Menuju konten utama

Rawan Konflik Kepentingan Polisi Bentuk Gugus Ketahanan Pangan

Jika Polri terlibat dalam mengawal proyek-proyek pemerintah seperti ini, dikhawatirkan akan melemahkan fungsi pengawasan dan penegakan hukum.

Rawan Konflik Kepentingan Polisi Bentuk Gugus Ketahanan Pangan
AKP Mulyadi mengoperasikan traktor untuk membajak sawah milik kelompok petani di Lingkungan Karang Anyar, Kota Mataram, NTB, Rabu (6/11/2024). ANTARA/HO-Polsek Mataram.

tirto.id - Kepolisian Republik Indonesia alias Polri mulai menjalankan programnya membentuk polisi penggerak untuk ketahanan pangan. Gugus tugas di bidang ketahanan pangan ini memang sudah diluncurkan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sejak akhir November 2024. Program polisi penggerak ketahanan pangan dibentuk untuk mendukung ketahanan pangan dan kegiatan makan bergizi pemerintah.

Polisi penggerak ketahanan pangan rencananya akan dibentuk di seluruh tingkatan: mulai dari Polsek, Polres, sampai Polda. Rabu (4/12/2024), Polri mulai menggelar pelatihan untuk program polisi penggerak ketahanan pangan secara virtual, yang dilangsungkan selama tiga hari. Pelatihan ini diikuti oleh 6.601 personel polisi dari seluruh Indonesia. Gelaran ini diklaim akan sejalan dengan visi pemerintah menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia.

Wakil Ketua Posko Gugus Tugas Polri, Brigjen Pol Langgeng Purnomo menyatakan bahwa tugas Polri bukan cuma menjaga stabilitas keamanan. Tetapi turut ambil peran aktif dalam stabilitas ekonomi dan sosial lewat program ketahanan pangan pemerintah. Pelatihan polisi ketahanan pangan tersebut untuk membekali mereka kompetensi program pangan bergizi.

“Polisi berperan sebagai penggerak masyarakat untuk secara aktif terlibat. Jadi bukan sebagai pelaksana langsung,” kata Langgeng.

Program ini dilaksanakan dengan menggandeng Kementerian Pertanian di setiap desa. Rencananya akan ada satu anggota polisi di setiap desa sebagai penggerak masyarakat untuk program ketahanan pangan. Polisi diharapkan jadi jembatan antara petani dan Kementerian Pertanian.

Kendati begitu, rencana Polri membentuk polisi penggerak ketahanan pangan dinilai belum memiliki urgensi. Terlebih, di tengah sorotan masyarakat atas performa Korps Bhayangkara imbas kasus polisi yang terlibat peristiwa penembakan masyarakat sipil dan sesama polisi. Langkah ini juga kental konflik kepentingan, sebab berpotensi mengganggu independensi polisi mengawasi program ketahanan pangan.

Target indeks ketahanan pangan

Foto udara sejumlah petani menanam padi di persawahan Desa Penggalang, Ciruas, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (28/11/2024). ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/gp/YU

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menyatakan pembentukan gugus tugas polisi penggerak ketahanan pangan tidak sesuai tugas-fungsi di Undang-Undang Polri. Jelas sekali, kata Isnur, pembentukan polisi penggerak ketahanan pangan melenceng jauh dari konstitusi. Pembentukan gugus bidang ketahanan pangan juga dinilai Isnur rawan menimbulkan konflik kepentingan.

“Seharusnya kepolisian adalah lembaga yang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan dan melakukan tindakan-tindakan dalam ranah penegakan hukum jika ada penyimpangan,” ujar Isnur kepada reporter Tirto, Kamis (5/12/2024).

Jika Polri terlibat dalam mengawal proyek-proyek pemerintah seperti ini, dikhawatirkan akan melemahkan fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Sebab polisi seolah-olah menjadi beking bagi proyek-proyek pemerintah, alih-alih mengawasi kepatuhan hukum pelaksanaan proyek ketahanan pangan tersebut.

Isnur mencontohkan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) serta Tim Pengawal Pengaman Pemerintah dan Pembangunan (TP4) Kejaksaan Agung (Kejagung) yang akhirnya dibubarkan karena justru kental konflik kepentingan. Tim itu dinilai tidak berhasil menjalankan fungsi dan tujuan pembentukannya untuk mengawasi program pembangunan pemerintah.

“Ini justru kita melihatnya malah menjadi sebagai alat legitimasi dan alat pukul masyarakat. Ketika masyarakat lahannya digusur food estate untuk ketahanan pangan, malah berbahaya dan semakin menebalkan intimidasi dan potensi kriminalisasi warga,” ujar Isnur.

Program food estate atau lumbung pangan memang digadang-gadang menjadi salah satu upaya pemerintah mencapai ketahanan pangan. Saat ini, program lumbung pangan digenjot di daerah Merauke sejak era Joko Widodo (Jokowi). Padahal, proyek kawasan ketahanan pangan dan energi terintegrasi di Merauke (MIFEE) sejak era Pemerintahan SBY, tidak saja dianggap gagal, tetapi juga mengundang kontroversi dan menimbulkan segudang masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi masyarakat Papua. Sebagai PSN, proyek lumbung pangan ditargetkan dapat mewujudkan swasembada beras melalui cetak sawah baru, serta memenuhi kebutuhan gula serta bioetanol melalui perkebunan tebu.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menjelaskan tugas pokok dan fungsi kepolisian adalah menjaga ketertiban umum di masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani rakyat serta sebagai penegak hukum. Jika polisi turun ke sawah dengan masuk sektor ranah pertanian, berarti menimbulkan penafsiran baru terkait tupoksi instansi kepolisian.

“Di sisi lain ini seolah set back ke era kolonial Hindia Belanda, ketika kepolisian saat itu digerakkan juga untuk mengawasi tanam paksa yang dilakukan pemerintah kolonial,” ucap Bambang kepada reporter Tirto, Kamis.

Menurut Bambang, dalam situasi hari ini akan lebih urgen bagi polisi membenahi reformasi kultural di badan Polri. Hingga saat ini, masih banyak perilaku personel polisi yang sewenang-wenang dalam mengemban jabatannya. Peristiwa penembakan polisi terhadap polisi, serta kasus penembakan masyarakat sipil di Semarang, Jawa Tengah, salah satu bukti bahwa pembenahan di internal Polri masih harus terus diupayakan.

Potensi gesekan dengan masyarakat yang menolak program ketahanan pangan juga dinilai akan sangat besar. Bambang menilai, saat menjadi penegak hukum dan penjaga kamtibmas saja konflik dengan warga di sekitar perkebunan sudah sering muncul.

“Apalagi bila polisi masuk secara langsung mengelola pertanian,” ucap Bambang.

Rawan Konflik Agraria

Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus, melihat tidak ada satu pun mandat dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri yang menyatakan bahwa polisi bertanggungjawab dalam pengawasan desa terkait program ketahanan pangan. Oleh karenanya, Andrie memandang wacana pembentukan gugus tugas polisi penggerak ketahanan pangan minim akuntabilitas dan transparansi dalam penyusunan kebijakannya.

Sehingga, KontraS mengkhawatirkan timbul persoalan tumpang tindih kewenangan dengan instansi negara lain yang mengurusi pangan. Langkah ini berpotensi menyebabkan gesekan antar aparatur negara, double-budgeting penganggaran program, bahkan penyalahgunaan anggaran.

“Eksesnya, masyarakat lagi yang dirugikan,” ujar Andrie kepada reporter Tirto, Kamis.

Andrie juga menilai tidak ada urgensi pembentukan gugus tugas polisi penggerak ketahanan pangan. Selain bukan mandat tugasnya, seharusnya Polri berfokus melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam rantai pasok pangan. Misalnya mengenai pupuk palsu hingga pengambilan lahan rakyat secara sepihak oleh pihak swasta.

Andrie menilai langkah tersebut lebih relevan diambil polisi, dibandingkan membentuk gugus tugas pengawasan program pangan ke desa-desa. Jika rencana ini terus berlanjut menjadi kebijakan publik, maka berpotensi besar menambah daftar hitam ledakan konflik agraria yang sebelumnya sudah banyak terjadi di beberapa wilayah Indonesia.

“Kami melihat saat ini internal kepolisian belum mampu berbenah diri atas sejumlah peristiwa kekerasan dalam konflik agraria yang banyak menimbulkan korban jiwa dan luka,” ujar Andrie.

Aksi tolak PSN Nagari Air Bangis

Aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kemenko Marves, Jakarta, Jumat (22/9/2023). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU

Sementara itu, Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat dari Eksekutif Nasional WALHI, Ferry Widodo, menilai satu personel polisi mengawasi program ketahanan pangan di setiap desa berpotensi menimbulkan ekses kewenangan dan berpeluang penyalahgunaan. Dalam UU Kepolisian, polisi memiliki fungsi utama untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Bukan terlibat langsung dalam pengawasan program pembangunan, apalagi program sektor pangan.

Hal ini bisa menciptakan tumpang tindih peran dengan aparat desa, penyuluh pertanian atau perangkat institusi lain yang memang tupoksinya mengurusi pangan. Bahkan, dalam situasi tertentu, penempatan satuan personel polisi ditingkat yang paling rendah (desa) bisa menjadi ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan kepolisian.

Masalah konflik agraria di Indonesia saat ini memang sangat serius, apalagi di wilayah yang menjadi proyek food estate. Kehadiran polisi dinilai memperburuk situasi jika pendekatannya salah. Jika tidak hati-hati, kata Ferry, membiarkan polisi mengawasi program pangan justru memicu konflik baru atau memperdalam ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara.

“Jika kita benar-benar ingin meningkatkan ketahanan pangan, langkah pertama adalah memperkuat pemberdayaan masyarakat dan memastikan hak-hak mereka terlindungi, termasuk hak atas tanah,” ungkap Ferry.

Kepala Korps Pembinaan Masyarakat Badan Pemelihara Keamanan (Kakorbinmas Baharkam) Polri Irjen Pol Edy Murbowo menegaskan Polri memang mendukung ketahanan pangan, tetapi bukan mengambil alih tugas petani. Edy menjelaskan, gugus tugas di sektor ketahanan pangan merupakan dukungan sebagai tugas tambahan Polri.

Bentuk dukungan itu diwujudkan dengan empat program mendukung swasembada pangan: program pekarangan pangan bergizi, pemanfaatan lahan produktif, pengawasan distribusi serta rekrutmen personel Polri dengan kompetensi pertanian (Bakomsus). Edy menyebut, keempat program tersebut membuktikan keseriusan Polri mendukung pemerintah mencapai swasembada pangan.

"Bentuk dukungan Polri itu sebagai penggerak, pendampingan bantuan keamanan," tutur Edy di Makopolda Kepri, Kota Batam, Rabu.

Baca juga artikel terkait KETAHANAN PANGAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky