tirto.id - Lukmanul Hakim, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia, berjalan tergesa memasuki gedung MUI Pusat di daerah Menteng, Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu. Di lantai 4 gedung itu ada rapat pimpinan mingguan sejak pukul 9 pagi. Lukmanul hadir cukup terlambat. Ketua MUI Ma’ruf Amin, yang secara resmi bakal dilantik sebagai wakil presiden pada Oktober nanti, bahkan sudah tiba setengah jam sebelumnya.
Kami menghampiri Lukmanul dan memperkenalkan diri serta menanyakan kasus dugaan pemerasan Halal Control Jerman yang melibatkan dia sebagai direktur LPPOM MUI. Kami mengejarnya hingga dia masuk lift.
“Soal itu, MUI juga di-bully. Enggak cuma saya saja,” ujar Lukman.
“Tapi, laporannya di polisi ditujukan kepada Anda dan Abo Annaser secara personal,” ujar kami.
“Untuk itu, kami sudah menunjuk kuasa hukum. Pak Ikhsan. Nanti ke dia saja semuanya,” katanya merujuk Ikhsan Abdullah, Wakil Ketua Komisi Hukum MUI.
Lukmanul tetap menghindari pertanyaan. Begitu pintu lift terbuka di lantai 4, ia langsung berbelok ke toilet pria. Setelah lima menit, ia keluar dari toilet dan tetap enggan menjawab pertanyaan dari kami.
Tiga tahun sebelumnya, 22 Juni 2016, Mahmood Abo Annaser, warga negara Selandia Baru keturunan Suriah, menelepon Mahmoud Tatari, General Manager Halal Control GmbH, badan sertifikasi halal swasta yang bermarkas di Jerman. Dalam perbincangan telepon itu, Annaser meminta 50 ribu Euro atau sekitar Rp720 juta agar surat pengakuan atau rekognisi dari MUI untuk Halal Control Jerman bisa segera beres.
“Kami akan menghentikan kontainer klien Anda dan akan menghapus Halal Control dari daftar MUI jika Anda tidak mau membayar,” ancam Annaser dari ujung telepon.
Menurut Tatari, Annaser mengaku mendapatkan perintah dari Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim.
Saat itu Tatari tengah menunggu hasil audit dan persetujuan perpanjangan sertifikasi halal dari LPPOM MUI yang tak kunjung diteken. Padahal, audit itu sudah berjalan sejak 29 Agustus 2015 oleh auditor MUI, Nurwahid dan Sofyan Siregar.
Frustrasi karena surat perpanjangan stempel halal itu tak kunjung kelar, sementara masa rekognisi halal dari MUI terhadap perusahaannya sudah kedaluwarsa sejak Februari 2016, Tatari menyetujui permintaan Annaser untuk terbang ke Jakarta.
Tanpa Tatari ketahui, rapat pimpinan MUI sudah menyetujui perpanjangan rekognisi sejumlah badan sertifikasi halal luar negeri, salah satunya Halal Control Jerman, pada 31 Mei 2016.
Badan sertifikasi lain yang disetujui perpanjangannya oleh MUI pada tanggal itu adalah Australia, Belanda, Brunei Darussalam, Jepang, Selandia Baru, Thailand, dan badan sertifikasi halal negara-negara Amerika Latin.
Dari beberapa salinan surat perpanjangan rekognisi yang diterima redaksi Tirto—[sila klik tautan di atas], tiap negara memiliki tanggal berbeda saat surat tersebut diteken oleh MUI. Tanggalnya ditulistangan, bukan diketik komputer. Seperti Thailand yang ditandatangani pada 7 November 2016 atau Jepang yang diteken pada 16 Agustus 2016. Ada jeda beberapa bulan, yang relatif lama jika hanya menunggu tanda tangan.
Lantas, mengapa surat perpanjangan pengakuan halal itu tidak segera ditandatangani dan diterbitkan jika sudah disetujui dalam rapat pimpinan MUI?
Menurut kuasa hukum MUI Ikhsan Abdullah, jawabannya karena ada sejumlah hal yang harus diklarifikasi terlebih dulu sebelum surat perpanjangan rekognisi dikeluarkan. Klarifikasi itu untuk mengecek hal-hal detail yang menurutnya butuh waktu.
“Misalnya soal kadar kandungan alkohol atau pewarna tekstil dari bahan hewani. Biasanya kadar alkohol yang ditolerir di Eropa bisa 0,2 persen, sementara MUI harus zero (0). Hal-hal seperti itu,” jelas Ikhsan kepada Tirto pada Kamis pekan lalu.
“Dan kami memberi notifikasi ini kepada semua negara yang bersangkutan,” tambahnya.
Pertemuan di Bogor
Pada 25 Juni 2016, terbang dari Frankfurt, Mahmoud Tatari tiba di Jakarta. Keesokan hari, bersama stafnya, Ali Fanous, ia naik taksi dari Jakarta ke Bogor, mendatangi rumah Abo Annaser.
Dua orang dari Halal Control itu menunggu Annaser memberi instruksi berikutnya cukup lama.
“MAN (Mahmood Abo Annaser) memberikan kami cukup banyak informasi,” kata Tatari.
Pertemuan dengan Lukmanul Hakim yang mengepalai pengesahan sertifikasi halal dari MUI diperantarai oleh Annaser, menurut Tatari.
Tatari mengisahkan saat itu hanya dia yang dibolehkan bertemu Lukmanul Hakim. “Staf saya tidak diizinkan ikut meeting kami.” Dengan mobil, Annaser kemudian membawa Tatari ke mal Botani Square.
Tujuan utama Tatari ingin memastikan bahwa permintaan 50 ribu Euro itu adalah resmi dari MUI. Dalam perjalanan di mobil, ia sempat bertanya kepada Annaser:
“Maksud kamu, Lukmanul Hakim tidak akan menerima sebagian besar dari uang yang diberikan?”
“Lukman bukan orang bodoh yang memberikan akreditasi secara gratis,” jawab Annaser.
“Dia akan terima bagiannya, dan saya akan memberikan kepadanya. Dia punya jabatan tinggi dan dia bukan keledai yang bekerja tanpa ada bayaran,” ujar Annaser.
Semua percakapan antara Tatari dan Annaser dalam bahasa Arab dan direkam oleh Tatari secara diam-diam.
Dalam delapan dokumen audio yang disimpan redaksi Tirto, Annaser bercerita Tatari perlu membayar uang itu demi kelancaran usaha Halal Control di Jerman.
“Mahmoud (Tatari), jika kamu tidak paham, mereka (MUI) akan menghapus perusahaan kamu dari daftar dan mereka akan memberikan akreditasi kepada seorang Indonesia yang memulai perusahaan (sertifikasi halal)-nya di Jerman. Mereka akan bilang bahwa orang Indonesia itu lebih tepercaya dan dia yang berwenang di Jerman.”
Tak cuma itu, Annaser sesumbar soal kedekatannya dengan Lukmanul Hakim dan Ketua MUI Ma’ruf Amin. Menurutnya, ia dekat dengan orang-orang penting di MUI karena sudah dianggap keluarga.
Annaser mengaku hanya sebagai perantara, tapi punya pengalaman mengurus sertifikasi halal sejak lama. “Mereka menganggap saya salah satu dari mereka (MUI) karena saya telah menetap di Indonesia selama 17 tahun. Saya bicara bahasa mereka dan anak-anak saya lahir di sini,” kata Annaser kepada Tatari.
“Kamu punya perusahaan di Jerman, saya punya di Selandia Baru. Saya bayar saja tanpa banyak pertanyaan seperti ini. Kamu yang harus memahami sendiri!” kata Annaser.
“Orang-orang mendukungmu dan mereka memberimu akreditasi, apa salahnya kalau mereka meminta bayaran?”
Annaser dan Tatari kemudian bertemu dengan Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim di GOR Bulutangkis Yasmin, Bogor.
Saat itu, menurut pengakuan Tatari, Lukmanul mengiyakan dan menjelaskan bahwa 50 ribu Euro merupakan prosedur baru MUI dalam memberikan surat rekognisi halal.
Lukmanul tak ingat detail jadwal kedaluwarsa surat-surat rekognisi yang diminta perusahaan sertifikasi halal dari negara lain, termasuk dari Halal Control Jerman. Namun, ia mengamini prosedur yang disampaikan Annaser kepada Tatari.
“Sekarang, bagaimana penyelesaian masalah ini?” ujar Tatari dalam bahasa Inggris.
“Yang saya pahami, semua badan sertifikasi (halal) harus bayar sejumlah uang atau 50 ribu Euro atau berapa pun lah,” tambah dia, yang disahut tawa Lukmanul Hakim.
“50 ribu Euro!” kata Tatari, sekali lagi.
“E.. ya,” kata Lukmanul Hakim.
“Bukan buat Lukman,” potong Annaser.
Padahal, dalam percakapan sebelumnya di rumah dan dalam mobil Annaser, uang itu, kata Annaser sendiri, buat jatah Lukmanul Hakim—dan sebagian orang-orang MUI.
“Bukan buat Lukman, itu jelas,” sambung Tatari.
Waktu itu, Tatari merasa dalam situasi terjepit. Ancaman Annaser yang memakai kata "kami" akan menghentikan barang masuk dari klien Halal Control di pelabuhan Indonesia bikin Tatari harus berpikir keras.
“Perlu dicatat bahwa pertemuan itu berlangsung dalam situasi tidak normal,” kata Tatari dalam surel kepada Tirto.
“Halal Control sedang di bawah tekanan besar sebagaimana diancam dengan penolakan pengiriman barang dan harus mendaftar ulang (ke MUI), jika tidak setuju membayar uang peras 50 ribu Euro (setiap tahun),” tambah Tatari.
Pulang ke Jerman dan Mentransfer 50 Ribu Euro
Pada 28 Juni 2016 atau tiga hari setelahnya, Tatari kembali ke Frankfurt.
Sesampainya di Frankfurt, ia tidak segera mentransfer uang kepada Annaser. Dalam wawancara dengan Tirto, Tatari berkata ia sempat memutuskan untuk tidak membayar uang itu.
Ia sudah menimbang kerugian yang akan didapatkan Halal Control. “Kami akan kehilangan banyak klien, yang akan meninggalkan Halal Control. Dan tentu saja itu akan mengecilkan usaha badan sertifikasi halal kami, karena Indonesia adalah salah satu pasar penting di industri ini,” katanya.
Bagi Tatari, pemerasan yang diterimanya tak bisa dibiarkan. “Anda harus tahu, ini kali pertama kami mengalami tindakan kriminal begini,” imbuhnya.
Namun, keputusannya berubah saat mendengar kabar bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) akan segera aktif dan menggantikan peran LPPOM MUI.
“Informasi ini mengubah situasi seketika dan memberi kami harapan,” kata Tatari.
BPJPH adalah mandat dari UU 33/2014 tentang jaminan produk halal, sistem sertifikasi halal yang baru di bawah kementerian agama, yang bakal bekerja pada Oktober 2019.
Pengurus Halal Control mendiskusikan keputusan tidak membayar uang yang diminta Annaser dan mulai bertindak lebih “strategis.”
Pada 27 Juli 2016, Tatari akhirnya mentransfer 50 ribu Euro ke rekening BCA Annaser.
Dua hari kemudian, Annaser memberikan invoice kepada Tatari dengan keterangan perannya sebagai “consultant for HC [Halal Control]”.
Artinya, Annaser menilai dirinya sebagai konsultan bagi perusahaan Tatari sehingga uang yang disetor itu dianggap sebagai fee.
“Tomorrow you will receive MUI letter,” jamin Annaser kepada Tatari pada 1 Agustus 2016 lewat pesan WhatsApp. Esoknya, surat rekognisi halal dari MUI benar sampai ke tangan Tatari.
Namun, Tatari meminta Annaser mengoreksi invoice pertama yang diterimanya. Pasalnya, di bawah tanda tangannya pada invoice itu, Annaser menuliskan kalimat ‘Consultant for HC’. Tatari menolak karena, sepengetahuannya, Annaser adalah perantara yang dekat dengan MUI—bukan bagian dari Halal Control.
“Karena setahu saya, Annaser adalah konsultan MUI,” tegas Tatari.
Melaporkan Tuduhan Pemerasan ke Polres Bogor
Kelar urusan perpanjangan rekognisi halal MUI, selang setahun, tepatnya 7 Juni 2017, Tatari kembali mendapatkan permintaan uang dengan jumlah yang sama dari Abo Annaser.
Dalihnya, sebagai fee perpanjangan rekognisi halal MUI. Padahal, jika melihat surat rekognisi yang dikeluarkan MUI, perpanjangan itu berlaku untuk dua tahun.
Mencium ada yang janggal dari permintaan ini, Tatari melalui kuasa hukumnya, Nuzul Wibawa dan Ahmad Ramzy, melaporkan Abo Annaser dan Lukmanul Hakim ke Polres Bogor pada 20 November 2017, dengan tuduhan pemerasan.
Kedua pengacara itu menyertakan rekaman percakapan dalam pertemuan antara kliennya dan Annaser sebagai barang bukti ke Polres Bogor.
Ikhsan Abdullah, pengacara Annaser dan Lukmanul Hakim, menampik mentah-mentah pernyataan Tatari yang menuding kliennya terlibat pemerasan. Menurut Ikhsan, pada bukti transfer itu sudah jelas tertulis sebagai consultant fee.
“Anda lihat di bukti transfer ini? Apa bunyinya? Consulting, kan?” ujar Ikhsan kepada kami sembari menunjukkan salinan bukti transfer. Kami pernah ditunjukkan bukti transfer yang sama oleh kuasa hukum Tatari, Ahmad Ramzy.
“Nah, soal consulting ini…”
“Jangan nah nah dulu! Anda clear tidak sampai sini? Ini, kan, sudah jelas biaya konsultasi.”
Menurut kronologi yang dipaparkan Ikhsan, Annaser justru menghubungi Tatari untuk menawarkan bantuan agar surat rekognisinya segera keluar. “Dia mungkin menjanjikan akan mempertemukan dengan Pak Lukman. Jadi bukan atas perintah Pak Lukman,” kata Ikhsan.
Minggu keempat Januari 2019, Ikhsan mengontak Tatari untuk bertemu dan membicarakan masalah ini. Namun, Tatari tak kunjung datang.
Tatari membenarkan dia menolak bertemu. “Karena mereka meminta saya mencabut laporan di kepolisian. Saya tidak mau,” kata Tatari.
“Pak Lukmanul sih pernah suruh laporin (Annaser), dan itu direkomendasikan juga oleh rapat [pimpinan MUI]. Tapi rapat menghargai saya sebagai lawyer.
‘Terserah Pak Ikhsan nanti sebagai lawyer, gimana? Kalau kami nanti dorong laporin balik.’
“Mau dilaporin balik, gimana?” ujar Ikhsan kepada kami. “Ini aja dilaporin, Annaser enggak ada. Yang saya mau, polisi kejar Annaser.”
Penyidikan Polres Bogor Mandek
Pada 9 April 2018, tim kuasa hukum dari kedua pihak menandatangani minute of meeting. Isinya, menjamin Abo Annaser untuk segera mengembalikan 50 ribu Euro yang sudah ditransfer Tatari.
Masalahnya, Abo Annaser sejak menjadi terperiksa sulit ditemui.
Pada sejumlah jadwal pemeriksaan, Annaser berkali-kali mangkir dari pemanggilan. Annaser hanya datang sekali saat status perkara masih dalam penyelidikan pada 27 Maret 2018. Pada 4 April 2018, status perkara dinaikkan menjadi penyidikan. Annaser sempat dipanggil dua kali pada 2 Juli 2018. Pada saat itu, kuasa hukum meminta penundaan hingga 29 Agustus. Annaser kembali tidak memenuhi panggilan dan meminta penundaan hingga 5 Oktober 2018.
Masalah lain: Polres Bogor cukup kesulitan lantaran harus memanggil Annaser melalui Kedutaan Besar Selandia Baru.
“Cukup banyak kendalanya. Pernah kami sudah siapkan penerjemah untuk polisi, namun pihak Annaser belum siap penerjemah. Sementara saat pihak Annaser sudah siap dengan penerjemah tersumpah, saat itu tidak ada jadwal pemanggilan. Tidak pas saja waktunya,” jelas AKP Eddy Santosa, Kanit Tindak Pidana Korupsi Polres Bogor, kepada Tirto.
Ikhsan Abdullah, yang notabene pengacara Annaser, mengaku terakhir kali berkomunikasi dengan kliennya pada September 2018. Ikhsan tahu Annaser punya perusahaan badan sertifikasi halal di Selandia Baru bernama Halal Al-Kautsar. Menurut Ikhsan, Annaser adalah kawan Tatari dengan melihat latar belakang mereka sebagai sesama anggota World Halal Food Council.
Baik pihak Tatari maupun Lukmanul Hakim masih menunggu surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan dari Polres Bogor.
“Kami masih harus menunggu gelar perkara selanjutnya,” ujar AKP Eddy Santosa.
Kami mencoba menghubungi Abo Annaser pada Minggu pagi, 7 Juli, kemarin. Nomor kontak yang kami dapatkan adalah nomor Indonesia dan tersambung. Melalui percakapan telepon, Annaser mengaku sedang di Jakarta dan bersedia bertemu pada Selasa pekan ini.
Ia keberatan atas tuduhan pemerasan. Annaser bersikeras bahwa 50 ribu Euro itu adalah ongkos konsultasinya.
“Saya sebenarnya tak perlu menjawab apa-apa. Jangan main bilang saya ambil uang, saya ambil uang. Itu hak saya. [Tatari] konsultasi dengan saya. Dia yang minta. Dia yang transfer.
Saya ini bukan orang Indonesia, saya warga negara Selandia Baru. Kalau perlu saya bawa [masalah ini] nanti ke mahkamah internasional.”
“Kamu juga kalau perlu saya bawa ke pengadilan,” cecar Annaser dengan Bahasa Indonesia yang terbata-bata.
==========
Tim legal Tirto, yang memeriksa laporan ini, menilai pihak-pihak yang terlibat telah dihubungi oleh redaksi untuk upaya konfirmasi. Dokumen-dokumen yang disertakan dalam laporan adalah dokumen publik, bagian dari upaya transparansi. Louis Lugas dan Pandji Putranda dari tim multimedia terlibat dalam pengerjaan visual.
Penulis: Aulia Adam & Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam