tirto.id - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengaku tidak berwenang untuk mengurusi persoalan konstitusionalitas putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang penyesuaian usia syarat capres-cawapres.
Hal ini dinyatakan hakim MK Daniel Yusmic P Foekh saat membacakan putusan gugatan atas putusan nomor 90 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (29/11/2023). Gugatan itu teregistrasi dengan nomor 141/PUU-XXI/2023.
Ia menyebutkan, konstitusionalitas putusan nomor 90 dipersoalkan pihak yang mengajukan gugatan atas putusan nomor 90, yakni mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia bernama Brahma Aryana.
"Masih terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana yang dipersoalkan oleh pemohon [Brahma]," kata Daniel saat sidang.
Menurut dia, penentuan syarat usia capres-cawapres merupakan kewenangan pembentuk UU, yakni DPR RI. Badan legislatif dinilai berhak menentukan usia capres-cawapres selama tak bertentangan dengan moralitas.
Karena itu, Daniel mengatakan, persoalan terkait konstitusionalitas putusan 90 juga sebaiknya dijawab oleh pihak legislatif.
"Pada umumnya berkenaan dengan penentuan batas usia merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang, sepanjang tidak bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable," tuturnya.
"Oleh karena itu, terhadap persoalan dalam permohonan a quo-pun, Mahkamah memandang tepat jika hal ini diserahkan kepada pembentuk undang-undang [DPR RI] untuk menilai dan merumuskannya," lanjut dia.
MK diketahui menolak gugatan atas putusan nomor 90. Penolakan ini dibacakan MK saat menggelar sidang pembacaan putusan di Gedung MK hari ini.
"Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo, yang kemudian mengetok palu.
Ia mengatakan, hasil putusan nomor 141 itu dirumuskan oleh delapan hakim konstitusi dari total sembilan hakim MK. Anwar Usman selaku hakim MK tak ikut merumuskan putusan nomor 141.
"Demikian diputus dalam rapat permusyawaratan hakim oleh delapan hakim konstitusi," sebut Suhartoyo.
Perkara 141 diajukan oleh Brahma Aryana. Dalam gugatannya, Brahma mempersoalkan frasa yang tercantum dalam putusan Nomor 90 atau tepatnya dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Frasa yang dipersoalkan, yakni "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
Pasal 169 huruf q tepatnya berbunyi, "Persyaratan menjadi Calon Presiden dan calan Wakil Presiden adalah:
q. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
Dalam petitumnya, Brahma meminta agar MK mengizinkan hanya kepala daerah tingkat provinsi yang menjadi capres-cawapres.
Dengan demikian, dalam petitum Brahma, Pasal 169 huruf q diganti menjadi, "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi".
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Maya Saputri