebabkan 29 korban tewas, sementara 18 lainnya meninggal akibat tindak penyiksaan. Sebanyak 24 dari 47 korban itu tewas tanpa melakukan perlawanan kepada aparat.
Jikadilihat dari aktornya, angka tertinggi pelanggaran extrajudicial killingdilakukan oleh personel kepolisian (34 peristiwa) dan institusi TNI (11 peristiwa).
"Umumnya saat ini tidak ada upaya untuk berbenah dalam institusi kepolisian yang melakukan evaluasi atau tindakan tegas kepada aktor-aktor yang bertanggung jawab. Yang saya maksud kebal hukum. Harusnya tidak hanya aktor-aktor di bawah ditindak, tapi juga di atasnya,” kata Andi dalam konferensi pers Catatan Hari HAM 2024 oleh KontraS di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat, Jumat (6/12/2024).
Sementara itu, Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, menilai bahwa tingginya kasus penembakan berujung kematian itu membuktikan ada masalah serius dalam regulasi. Padahal, penggunaan senjata oleh personel harus disesuaikan dengan fungsi dan tugas yang diemban.
Pasal 6 Ayat 1 ICCPR yang telah diratifikasi pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengatur bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup. Hak hidup itu harus dilindungi oleh hukum.
Sehingga, tidak seorang pun diperbolehkan untuk secara sewenang-wenang atau gegabah merampas hak hidup orang lain. Di pasal selanjutnya, payung hukum yang sama mengatur bahwa tidak seorang pun dapat dibenarkan untuk menjadi subjek perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.
“Sehingga, penembakan secara langsung atau penembakan atas dasar untuk mendapatkan pengakuan hingga berujung kematian merupakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut. Tidak peduli apa pun alasan yang diutarakan,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Jumat.
Secara teknis, kata Isnur, kepolisian memang memiliki regulasi tentang penggunaan senjata. Anggota yang memegang senjata pun harus diseleksi ketat. Hal ini termaktub di Peraturan Polri Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Senjata Api Non-Organik Kepolisian Negara Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia dan Peralatan Keamanan Yang Digolongkan Senjata Api.
“Namun, regulasi ini tetap tidak menjawab bahwa peluang polisi menyalahgunakan penggunaan senjata tidak sesuai fungsi dan tugasnya sangat besar. Pembatasan membawa senjata api aparat kepolisian tidak diregulasi secara ketat,” ucap Isnur.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi