Menuju konten utama

Tentara Jerman Boleh Tolak Perintah jika Berpotensi Langgar HAM

Personel Bundeswehr dibolehkan menolak perintah atasan jika dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Tentara Jerman Boleh Tolak Perintah jika Berpotensi Langgar HAM
Kanselir Jerman Angela Merkel telah dilayani oleh tentara dari Jerman di Angkatan Darat Jerman yang dipimpin oleh NATO di pangkalan militer Rukla sekitar 100 km (62,12 mil) barat ibukota Vilnius, Lithuania. AP Photo / Mindaugas Kulbis

tirto.id - Sejak Adolf Hitler mengambil alih kekuasaan pada 1933, Jerman perlahan diubah menjadi negara polisi. Semuanya diatur ketat dalam garis besar haluan partai Nazi yang bercorak fasis-militeristik. Sejak 1934, Hitler tidak hanya menjabat kanselir, tapi juga presiden. Dua jabatan itu bersifat absolut di tangannya sebagai pemimpin tertinggi dan tunggal (Führer) yang tengah membangun Jerman Raya yang bebas dari pengaruh Yahudi dan Komunis.

Hitler paham betul ambisinya mustahil tercapai tanpa militer, paramiliter, polisi dan intelijen dengan otoritas yang besar. Karena itulah Nazi mengkoordinasikan ulang angkatan bersenjata ke dalam tubuh Wehrmacht, mendirikan organisasi paramiliter seperti Schutzstaffel (SS) dan Sturmabteilung (SA), serta polisi rahasia Gestapo.

Pada 2 Agustus 1934, Hitler lantas mengubah isi sumpah jabatan pengangkatan personel Angkatan Darat. Loyalitas personel yang awalnya terarah ke Republik, bendera, dan konstitusi kini berpindah ke Hitler sang Führer.

Perhatikan isi sumpah jabatan militer Wehrmacht: "Aku bersumpah demi Tuhan Yang Mahakuasa, sumpah suci ini: Aku akan memberikan kepatuhan tanpa syarat kepada Führer Reich Jerman, Adolf Hitler, Panglima Tertinggi Wehrmacht, dan sebagai prajurit pemberani, aku akan siap kapan pun juga untuk mempertaruhkan hidupku demi sumpah ini."

Mulanya, sebelum diubah Hitler, sumpah jabatan prajurit berbunyi: "Aku bersumpah demi Tuhan Yang Mahakuasa, sumpah suci ini: Aku akan selalu setia dan jujur melayani rakyat dan negaraku dan sebagai prajurit pemberani aku akan akan siap kapan pun juga untuk mempertaruhkan hidupku demi sumpah ini."

Seorang tentara Jerman era Nazi dihadapkan pada beban berat. Ia wajib mematuhi perintah atasan, termasuk perintah untuk menghabisi warga sipil yang tidak berdaya. Jika gagal melaksanakan tugas, ia akan harus siap dihukum, bahkan dieksekusi mati. Pilihannya praktis hanya dua: siap-siap jadi kejam tanpa ampun atau dibunuh.

Namun, sekalipun aturannya keras, tak sedikit tentara yang membangkang. Buku Military Psychology: Concepts, Trends and Interventions (2016) yang disunting oleh Nidhi Maheshwari dan Vineeth V. Kumar menyebutkan angkatan bersenjata Jerman mengeksekusi sekitar 15.000 prajurit yang dianggap membelot atau tak mematuhi perintah atasan. Sebanyak 50.000 lainnya bahkan dieksekusi karena melakukan kesalahan kecil. Tentu tak semua pembangkang dieksekusi. Sebagian harus membayarnya dengan kemalangan hidup.

Sejarawan Northern Arizona University David H. Kitterman menemukan 153 tentara Jerman yang menolak perintah untuk mengeksekusi orang Yahudi, sandera, kaum partisan (pejuang antifasis), atau tahanan perang.

Letnan Satu (Lettu) Klaus Hornig adalah salah satunya. Menurut buku Perpetrators: The World of the Holocaust Killers (2017) karya Günter Lewy, Hornig berdinas di Batalyon Polisi 306. Pada 1941, ia dikirim ke Lublin, Polandia, yang saat itu diduduki Nazi. Di sana, ia diperintahkan untuk menembak 780 tahanan perang, termasuk orang Yahudi. Nurani Hornig bergejolak. Ia memutuskan menolak perintah. Alasannya, perintah itu melanggar Pasal 42 dalam Kode Etik Militer Jerman.

Akhirnya Hornig ditarik dari Lublin dan dikirim ke Frankfurt, Jerman. Di sana ia dijatuhi hukuman dengan dakwaan "merusak moral institusi". Sejak itu, hidupnya berpindah-pindah dari penjara ke penjara. Ia sempat dijebloskan ke kamp konsentrasi Yahudi. Tragisnya, setelah Nazi kalah perang, Hornig sempat dicurigai oleh para tahanan kamp sebagai mata-mata tentara Jerman.

Sebenarnya, Pasal 42 yang menjelaskan tentang batasan seorang prajurit yang dapat menolak perintah alasan dengan alasan-alasan tertentu sudah ada dalam KUHP Militer Jerman sejak 1872.

Dikutip dari buku Robert B. Kane berjudul Disobedience and Conspiracy in the German Army, 1918–1945 (2002), Pasal 42 berbunyi: "Jika perintah eksekusi yang diberikan sesuai tugas melanggar undang-undang hukum pidana, atasan yang memberikan perintah itu sendiri yang bertanggung jawab. Namun, bawahan yang mematuhi perintah dapat dihukum atas tuduhan sebagai kaki tangan jika ... dia tahu bahwa perintah tersebut melibatkan suatu tindakan yang merupakan kejahatan atau pelanggaran sipil dan militer."

Namun, sejak naiknya Hitler menjadi orang nomor satu di Jerman, aturan tersebut diterabas. Beberapa pasal dalam Hukum Pidana Militer lainnya juga diubah guna menyesuaikan program Nazi meski dalam kasus Pasal 42, sangat sedikit yang diubah.

Pasal tersebut dilanggar tiap kali terjadi perang besar. Misalnya saat Perang Dunia I.

Gary Sheffield, profesor dari University of Birmingham yang meneliti topik-topik kejahatan perang, menyebutkan bahwa selama Perang Dunia I Jerman mengeksekusi 48 prajurit yang dianggap membangkang. Negara-negara lain yang terlibat dalam perang tersebut pun melakukan hal yang sama.

Dalam pelatihan dasar militer memang terdapat doktrin tentang kewajiban menjalankan perintah atasan tanpa syarat. Namun, pada titik inilah Jerman pasca-Perang Dunia II mengambil jalan yang berbeda.

Humanis Pasca-Nazi

Setelah keok pada Perang Dunia II, Jerman melakukan proses denazifikasi untuk melenyapkan sisa-sisa kebudayaan fasis yang melekat pada seluruh aspek kehidupan sosial.

Proses denazifikasi, angkatan bersenjata Jerman beserta paramiliternya dibubarkan. Segala peralatan tempur yang dipanggul Wehrmacht dilucuti. Jerman Barat butuh waktu sampai satu dekade untuk membentuk angkatan bersenjata baru bernama Bundeswehr pada 1955.

Salah satu tantangan berat Bundeswehr adalah memastikan tentara tidak akan menjadi “negara di dalam negara” seperti yang sudah terjadi di era sebelumnya. Tak heran, di beberapa kota, orang yang memakai atribut atau seragam militer di beberapa kota malah mengundang tatapan aneh. Beberapa bahkan dihadiahi bogem mentah dari penduduk setempat.

Pasca-Perang Dunia II, masyarakat Jerman (khususnya Jerman Barat) memang tak begitu ramah terhadap hal-hal yang berbau militer.

Pembaruan dalam tubuh Bundeswehr juga masih terasa hari ini, misalnya dalam pengurangan personel dari yang mulanya 250.000 pada 2010, menjadi 185.000 tujuh tahun kemudian. Lagi-lagi, para prajurit Bundeswehr juga berhak menolak perintah atasan apabila dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dasar penolakannya termaktub dalam Peraturan 154 tentang Kepatuhan pada Perintah Tertinggi sebagaimana tertera dalam buku panduan militer Jerman (1992).

Di situ tertulis bahwa tentara Jerman bisa menolak perintah atasan jika: 1) merendahkan martabat manusia dari pihak ketiga atau penerima perintah; 2) tidak ada gunanya bagi kesatuan; 3) dalam situasi tertentu di mana prajurit tidak bisa dengan layak menjalankan perintah atasan.

Yang lebih tegas lagi: tentara Jerman “dilarang mematuhi perintah jika perintah itu dapat menyebabkan kejahatan.”

Prajurit yang menolak perintah atasan dengan kondisi-kondisi di atas tak dapat dikenai hukuman. Perintah bahkan bisa ditolak dalam situasi pertempuran langsung sekalipun.

Infografik Tentara Jerman Boleh Menolak Perintah

Infografik Tentara Jerman Boleh Menolak Perintah. tirto.id/Fuad

Pada 2007 batasan penolakan perintah kembali dirumuskan oleh Majelis Rendah Parlemen (Bundestag). Dalam diskusi tersebut disebutkan bahwa prajurit Angkatan Bersenjata Federal Jerman wajib melaksanakan perintah dengan sungguh-sungguh. Menolak perintah atasan juga tidak dibenarkan jika hanya karena perbedaan pandangan pribadi. Di sisi lain, kewajiban itu tak menuntut kepatuhan tanpa syarat. Prajurit tetap diberi ruang untuk memikirkan konsekuensi perintah atasan.

Hukum militer Jerman mengajarkan bagaimana seorang prajurit diajak berpikir terlebih dahulu ketika menerima perintah dari atasan, alih-alih sekadar menjalankannya.

Bukan artinya Bundeswehr bebas dari masalah. Beberapa kasus telah merusak reputasinya. Pada 2004 lalu, misalnya, media memberitakan perploncoan dengan penyiksaan terhadap calon prajurit. Penyiksaan dilakukan dengan menyiram air ke kepala calon prajurit yang sudah dibungkus dengan kain dan dalam keadaan tubuh terikat. Ada pula yang disetrum hingga trauma.

Pada 2017 publik Jerman digegerkan dengan laporan Kementerian Pertahanan Jerman mengenai pelecehan seksual terhadap sejumlah personel baru perempuan. Prajurit perempuan ini disuruh menari erotis di sebuah kamar di barak. Saat mengikuti pembelajaran di kelas, mereka juga disuruh telanjang, payudara serta area genitalnya digerayangi dan difoto. Para pelaku kemudian dimutasi.

Di luar kasus-kasus di atas yang lazim terjadi di banyak institusi militer di berbagai dunia, kebrutalan rezim Nazi tampaknya telah mendorong Jerman untuk memberi ruang bagi tentara agar berpikir masak-masak ketika mendapat perintah dari atasan.

Baca juga artikel terkait MILITERISME atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf