tirto.id - Pada 27 Februari 2022, Kanselir Jerman Olaf Scholz menyampaikan pidato di parlemen Bundestag yang membuat siapa pun yang mendengarnya tercengang. Dalam orasi selama 30 menit tersebut, politikus Partai Sosial Demokrat ini menyerukan perombakan sektor pertahanan dan membeberkan segudang rencana untuk memperkuat angkatan bersenjata Bundeswehr.
Pidato tersebut mengagetkan karena Jerman selama ini dianggap tak lagi butuh berburu pujian dengan pamer senjata atau barisan tentara karena telah berstatus pemimpin ekonomi Eropa. Doktrin politik luar negeri dan strategi pertahanannya pun bisa dibilang condong ke arah pasifisme. Pilihan ini dengan sadar diambil karena mereka memiliki pengalaman kelam di bawah kebrutalan Nazi dan Hitler yang memanipulasi tentara profesional selama Perang Dunia II.
Tak heran pula jika topik yang bersinggungan dengan militer sangat jarang diungkit oleh elite politik dan juga bukan topik bahasan favorit publik. Bahkan isu pertahanan tidak termasuk dalam agenda kampanye di pemilu terakhir. Kalaupun ada manuver tertentu, yang muncul justru kritik. Pada 2018 lalu, misalnya, ekspor senjata ke Timur Tengah ditentang habis-habisan terutama oleh partai berhaluan kiri Die Linke, juga komunitas gereja Katolik dan Protestan.
Lantas, apa yang membuat semua berubah? Tidak lain adalah invasi Rusia ke Ukraina. Pidato tersebut disampaikan hanya tiga hari setelah penyerangan terjadi. Menurut Scholz, agresi Presiden Rusia Vladimir Putin menandai titik balik historis, atau istilahnya zeitenwende, yang mengubah total cara pandang Jerman terhadap urusan keamanan.
Scholz mengumumkan Jerman akan menggelontorkan dana sekali waktu untuk Bundeswehr sebesar 100 miliar euro (sekitar Rp1.577 triliun) dan mengalokasikan anggaran pertahanan sampai 2 persen dari nilai PDB setiap tahun. Angka tersebut sesuai dengan target yang diminta aliansi pertahanan NATO. Sebagai pembanding, rata-rata anggaran militer tahunan Jerman selama tiga dekade terakhir berkisar 1,3 sampai 1,5 persen dari PDB.
Proyek prioritas lain adalah mengembangkan jet tempur dan tank generasi baru bersama mitra Uni Eropa, terutama Prancis. Scholz juga menyampaikan tentang kontrak baru pesawat nirawak bersenjata Eurodrone dan keseriusan pemerintah membeli drone Heron buatan Israel meski wacana tentangnya memicu perdebatan selama sepuluh tahun terakhir.
Scholz juga berkata bahwa pemerintah akan mengganti jet tempur kuno Tornado—untuk mengangkut bom nuklir milik Amerika Serikat—dengan F-35 produksi perusahaan Amerika, Martin Lockheed.
“Sudah jelas, kita harus berinvestasi lebih banyak demi keamanan negeri kita. Demi melindungi kebebasan dan demokrasi kita… Tujuannya adalah mewujudkan Bundeswehr yang progresif, canggih dan kuat, bisa diandalkan untuk melindungi kita,” papar Scholz.
Isu ketahanan energi juga tak luput disorot Scholz. Ia mengatakan bahwa pemerintah akan bergegas membangun dua terminal untuk gas cair LNG yang diimpor dari AS. Hanya beberapa hari sebelum Scholz berpidato, Jerman sudah membekukan izin operasional pipa gas Nord Stream 2, proyek dengan Rusia senilai 10 miliar euro yang mulai dibangun pada 2018.
Meski gas cair olahan AS kerap dikritik karena melibatkan teknologi tidak ramah lingkungan, ia tetap dipandang sebagai alternatif bagus untuk mengurangi ketergantungan Jerman dengan gas alam asal Rusia—yang sudah berlangsung sekian dekade.
Scholz juga menegaskan keputusan untuk membekali tentara Ukraina dengan senjata buatan Jerman. Setelah dibakar oleh semangat titik balik Zeitenwende dan ditekan dunia internasional, mereka akhirnya bersedia juga menyokong tentara Ukraina dengan seribu senjata anti-tank, 500 rudal Stinger, dan 2.700 rudal Strela (inventori era Soviet yang selama ini mendekam di markas militer wilayah eks-Jerman Timur).
Sekitar tiga minggu sebelumnya, Scholz dikritik karena mempertahankan kebijakan lama tentang larangan transfer senjata ke daerah konflik. Paling banter, mereka menyumbang 5 ribu helm protektif.
Tentara yang Loyo
Pernah ada masa ketika Jerman serius membangun lanskap pertahanannya. Ini dimulai dengan pembentukan Bundeswehr pada 1955. Pembentukan angkatan bersenjata ini adalah permintaan Sekutu yang tujuannya agar Jerman Barat dapat ikut bertanggung jawab menghalau ancaman Uni Soviet, terutama di Republik Demokratik Jerman atau Jerman Timur. Tahun itu pula Jerman Barat bergabung dengan NATO dan beberapa saat kemudian masuk Uni Eropa.
Agar militer tak lagi disalahgunakan seperti pada era Nazi sekaligus menghindari kemunculan “negara dalam negara”, Bundeswehr didirikan dengan prinsip dan nilai yang membuatnya terintegrasi dalam masyarakat, termasuk konsep tentara sebagai “Staatsbuerger in Uniform—warga sipil yang dibalut seragam”. Aturan wajib militer bagi pemuda (Wehrdienst) juga mulai diterapkan untuk memastikan setiap kelompok masyarakat merasa diwakili oleh Bundeswehr.
Selama empat dekade Perang Dingin, Jerman Barat telah menjelma menjadi “garda terdepan” dan “tulang punggung” NATO di Eropa. Mereka juga menaungi tentara-tentara NATO dan menjadi satu-satunya negara Eropa Barat dengan konsentrasi pasukan terpadat dan frekuensi latihan militer tertinggi.
Pada dekade 1970-an, Jerman Barat memiliki pasukan bersenjata terbanyak kedua di Eropa setelah Amerika Serikat, jauh di atas Inggris atau Prancis. Bundeswehr punya 495 ribu personel pada 1969 dan menembus 500 ribu pada akhir Perang Dingin.
Jerman tak lagi menganggap ada ancaman militer berarti di dekat teritorinya setelah Tembok Berlin runtuh dan kedua blok (Barat dan Timur) bersatu. Bundeswehr lantas beralih peran pada misi-misi internasional atas nama PBB, NATO atau OSCE (Organisation for Security and Co-operation in Europe).
Akibatnya, dilansir dari artikel Claudia Major dan Christian Mölling di World Politics Review, Jerman tidak merasa perlu berinvestasi di sektor pertahanan. Setelah anggaran militer tahunan mencapai puncak pada awal dekade 1960-an (nyaris 5 persen dari GDP), persentasenya mulai turun menjelang akhir Perang Dingin. Tren tersebut terus berlangsung sampai sekarang.
Masih mengutip Major dan Mölling, Jerman bahkan terlihat sungkan untuk terlibat dalam operasi militer di luar negeri. Kalaupun ikut menerjunkan pasukan seperti ke Eropa Timur dan Afganistan, itu dipandang sekadar menunjukkan solidaritas kepada NATO atau Prancis, sekutu dan mitra terdekat yang Jerman dampingi selama sembilan tahun dalam misi pelatihan militer di Mali.
Alih-alih isu militer, yang menjadi perhatian publik dan ditangani dengan sigap oleh elite selama ini adalah krisis iklim, migrasi, dan kesejahteraan ekonomi.
Lambat laun kinerja Bundeswehr dinilai semakin loyo. Dalam konteks tersebut sebenarnya telah ada suara-suara kritik untuk setidaknya memperbaiki sedikit situasi. Saat masih beroperasi di Afganistan, persisnya pada 2010, misalnya, lingkaran militer Jerman mulai gencar mengkritik persenjataan yang usang dan tentara di lapangan yang tidak dibekali cukup pelatihan.
Alih-alih melakukan perbaikan, pada 2011 Kementerian Pertahanan malah memutuskan melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah aparat dari 250 ribu jadi 185 ribu serta mengakhiri aturan wajib militer (diubah jadi bersifat sukarela). Langkah tersebut diharapkan dapat menghemat anggaran negara sampai 8 miliar euro (sekarang nilainya sampai Rp150 triliun).
Meski wajib militer dibubarkan, Kementerian Pertahanan tetap mencoba menarik minat anak muda untuk berpartisipasi di Bundeswehr melalui iklan. Pada 2017, mereka menginvestasikan 6 juta euro untuk memproduksi serial drama komedi di Youtube berjudul “The Recruits” yang bercerita tentang pengalaman pelatihan 12 orang kadet. Namun serial ini dihujani kritik oleh pejabat sampai sejarawan karena terkesan menyepelekan perkara hidup dan mati di medan pertempuran.
Perombakan Bundeswehr satu dekade silam pada akhirnya membuat angkatan bersenjata Jerman semakin tidak berdaya. Pada 2014, mereka dikabarkan sempat memakai gagang sapu yang dicat hitam sebagai pengganti bedil saat latihan militer dengan NATO. Peralatan militer lain pun mengenaskan. Melansir laporan parlemen Jerman kala itu, hanya terdapat 1 dari 4 kapal selam, 70 dari 180 kendaraan bersenjata GTK Boxer, dan 7 dari 43 helikopter yang siap dioperasikan.
Pemerintah Jerman mulai tergerak untuk lebih memperhatikan sektor pertahanannya tak lama setelah Rusia mencaplok Krimea pada 2014. Wacana untuk mengaktifkan kembali wajib militer sempat mengudara pada 2016, namun ide tersebut tidak populer (dalam suatu survei, 52 persen responden menolaknya).
Anggaran militer juga perlahan didongkrak, dari sekitar 36 miliar euro pada 2015 jadi 47 miliar euro pada 2021. Kendati demikian, persentasenya masih di bawah target yang diajukan NATO, yaitu 2 persen GDP. Jika Jerman mau mengejar target NATO, anggaran tahunannya harus mencapai 75,5 miliar euro pada 2022 dan sekitar 85 miliar euro sampai 2026.
Dana Besar = Masalah Beres?
Apakah komitmen untuk menggelontorkan lebih banyak uang dapat langsung mengubah Jerman? Jika pertanyaan tersebut disampaikan kepada ahli pertahanan James Black dari think tank RAND Europe, maka jawabannya tidak. “Diperlukan waktu untuk menghabiskan uang dan memperoleh sistem persenjataan baru, termasuk untuk melatih dan membangun pasukan yang bisa menguasai sistem-sistem baru tersebut,” katanya.
Dosen kajian perang Georg Löfflmann dari University of Warwick berpendapat serupa. Dalam artikel di Spectator, ia mengatakan memang betul dana segar dapat menjamin persenjataan dan teknologi militer lebih canggih untuk “mengubah Bundeswehr jadi pasukan kredibel yang dapat memenuhi janji-janji politik Berlin untuk NATO dan Uni Eropa, termasuk memberikan pencegahan kredibel terhadap potensi agresi Rusia.” Akan tetapi, masalah Bundeswehr sebenarnya bukan sekadar urusan duit, melainkan juga “struktur organisasional yang tidak efektif dan proses pengambilan keputusan yang terbagi-bagi.”
Löfflmann terutama menyorot badan pengadaan militer BAAINBw yang merupakan bagian dari Kementerian Pertahanan. Menurutnya badan tersebut bertanggung jawab atas keterlambatan pengiriman senjata dan buruknya manajemen keuangan sehingga mengakibatkan anggaran tidak terserap. Pesawat angkut A-400M, kapal fregat F-125, dan tank seri Puma adalah segelintir contoh barang yang proyek pengadaannya tersendat gara-gara mereka.
Singkat kata, menurut Löfflmann, pertahanan Jerman perlu melakukan “perubahan budaya dan organisasional” alih-alih sekadar beli perangkat.
Tentu bukan perkara mudah mengatasi masalah inefisiensi. Ben Knight dalam artikel di Deutsche Welle mengambil contoh kasus investigasi terhadap Kementerian Pertahanan oleh parlemen pada 2019 silam. Investigasi dilakukan karena kementerian menggelontorkan banyak uang untuk jasa konsultan. Seorang saksi menyebut Kemenhan “membakar banyak duit sampai bikin kepala Anda pusing.” Saksi tersebut, Norbert Dippel, adalah pengacara yang pernah bekerja untuk BUMN Heeresinstandsetzungslogistik (perusahaan reparasi tank militer).
Kemenhan berusaha memprivatisasi perusahaannya dengan terburu-buru. Akibatnya, mereka dipandang sembrono karena menerbitkan banyak kontrak berbiaya besar dengan badan konsultan atau firma hukum tanpa prosedur yang sesuai. Sebagai contoh, terdapat kontrak berusia 30 tahun berbiaya sampai 1,6 miliar euro.
Dippel paham bahwa pemerintah berusaha mempercepat pengadaan barang dengan mengikat badan konsultan dalam kontrak-kontrak bernilai menggiurkan. Akan tetapi, sangat disayangkan apabila hal tersebut harus mengorbankan aturan tentang proses pengadaan terstruktur yang sengaja dibuat untuk “memastikan agar produk paling ekonomis dan berkualitas terbaiklah yang diperoleh.”
Atas dasar pengalaman beberapa tahun lalu, Dippel agak pesimistis ketika mendengar Scholz akan mengucurkan dana besar-besaran untuk sektor pertahanan Jerman. “Sangat mungkin tekanan politik untuk membuahkan kesuksesan dengan cepat akan membuka gerbang lagi bagi firma-firma konsultan,” ujarnya.
Editor: Rio Apinino