Menuju konten utama

Tarung Narasi Pengacara Kasus Tuduhan Pemerasan Rekognisi Halal MUI

Ahmad Ramzy menyebut lawan kliennya berkomplot. Sebaliknya Ikhsan Abdullah menyebut Tatari memoles cerita.

Tarung Narasi Pengacara Kasus Tuduhan Pemerasan Rekognisi Halal MUI
Ilustrasi: Ahmad Ramzy, pengacara Mahmoud Tatari, serta Ikhsan Abdullah, pengacara Annaser dan Lukmanul dan MUI, dalam kasus tudingan pemerasan surat pengakuan halal MUI. tirto.id/Lugas

tirto.id - Mahmoud Tatari, Direktur Halal Control GmbH, badan sertifikasi halal di Jerman, mengaku diperas oleh Mahmood Abo Annaser, warga negara Selandia Baru, sebesar 50 ribu Euro untuk mendapatkan perpanjangan stempel halal dari Majelis Ulama Indonesia. Tatari menuding Annaser diperintah oleh Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim.

Tuduhan itu dilaporkan Tatari ke Polres Bogor Kota pada November 2017, yang diwakili oleh kuasa hukum Ahmad Ramzy dan Nuzul Wibawa.

Sementara Ikhsan Abdullah, yang mewakili Annaser dan Lukmanul, menilai uang 50 ribu Euro itu adalah jasa konsultan bagi Annaser. Lukmanul diseret-seret karena menurut Ikhsan, Annaser sebagai konsultan menjanjikan kepada Tatari bisa menemui Lukmanul. Maka, nilai Ikhsan, uang tersebut tidak dianggap sebagai pemerasan.

Di sisi lain, MUI menugaskan Ikhsan buat menyelesaikan perkara ini. Surat kuasa ini diteken oleh Ketua MUI Ma’ruf Amin dan Sekjen MUI Anwar Abbas karena menilai MUI, yang direpresentasikan oleh Lukmanul, terbawa-bawa dalam kasus ini. Ikhsan adalah Wakil Ketua Komisi Hukum MUI sekaligus Direktur Indonesia Halal Watch, LSM yang membela masalah sertifikasi halal.

Ikhsan menawarkan Tatari agar mencabut laporannya ke Polres Bogor. Tapi, Tatari menolaknya. Imbasnya, Halal Control tidak lagi mendapatkan surat pengakuan halal MUI.

Kami menemui Ahmad Ramzy dan Ikhsan Abdullah dalam kesempatan berbeda, lalu menampilkan wawancara mereka dalam satu laporan ini.

Ahmad Ramzy, Pengacara Mahmoud Tatari:

"Saya menganggap mereka berkomplot"

Bagaimana kronologi dari versi klien Anda?

Kejadiannya di Bogor. Mereka, Tatari dan Annaser, bertemu di Botani Square lalu ke GOR Badminton Yasmin tempatnya Lukmanul Hakim. Nah, di pertemuan ketiga orang itu pembicaraan direkam. Semuanya. Kami ada buktinya. Tatari diminta 50 ribu Euro agar surat lisensi atau rekognisi dari MUI bisa keluar.

Mengapa percaya?

Klien saya diancam kontainer klien-kliennya tidak bisa masuk ke Indonesia. Kenapa percaya? Karena ada Lukman di sana. Pak Tatari pastikan ke Lukman.

Lucunya, Annaser baru dipanggil satu kali sejak kasus ini dilaporkan. Sejak itu, polisi seolah melindungi dia. Alasannya, ke luar negeri atau penundaan. Dugaan saya, Kasat Reskrim dan pengacara Lukmanul menghambat kasus ini. Lukmanul bahkan diperiksanya di kantor MUI.

Apa yang janggal dari kasus ini?

Permainannya di sini (Ramzy menunjukkan surat rekognisi dari MUI untuk Halal Control). Yang tanggal ditulis tangan. Jadi setelah dibayarkan, baru ditulis. Mereka rapat itu tanggal 31 Mei 2016. Begitu dibayarkan, baru ditulis dan diterbitkan. Tanggal 1 Agustus dibayarkan, ini bukti pembayarannya. Baru diterbitkan pada 2 Agustus.

Kami seolah jadi seperti martir. Kalau polisi mau bekerja keras, lihat saja polanya dan lacak aliran dana dari rekening Annaser.

Mengapa baru dilaporkan setahun setelah kejadian?

Setahun berikutnya diminta lagi. Dia bilang biaya tahunan. Pak Tatari tidak mau. Maka, dia laporkan ke MUI. MUI seperti seolah-olah angkat tangan. Harusnya MUI memanggil Mahmood Abo Annaser. Justru sekarang pengacaranya MUI, pengacaranya Lukmanul Hakim, satu orang—Ikhsan Abdullah.

Kalau merasa dirugikan oleh orang lain, harusnya beda dong pengacaranya. Tapi bela juga Annaser. Menariknya, pengacara ini—Ikhsan Abdullah—juga Ketua Indonesia Halal Watch, LSM yang membidangi masalah sertifikasi halal. Bayangkan, LPPOM MUI, LSM, dan MUI jadi satu. Ini seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan koruptor punya pengacara yang sama.

Saya menganggap mereka sudah komplotan. Tidak sampai di kepala saya.

Siapa sebenarnya Mahmood Abo Annaser?

Dia warga negara Selandia Baru. Istrinya pernah kerja di LPPOM MUI. Masalahnya, kenapa Abo Annaser sangat dilindungi? Kalau dia omong ini uang kemana-kemana aja selesai, kan. Saya tidak mau ke sana—kesannya jadi politis. Ini penegakan hukum, kita perbaiki bagaimana MUI. Tapi ini aneh. Saya meyakini ada aliran dana dari Annaser ke Lukmanul. Makanya sampai saat ini dilindungi, kan. Diperiksa juga waktu itu cuma sebentar.

Prosedur sebelumnya seperti apa? Ada pembayaran seperti ini?

Tahun 2016 saat diperas ini kan masa perpanjangan. Dari awal tidak ada masalah. Paling kalau undang auditor, bayar keperluan mereka. Undang-Undang Jaminan Produk Halal terbit 2014, PP-nya baru keluar sekarang. Sudah tahu UU seperti ini, dia pikir bakal habis. Sudah tidak mungkin lagi kesempatan untuk mengurus sertifikasi halal karena berikutnya diambil BPJPH—Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. Saya lihat ini mau terakhir kali. Jadi coba-coba. Tapi caranya menggunakan pihak ketiga. Mahmood Abo Annaser. Dalih mereka, klien saya membayar untuk biaya konsultan. Konsultan apa? Tidak ada urusan konsultan.

Pernah komunikasi dengan Ikhsan Abdullah?

Ikhsan Abdullah telepon saya: Kamu cabut laporan, saya kasih perpanjangan.

Lho? Itu namanya kurang ajar, dong. Kalau mau berdamai, ya kembalikan uangnya lalu perpanjangan. Kami mau fight aja, tidak mau berdamai. Toh Oktober 2019 ini kewenangan produk halal akan diambil penuh oleh BPJPH. Kami menunggu ada iktikad baik. Tapi dibohongi terus.

Ada pernyataan, pengacaranya ingin kembalikan uang. (Ramzy kemudian menunjukkan surat Minute by Meeting yang berisi 4 poin, salah satunya poin bahwa Annaser akan segera mengembalikan 50 ribu Euro) Tapi sampai sekarang tidak ada.

Sekarang polisi ditakuti-takuti dengan ini: surat kuasa dari Ma’ruf Amin untuk Ikhsan Abdullah dalam menyelesaikan kasus Tatari. Artinya, kepolisian dengan MUI berurusan juga, kan. Ini saya tidak mau sebut MUI. Karena ini hanya oknum MUI yang nakal.

Ikhsan Abdullah, Pengacara Lukmanul, Annaser, dan MUI:

“Seandainya Tatari tempuh dengan cara-cara Islam, pasti akan selesai”

Ada surat kuasa dari MUI untuk Anda agar menyelesaikan persoalan dengan Tatari. Mengapa MUI mengeluarkan surat itu? Bukankah Tatari melaporkan Lukmanul secara personal?

Enggak personal. Dia bawa-bawa MUI. Lukmanul, kan, organ MUI. Kamu baca enggak laporannya? Lukmanul itu siapa?

Kepala LPPOM MUI.

Nah jelas jawabannya. Lukmanul itu diduga oleh Tatari berkolaborasi dengan Mahmood Abo Annaser. Menurut Tatari, dia meminta uang. Benar ada. Saya punya buktinya semua. 50 ribu Euro. Setelah didalami, ternyata tidak seperti itu ceritanya.

Makanya MUI kemudian mengutus saya. Ini persoalan bukan hanya persoalan Lukmanul pribadi. MUI memberi tugas saya untuk menyelesaikan kasus dengan Tatari. Dan saya sudah ke Jerman, lho. Anda baru WhatsApp—(mengacu wawancara kami dengan Annaser via WA). Nih, saya kasih tahu buktinya dulu. Baca untuk apa buktinya?

Consulting?

Consulting, kan.

Nah, soal consulting ini…

Jangan ‘nah’ dulu. Ini consulting kan? Udah. Titik. Saya dikasih invoice yang dikirim Abo Annaser ke Tatari. Jumlahnya berapa? 50 ribu Euro. Jadi dia membayar untuk jasa consulting.

Konsultasi untuk apa?

Halal certification bodies itu berbeda dengan permohonan sertifikasi produk halal. Ada 26 negara dan 44 lembaga halal luar negeri yang setiap dua tahun sekali mengajukan recognize, istilah MUI: rekognisi. Mendapatkan pengakuan dari MUI supaya mereka bisa melakukan pekerjaan sebagai halal certification bodies di luar negeri.

Kalau di sini, dunia usaha mengajukan permohonan produk halal yang langsung dilakukan MUI. Kalau lembaga halal luar negeri butuhnya rekognisi saja, pemberian stempel halal tetap di mereka. MUI hanya memberikan fatwa.

Untuk memperoleh sertifikasi halal, ini kan voluntary walaupun sekarang ada BPJPH—Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. Karena voluntary, jadi ada transaksi antara LPPOM MUI dan halal certification bodies, namanya adalah akad yang harus dibayar. Di pengakuan ini bukan voluntary. Tapi ada permohonan untuk mendapat pengakuan. Jadi kalau tidak memohon ya tidak perlu diakui.

Di sini tidak ada tarif atau batasan. Paling tidak, jika dia memanggil orang untuk audit ke Jerman, kira-kira siapa yang menanggung? Logis, kan? Semua fasilitas dari yang memanggil.

Pada 2016, mereka jatuh tempo. Lembaga halal luar negeri yang direkognisi oleh MUI itu selalu nampil di web. Masih terdaftar dalam list rekognisi atau tidak. Ketatnya di sana luar biasa. Ternyata Halal Control Jerman tidak ada di list. Mereka mengajukan permohonan rekognisi. Akhirnya, kami mengirim Nur Wahid dan almarhum Sofyan Siregar untuk melakukan audit sebagai auditor senior. Beres lalu mereka lapor soal kondisi Halal Control Jerman. Dirapatkan oleh pimpinan dan dinyatakan laik untuk diperpanjang.

Hampir semua kayak gitu kecuali ada yang perlu di-clarified. Misalnya, karena ada batasan-batasan seperti pengakuan soal alkohol, berapa batasan kandungan persenannya dan bahan pewarna dari hewan. Di Eropa, 0,2 persen alkohol itu masih halal, sementara MUI harus zero. Nah, Tatari ini mau yang mana? Itu yang dikomunikasikan. Sehingga ada jeda (dari keputusan rapim). Kok saya belum keluar rekognisinya padahal sudah diaudit.

Saat itu muncullah nama Mahmood Abo Annaser, yang menawarkan bantuan karena mendengar rekognisi untuk Tatari belum keluar. Kalau Tatari setuju, Annaser meminta Tatari datang ke Jakarta. Nanti akan dipertemukan dengan Lukmanul. Kira-kira begitu pembicaraannya. Dan kalau direkam ada pembicaraannya, saya sudah dengar.

Di sela-sela itu, saya pergi ke Jerman. Singkat cerita, Tatari ke Jakarta tapi tidak dibawa ke kantor. Dia bawa ke GOR Yasmin, di sana Pak Lukmanul sedang main badminton. Dikenalkan dengan Tatari.

Dua bulan kemudian, muncul surat perpanjangan. Setelah perpanjangan, bayar Tatari ke Annaser. Clear. Tidak ada masalah.

Dalam rekaman percakapan itu disebutkan Tatari harus bayar yearly, tahunan, ke Abo Annaser. Diminta lagi Tatari setahun kemudian.

Tatari merasa ditipu. Lalu melaporkan Abo Annaser. Polisi, kan, enggak mungkin terima. Ini antara asing dengan asing. Nah, pengacaranya pinter. Dikaitlah Lukmanul Hakim. Kemudian mereka somasi kami.

Saya penasaran nih, saya ajak ketemu. Saya pergi ke bank Jerman untuk memastikan ada transfer. Dan clear memang ada. Saya sampaikan ke pengacaranya. Kalau Tatari minta uang kembali, mintanya ke siapa? Ya ke Abo Annaser. Tidak ada urusan dengan MUI. Kecuali antara dia ada perjanjian konsultan, ya terserah. Tapi, kalau Annaser mengatasnamakan MUI, dia harus kembalikan.

Kami buatlah minute of meeting. Kesepakatan pembicaraan. Isinya, Annaser harus mengembalikan, dengan catatan, minute of meeting ini sampaikan ke penyidik. Jangan lagi Pak Lukmanul dan MUI dibawa-bawa.

Ternyata enggak lapor. Jadi sudah ada 11 orang diperiksa. Padahal pihak Tatari sudah sebar surat terbuka dengan bilang kepolisian tidak ada progres. Saya balas lewat rilis saya. Akhirnya, dia malu dan narik diri dari World Halal Food Council. Saya susul ke Jerman. Sampai sana saya tidak ditemui. Saya susul ke Bonn, padahal saya sedang di Den Haag waktu itu. Kalau dia mau beres, ya ketemu, dong.

Seandainya Tatari tempuh dengan jalur kekeluargaan, cara-cara Islam, ya pasti akan selesai. Dia, kan, kenal dengan Pak Lukmanul. Ajak makan saja. Tanyakan. Ini, kan, tidak.

Hubungan Annaser dan Lukmanul?

Ketemu juga tidak. Saya terakhir kontak dengan Annaser September tahun lalu—2018.

Kenapa Anda mau jadi kuasa hukum Annaser? Bukankah Lukmanul dirugikan dalam hal ini?

Biar dia nyaman, aku tarik sekalian. Biar dia omong. Dan omong memang. Dia datang ke polisi sendirian, malah saya enggak ada, lho. Dia datang lagi kedua kali dengan penerjemah tapi tidak diperiksa. Saya lupa kenapa ceritanya.

Tapi ini jadi celah Tatari untuk menekan Anda karena mau membela Annaser.

Makanya dikembalikan ke polisi, dong. Bebannya bukan di saya. Kami sudah akomodatif, diperiksa datang, kami sediakan juga dokumen-dokumen. Kami diminta tunggu karena polisi harus memanggil Annaser lewat Kedubes Selandia Baru, ya kami tunggu.

Baca juga artikel terkait MUI atau tulisan lainnya dari Aulia Adam & Restu Diantina Putri

tirto.id - Indepth
Reporter: Aulia Adam & Restu Diantina Putri
Penulis: Aulia Adam & Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam