tirto.id - Kapolri Jenderal, Listyo Sigit Prabowo, resmi menaikkan pangkat kepada enam anggotanya yang sempat terlibat dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Keenam perwira polisi tersebut adalah Budhi Herdi Susianto, Murbani Budi Pitono, Denny Setia Nugraha Nasution, Chuck Putranto, Susanto, dan Handik Zusen.
Promosi jabatan tertuang dalam Surat Telegram (STR) Kapolri nomor ST/2517/XI/KEP/2024 tertanggal 11 November 2024. Sebelumnya, keenam perwira polisi telah mendapatkan sanksi demosi atas pembunuhan Brigadir J yang didalangi Kepala Divisi Propam Polri, Ferdy Sambo. Kemudian, masa hukuman mereka berakhir dan kembali bertugas hingga mendapat kenaikan pangkat.
Budhi Herdi Susianto yang sebelumnya adalah Kapolres Jakarta Selatan dipromosikan menjadi Karowatpers SSDM Polri. Ia mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Brigjen. Budhi diketahui merupakan orang pertama yang memberikan pernyataan adanya penembakan di rumah Sambo di Jalan Duren Tiga, Jakarta.
Kemudian Kombes Murbani Budi Pitono mendapatkan promosi sebagai Irbidjemen SDM II Itwil III Itwasum Polri. Dalam kasus Sambo, Murbani sebelumnya dianggap tidak profesional menangani kasus pembunuhan Brigadir J.
Kombes Denny Setia Nugraha Nasution juga dipromosikan sebagai Kabagjianling Rojianstra SOPS Polri. Denny sebelumnya juga terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir J yang saat itu ikut menangani kamera pengawas atau CCTV.
Selanjutnya, adalah Kompol Chuck Putranto yang mendapat promosi melalui STR nomor ST/1628/VIII/KEP/2024 tertanggal 1 Agustus 2024. Chuck yang semula bertugas Kasubbagaudit Baggak Etika Rowabprof Divpropam Polri dipindahkan ke Pamen Polda Metro Jaya dan mendapatkan kenaikan pangkat menjadi AKBP.
Kemudian Kabag Penegakkan Hukum Provist Div Propam Polri, Kombes Susanto mendapatkan promosi melalui STR nomor ST/2750/XII/2023. Dalam STR itu dia ditugaskan di Penyidik Tindak Pidana Madya Tk II di Bareskrim Mabes Polri.
Susanto merupakan senior Ferdy Sambo di Akpol meski secara kepangkatan Ferdy Sambo lebih tinggi. Susanto menjadi salah satu dari 11 saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum dalam persidangan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, istri Ferdy.
Selanjutnya, AKBP Handik Zusen yang menjabat Kasubbag Opsnal Dittipidum Bareskrim Polri. Dalam kasus Sambo, Handik diduga mengatur jumlah selongsong peluru untuk memberi kesan adanya baku tembak di rumah dinas Sambo.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai tidak ada urgensi sama sekali dari keputusan Kapolri menaikkan pangkat dan pengisian jabatan oleh keenam anggota polisi yang diberi sanksi demosi tersebut.
Kenaikan pangkat dan promosi jabatan, kata dia, seharusnya berlandaskan pada prinsip meritokrasi, yang menilai kinerja dan integritas setiap anggota Polri. Bukan dari mereka pernah mendapatkan sanksi. Karena pada gilirannya putusan untuk memberi jabatan baru ini semakin menimbulkan keraguan mengenai penerapan sistem meritokrasi di lingkungan kepolisian.
"Hal ini mengkonfirmasi bahwa meritokrasi di tubuh Polri itu hanya omong kosong," katanya.
Kapolri Tak Serius Beri Sanksi
Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, mengatakan kenaikan pangkat tersebut justru semakin membuktikan bahwa tidak ada kesungguhan Kapolri memberikan sanksi tegas kepada bawahannya terlibat kasus. Ia justru ragu, jangan-jangan demosi yang dilakukan oleh Kapolri kepada enam orang tersebut hanya untuk meredam kasus saja.
"Sekarang tiba-tiba mereka mendapat promosi," kata Isnur kepada Tirto, Kamis (5/12/2024).
Kenaikan pangkat terhadap enam anggota tersebut, kata Isnur, wajar memicu banyak pertanyaan terkait transparansi dan integritas dalam tubuh Polri. Promosi tersebut memperlihatkan adanya kegagalan dalam proses evaluasi internal yang seharusnya menilai sejauh mana kejujuran dan profesionalisme anggota Polri.
"Tentu ini menjadi pertanyaan dan wajar buat publik itu menjadi semacam keraguan kok bisa ada aparat yang terlibat dalam kasus pembunuhan dan rekayasa kemudian dapat promosi? Bagi saya ini sebuah contoh buruk," ujar dia.
Sementara itu, Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, melihat ada anomali atau kejanggalan berulang yang seolah di anggap wajar dan bisa ditoleransi dalam praktik kepangkatan anggota Polri. Padahal sebenarnya ini menunjukkan adanya masalah serius dan sistemik ditubuh kepolisian pterkait akuntabilitas penegakan hukum di internal polisi dan kepangkatan.
Anomali itu, lanjut Arief, jelas terlihat ketika melihat adanya pola impunitas kepada anggota polisi yang menjadi pelaku kejahatan. Alih-alih mereka dipecat, tapi justru diberikan perlindungan bahkan penghargaan.
Sebaliknya para polisi yang bekerja baik justru dipecat atau disingkirkan. Dalam hal ini, dia mencontohkan, kasus mencolok lain di luar Sambo seperti Rudy Soik yang berhasil bongkar mafia migas namun dipecat. Di sisi lain ada polisi yang tangkap pelaku tambang ilegal justru dibunuh.
Aturan Polri sendiri, melalui Perkapolri Nomor 3 Tahun 2016 tentang Administrasi Kepangkatan Anggota Kepolisian RI mengatur bahwa kenaikan pangkat polisi harus didasarkan pada prinsip legalitas, tranparansi, akuntabilitas, selektif, dan obyektif. Bahkan salah satu syaratnya memiliki penilaian baik dalam kinerja.
"Bagaimana mungkin penilaian baik bisa diberikan ketika polisi tersebut menjadi pelaku kejahatan dan pernah dikenakan sanksi etik, profesional bahkan pidana. Ini jelas tidak pantas secara etik moral dan menghina hukum," imbuhnya.
Di sisi lainnya, Arif juga menyayangkan kerapkali hukuman di internal kepolisian kepada para polisi pelaku kejahatan hanya formalitas dan justru jadi sarana perlindungan. Alih-alih dicopot dari jabatan atau demosi untuk sementara tapi setelah publik lupa mereka diangkat kembali dalam jabatan lain.
"Ini tentu sangat diskriminatif dan tidak berkeadilan. Tidak transparan dan akuntabel," jelas dia.
Dengan terungkapnya berbagai kebobrokan Polri hari ini, maka Presiden Prabowo Subianto dan DPR harus evaluasi Kepolisian RI, khususnya kerja Kapolri Listyo Sigit harus dituntut pertanggungjawaban karena di periodenya anomali seperti ini terus terjadi. "Presisi hanya jadi Jargon," katanya.
Jika hal ini dibiarkan, polisi akan kehilangan kepercayaan masyarakat karena Polri ke depan akan diisi oleh polisi yang memiliki rekam jejak buruk dan tidak bisa dipercaya. Tentu institusi ini akan rusak dan gagal menjadi institusi yang diharapkan masyarakat yakni kepolisian sebagai penegak hukum, penjaga ketertiban, pelindung masyarakat yang profesional dan berintegritas.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang