Menuju konten utama

Perang Dingin MUI dan BPJPH dalam Kasus Halal Control

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal resmi bekerja pada Oktober 2019. Mengambil alih sebagian tugas MUI.

Perang Dingin MUI dan BPJPH dalam Kasus Halal Control
Ilustrasi: Kasus dugaan pemerasan stempel halal MUI. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Anda harus tahu kalau ini pertama kali kami menghadapi ancaman kriminal begini,” kata Mahmoud Tatari kepada Tirto, 7 Juli lalu.

Tatari, Direktur Halal Control GmbH, badan sertifikasi halal swasta yang bermarkas di Jerman, kembali mengingat kejadian tiga tahun lalu saat datang ke Indonesia.

Pada 26 Juni 2016, ia bertemu dengan Mahmood Abo Annaser, warga negara Selandia Baru keturunan Suriah, yang meminta 50 ribu Euro—setara Rp720 juta—sebagai “pemulus” agar lembaganya cepat dapat surat rekognisi dari MUI.

Semua lembaga sertifikasi halal luar negeri macam Halal Control memang perlu semacam surat endorse itu dari MUI supaya kliennya bisa berdagang di Indonesia. Di mata dunia internasional, "Surat rekognisi MUI ini penting,” kata Tatari.

Kalau tak punya, tak bisa berdagang di negeri ini, tempat muslim terbanyak di dunia.

Singkat cerita, pada November 2017, Tatari melaporkan Annaser dan Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim ke Polres Bogor. Nama Lukmanul terseret karena Tatari menuding uang itu dipakai juga oleh Annaser untuk dibagi-bagikan kepada beberapa orang di MUI, salah satunya Lukmanul.

Harapan pada BPJPH

Namun, akibat menolak mencabut laporannya dari Polres Bogor, nama Halal Control Jerman terdepak dari daftar lembaga swasta yang menerima stempel halal MUI pada 17 Mei 2019.

Hubungan MUI dan Halal Control yang memanas tentu saja berdampak pada kedua belah pihak. Tatari mengklaim kepada Tirto bahwa situasi ini berdampak pada 40 sampai 50 persen klien sertifikasi halal mereka. Ia tak ingin menjabarkan nominal kerugian, tapi mengaku kehilangan banyak klien.

“Pelanggan kami percaya kepada kami. Banyak yang masih mau tetap (bekerja sama). Tapi, masalah ini makin serius. Beberapa tak punya kesempatan dan pergi, meski ada juga yang tetap,” kata Tatari.

Berkasus dengan MUI, lembaga sertifikasi halal yang punya pasar muslim terbesar, tak cuma memengaruhi pelanggan langsung Halal Control yang mengekspor barang mereka ke Indonesia. Sejumlah perusahaan di Indonesia akhirnya takut menerima barang-barang bersertifikasi Halal Control.

“Badan sertifikasi halal komersial yang murni berbisnis juga menganggap pendepakan Halal Control dari daftar MUI sebagai kesempatan buat menyerang Halal Control dan membuat kampanye buruk,” tuding Tatari.

Meski tahu akibatnya, Tatari tetap tak gentar melawan institusi sebesar MUI. “We have to stand that. We have to sacrifice. No problem,” tambahnya.

Bagi Tatari, melaporkan tudingan pemerasan adalah jalan melawan korupsi di industri sertifikasi halal. Korupsi itu mencoreng nama Islam, katanya. Dan hal ini lebih besar dari 50 ribu Euro yang ia bayarkan kepada Annaser.

Namun, mengapa ia tetap membayar jika tahu tindakan itu tak sesuai syariah?

Jawabannya adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal alias BPJPH.

Dalam wawancara dengan Tirto, Tatari berkata ia sempat menimbang enggan membayar permintaan Annaser. Tapi, keputusannya berubah saat mendengar kabar BPJPH akan segera aktif dan menggantikan peran LPPOM MUI.

“Informasi ini mengubah situasi seketika dan memberi kami harapan,” kata Tatari.

BPJPH adalah mandat dari UU 33/2014 tentang jaminan produk halal, sistem baru sertifikasi halal di bawah kementerian agama, yang bakal bekerja pada Oktober 2019.

Pada Juni 2017, Tatari mendengar BPJPH akan memilih ketuanya. Salah satu kandidatnya Lukmanul Hakim, Direktur LPPOM MUI. Namun, Kementerian Agama kemudian menarik nama Lukmanul tiga hari sebelum pemilihan.

Pada Agustus 2017, Profesor Sukoso dilantik oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sebagai Ketua BPJPH. Sejumlah kenalan di MUI dan KPK, klaim Tatari, memberitahunya bahwa orang-orang BPJPH bisa dipercaya. Tatari mengklaim sempat bertemu dengan Sukoso pada akhir Desember 2017.

“Saya bertemu pertama kali dengan Prof. Sukoso dan menginformasikan kasus ini kepadanya. Pengacara saya juga sudah bicara dengan dia,” klaim Tatari.

Sebelum akhirnya melaporkan ke polisi, pengacara Tatari sempat mencoba mengomunikasikan kasusnya kepada beberapa petinggi MUI. Tapi, tak berhasil.

Pada April 2018 saat ia datang kembali ke Indonesia untuk meninjau laporan kasusnya di Polres Bogor, Tatari sekalian memakai lawatan ini buat mendaftarkan Halal Control ke BPJPH agar mendapatkan surat rekognisi halal.

“Kami melengkapi 12 poin persyaratan yang mereka minta, tapi waktu itu BPJPH belum punya kuasa, menunggu presiden,” ungkap Tatari.

Halal Control akhirnya mendaftar lagi ke MUI karena surat rekogninya akan habis pada Agustus 2018. “Tapi, tak ada respons,” katanya.

Pada 10 April, BPJPH mengeluarkan surat tanggapan terhadap permohonan kerja sama sertifikasi halal yang dikirimkan Tatari.

“Dengan ini kami sampaikan bahwa pada prinsipnya dokumen dan persyaratan yang saudara sampaikan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, hemat kami, sudah memenuhi persyaratan,” tulis surat yang ditandatangani Sukoso itu.

Sukoso membenarkan surat itu. Saat ditanya tentang kasus pemerasan yang dialami Halal Control, Sukoso hemat berkomentar. “Kalau yang dengan MUI, kami tidak tahu. Kami tahu karena beliau (Tatari) bilang bahwa yang di MUI sudah habis—itu dari surat beliau,” ungkap Sukoso.

Itu sebabnya, dalam laman utama Halal Control, perusahaan ini menyertakan nama BPJPH sebagai salah satu lembaga yang memberi pengakuan atau akreditasi sertifikasi halal.

Infografik HL Indept Pemerasan Sertifikasi halal

Infografik BPJPH. tirto.id/Lugas

Menggugat BPJPH

Dalam Indonesia Halal Economy and Stategy Roadmap yang dirilis Indonesia Halal Lifestyle Centre, investasi terbuka sektor halal di dunia mencapai 667 juta dolar sepanjang 2015 hingga 2018. Investasi langsung luar negeri (FDI) di bidang makanan dan minuman halal di Indonesia mencapai 8,8 miliar dolar—atau sekitar 5.500 proyek. Investasi domestiknya meningkat pesat; pada 2018 mencapai 3,5 miliar dolar.

Selain investasi, Indonesia punya konsumen produk-produk halal yang bisa menghabiskan duit sampai 214 miliar dolar pada 2017. Diprediksi, ia mencapai 330,5 miliar dolar pada 2025.

Angka ini tentu menarik bari para pebisnis di industri halal. Presiden Joko Widodo menanggapi peluang ekonomi ini dengan Undang-Undang 33/ 2014 tentang jaminan produk halal. Garis besar regulasi ini adalah keseriusan pemerintah menerapkan sistem jaminan halal—yang selama ini dikelola MUI—menjadi di bawah negara.

Lewat regulasi itu, BPJPH mendapatkan mandat untuk menerbitkan produk sertifikat halal. Namun, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin lewat rilis terbuka pada Oktober 2017 menegaskan peran MUI dalam sertifikasi halal tetap penting. Pertama, fatwa halal tetap menjadi domain MUI; kedua, melakukan sertifikasi terhadap lembaga pemeriksa halal.

“Ketiga, auditor-auditor yang bergerak dalam industri halal harus dapat persetujuan MUI,” ujarnya.

Kendati demikian, persinggungan antara peran MUI dan BPJPH sempat memanas.

Tak cuma mendepak nama Lukmanul Hakim—orang MUI—dari daftar kandidat Ketua BPJPH. Indonesian Halal Watch—lembaga yang mendaku independen dan bekerja mengawasi industri halal di Indonesia—mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atas Peraturan Pemerintah 31/ 2019 tentang peraturan pelaksanaan undang-undang jaminan produk halal.

Ketua dan pendiri Indonesia Halal Watch adalah Ikhsan Abdullah, yang menjabat Ketua Komisi Hukum MUI sekaligus pengacara Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim dan Abo Annasser, dua orang yang diduga melakukan pemerasan terhadap Mahmoud Tatari.

Ada lima alasan mengapa materi peraturan itu perlu diuji lagi, menurut Ikhsan, dan bagian terpenting alasan itu menilai kehadiran BPJPH bakal mereduksi MUI.

“Saya sebenarnya mau dua-dua lembaga ini (BPJPH dan MUI) saling membantu, jangan tumpang tindih,” dalih Ikhsan.

Sementara Tatari, yang kini berkonflik dengan MUI, punya harapan besar kepada BPJPH. Ia berharap bisa memperpanjang umur bisnisnya dan tetap mendapatkan rekognisi dari lembaga setingkat Eselon I di Kemenag tersebut.

“Bagaimana jika BPJPH juga kelak menolak memberikan surat rekognisi kepada perusahaan Anda?” tanya kami.

“Saya belum mau membahas strategi kami saat ini,” jawab Tatari.

Baca juga artikel terkait PRODUK HALAL atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Reporter: Aulia Adam & Restu Diantina Putri
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam