tirto.id - akim Mahkamah Konstitusi (MK) meminta berkas gugatan yang diajukan eks Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, terhadap putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia capres-cawapres agar diperbaiki.
Hal ini disampaikan ketua hakim panel Suhartoyo dalam sidang perdana gugatan uji formil putusan nomor 90 pada Selasa (28/11/2023). Gugatan Denny teregistrasi dengan nomor 145/PUU-XXI/2023.
"Pada Rabu, 6 Desember [2023] berkas perbaikan soft copy-hard copy diberikan, paling lambat pagi," ucap Suhartoyo saat sidang yang dihadiri kuasa hukum Denny Indrayana, M Raziv Barokah, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa.
Perbaikan berkas gugatan disarankan oleh anggota hakim panel Arief Hidayat. Ia menyebutkan permohonan uji formil yang diajukan Denny berbeda dengan permohonan uji formil dari pemohon-pemohon sebelumnya.
Sebab, objek uji formil yang diajukan oleh Denny, yakni putusan nomor 90 merupakan produk MK. Biasanya, pemohon mengajukan uji formil terhadap produk hukum badan legislatif atau DPR RI.
"Pengujian formil, itu terhadap UU yang dibentuk oleh badan legislatif. Tapi, ini [gugatan Denny] menguji formil terhadap putusan mahkamah [putusan 90]. Itu kan sangat lain," sebut Arief saat sidang.
Arief menyarankan Denny Indrayana dan tim agar melakukan riset apakah ada pengujian formil terhadap putusan MK.
Arief mencontohkan pengujian UU pertama kali dilakukan di Amerika Serikat oleh Hakim Mahkamah Agung John Marshall. Menurut dia, pengujian itu bersifat tak umum atau out of the box.
Denny Indrayana dan tim juga diminta untuk melakukan pendekatan progresif jika hendak menguji formil putusan MK.
"Pertama kali adanya syarat pengujian UU yang dilakukan Hakim John Marshall itu kan sebetulnya bersifat out of the box. Waktu itu belum ada, tapi Hakim Mahkamah Agung Amerika [Serikat] John Marshall memulai itu," kata Arief.
"Mari kita tunjukan kepada bangsa Indonesia, kita bisa sebetulnya untuk belajar bersama menggunakan pendekatan progresif. Hakim MK diajak untuk keluar dari itu untuk mengutamakan rasa keadilan yang substansional," lanjutnya.
Denny Indrayana sebelumnya menyebutkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan 90 mengandung cacat formil. Sebab, keputusan Nomor 90 terbukti mengandung konflik kepentingan.
Hal ini terbukti dari diberhentikannya Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. Tak hanya itu, Denny menyebutkan Anwar Usman turut melanggar Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pasalnya, Anwar Usman justru ikut menangani perkara yang secara tidak langsung melibatkan keponakannya, yakni Gibran Rakabuming.
"Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang lahir dari Putusan 90/PUU-XXI/2023 ini telah mengubah wajah demokrasi kita, bahkan telah diputus mengandung konflik kepentingan," sebut Denny.
"Ini adalah ikhtiar kami untuk mewujudkan restorative constitutional justice, mengembalikan pemilu sesuai dengan konstitusi yang seharusnya," imbuhnya.
Putusan Nomor 90 merupakan muara persoalan di MK. Putusan gugatan itu dianggap memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres dalam Pilpres 2024.
Persoalan ini tak lepas kaitannya dengan Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan paman Gibran. Anwar akhirnya diberhentikan dari jabatan Ketua MK melalui putusan Majelis Kehormatan MK.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Gilang Ramadhan