tirto.id - Pada debat keempat pilpres, Sabtu (30/3) lalu, Prabowo yang kala itu merupakan calon presiden nomor urut 02 mengkritik anggaran pertahanan Indonesia yang kecil.
“Di bidang pertahanan dan keamanan, kita terlalu lemah, anggaran kita terlalu kecil,” kata Prabowo pada debat bertema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, dan hubungan internasional itu.
Kritik itu kemudian dibalas Joko Widodo, petahana yang mendapat nomor urut 01 pada Pilpres 2019. Jokowi pada waktu itu mengakui anggaran di Kementerian Pertahanan memang bukan anggaran terbesar. Pemerintah Jokowi pada waktu itu masih berfokus pada pembangunan infrastruktur.
Pada 2019, anggaran Kementerian Pertahanan memang masih Rp109,559 triliun. Berada di peringkat kedua kementerian lembaga dengan anggaran terbesar di bawah anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp110,73 triliun.
“Pada suatu saat ketika ekonomi dunia pada posisi normal, kita akan bisa beri anggaran terbaik pada TNI untuk membangun alutsista yang lebih baik,” ujar Jokowi.
Ucapan Jokowi itu menjadi kenyataan, lebih cepat dari dugaan. Dalam Buku III Nota Keuangan RAPBN 2020, Kementerian Pertahanan mendapat alokasi anggaran terbesar di antara kementerian lembaga lainnya, yakni Rp127,357 triliun. Disusul Kementerian PUPR sebesar Rp120,2 triliun dan Polri sebesar Rp90,332 triliun.
Plot twist-nya, anggaran jumbo itu akan menjadi tanggung jawab Prabowo Subianto, yang ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019.
Tidak Transparan
Global Index 2015 dan 2017 yang disusun Transparency International Indonesia menunjukkan Indonesia memiliki rapor merah terkait keterbukaan anggaran militer.
Menurut Wawan Suyatmiko, Manager Riset Transparency International Indonesia (TII) masih belum ada keterbukaan misalnya dalam pengadaan hingga perizinan yang ada di Kementerian Pertahanan utamanya yang berkaitan dengan militer.
“Kalau penunjukkan langsung okelah, tapi kalau pengadaan seharusnya bisa terbuka terlebih dengan anggaran sebesar itu,” ujar Wawan.
Alih-alih terbuka, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto justru menolak membuka anggaran Kementerian Pertahanan 2020 di hadapan Komisi I DPR RI. Hal itu terjadi pada Rapat Kerja perdana Komisi I DPR RI dengan Kementerian Pertahanan periode 2019-2024, Senin (11/11).
Terjadi perdebatan antara sejumlah fraksi dengan Menteri Prabowo terkait keterbukaan anggaran itu. Misalnya saja Effendi Simbolon dari Fraksi PDI Perjuangan yang meminta pemaparan lisan anggaran Kementerian Pertahanan 2020 sebesar total Rp131 triliun. Angka itu sudah naik dari sebelumnya.
Sebab, pemaparan proyeksi itu dibagikan kepada Komisi I akan tetapi tidak dijelaskan secara lisan.
Namun, Prabowo enggan membuka rincian RAPBN 2020 dengan alasan kerahasiaan negara.
“Terbuka kepada Komisi I tapi tidak terbuka kepada umum,” ujar Prabowo.
Prabowo mengaku tak keberatan memaparkan proyeksi anggaran. Namun, hal itu terkait dengan kesiapan dan kekuatan pertahanan negara. Sehingga menurutnya, pemaparan itu harus dilakukan secara terbatas atau dilakukan secara tertutup.
Dari Fraksi yang sama, Adian Napitupulu juga menyayangkan keputusan Prabowo. “Seharusnya dibuka saja, toh nanti juga menjadi APBN.”
Hingga rapat kerja digelar tertutup pun, Prabowo masih enggan memaparkan proyeksi anggaran Kementerian Pertahanan.
Penyusunan anggaran, menurutnya tidak terlepas dari postur pertahanan yang akan dibentuk. Postur pertahanan tersebut ditentukan oleh, salah satu yang dominan adalah potensi ancaman.
Dalam rapat kerja pertama Komisi I dengan DPR terlihat bahwa Kemenhan belum dapat mempresentasikan potensi ancaman yang berangkat dari kajian seluruh instansi atau lembaga terkait (BIN, BAIS, Badan Cyber dll) berikut tiga Matra (Angkatan Darat, Laut dan Udara).
“Apa yang disampaikan Kemenhan bukan berangkat dari kajian komprehensif tetapi lebih berdasarkan info yang sifatnya kasuistis,” imbuh Adian.
Adian menambahkan paparan potensi ancaman dari info yg bersifat kasuistis dan bukan berasal dari paparan komprehensif belum bisa dijadikan sebagai dasar untuk membuat postur pertahanan dan rencana anggaran secara utuh.
Namun, ketika ditanya lebih lanjut mengenai informasi kasuistis yang dimaksud dan proyeksinya dalam anggaran, Adian enggan menjawab. “Tidak bisa di-share, karena rapatnya tertutup,” kata Adian.
Effendi, punya pendapat lain.
“Kalau soal APBN 2020 ya sudahlah ya. Tidak jadi soal. Karena sudah disetujui dan sudah jadi APBN. Namun yang menjadi catatan, dalam Renstra IV lima tahun ke depan, rasio alokasi untuk Kementerian Pertahanan naik hingga 50 persen,” terang Effendi kepada Tirto, Kamis (21/11).
Effendi mempermasalahkan kenaikan rasio sebesar itu yang hanya dialokasikan untuk regulator seperti Kementerian Pertahanan saja. Seharusnya, rasio terbesar itu diperuntukkan untuk trimatra, Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU).
“Itu yang harus dijelaskan,” imbuh Effendi.
Jika merujuk pada Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik sejatinya boleh saja anggaran kementerian pertahanan dibuka ke publik.
“Khusus pengadaan, sifatnya tidak rahasia. Beberapa yang dapat dibuka misalnya, gaji pegawai, pengadaan di luar alutsista, dan sebagainya,” tutup Wawan dari Transparency International Indonesia.
Bengkak di Belanja Pegawai
Berdasarkan Buku III Nota Keuangan RAPBN 2020, anggaran jumbo Rp127,357 triliun dari Kementerian Pertahanan akan dialokasikan Rp15 triliun untuk program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kemenhan.
Menurut Direktur Anggaran bidang Polhukam Kementerian Keuangan, Dwi Pudjiastuti Handayani, peningkatan sarana dan prasarana tersebut berupa pembelian alutsista untuk tiga matra, Angkatan Darat, Laut dan Udara alias belanja modal.
Alokasi lain yang jauh lebih besar ialah untuk program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra darat sebesar Rp47,865 triliun.
Menurut Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, anggaran sebengkak itu terkait dengan adanya reformasi birokrasi dalam tubuh TNI sehingga dibutuhkan untuk memberikan tunjangan kepada prajurit. Sederhananya, gaji TNI naik pada 2020.
“Tahun 2018 mereka mengalami reformasi birokrasi dengan memberikan kenaikan tunjangan pada TNI dan Polri. Tentunya kita harus berikan di 2020. Pada 2019 sudah dinaikkan, ini 2020 based line saja,” ujar Askolani, Senin (18/11).
Sementara untuk belanja pegawai matra laut, pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp13,027 triliun atau setara dengan RAPBN Kementerian Hukum dan HAM pada 2020. Dan untuk Angkatan Udara, Kementerian Pertahanan menyiapkan anggaran belanja pegawai sebesar Rp7,267 triliun.
Alokasi belanja pegawai untuk Angkatan Darat memang jauh lebih besar. Hal ini disesuaikan dengan jumlah personel AD yang lebih banyak ketimbang AL dan AU.
Menurut Global Firepower, hingga 2019 kekuatan personel militer Indonesia mencapai 800 ribu prajurit yang terdiri dari 400 ribu personel aktif dan 400 ribu personel cadangan.
Belanja pegawai ini masih terbilang wajar jika dibandingkan dengan alokasi belanja barang/jasa sebesar 32,9 persen dari anggaran. Menurut Sekretaris Jenderal FITRA, Misbah Hasan, postur tersebut masih kurang ideal.
Seharusnya, alokasi anggaran Kementerian Pertahanan mesti padat modal ketimbang gemuk di belanja barang/jasa yang sekali habis.
“Belanja modal seharusnya sekitar 30 persen. Kalau sekarang kan, hanya 25,4 persen,” ujar Misbah.
Dalam realisasi anggaran TA 2018, realisasi belanja barang Kementerian Pertahanan mencapai Rp43,18 triliun dari anggaran sebesar Rp44,4 triliun.
Sementara untuk realisasi belanja modal mencapai Rp19,6 triliun dari anggaran Rp23,3 triliun. Untuk belanja pegawai, posturnya tetap yang paling besar dengan realisasi Rp45,42 triliun dari anggaran Rp45,46 triliun.
Padahal, visi misi Jokowi terkait bidang pertahanan salah satunya adalah moderninasi alutsista. Namun, jika melihat postur anggaran yang timpang, visi Jokowi menjadi patut dipertanyakan. Belum lagi tidak ditemukan rincian belanja pegawai apakah dari Rp47 triliun itu seluruhnya akan digunakan untuk kenaikan gaji prajurit atau ada program lain.
Kemenhan, dalam hal ini, sama sekali enggan untuk terbuka.
Untuk itu, Misbah mengingatkan agar BPK melakukan pengawasan lebih ketat karena publik memiliki akses terbatas terhadap dokumen anggaran Kementerian Pertahanan.
Kendati mendapat kritik kanan kiri, Prabowo Subianto berjanji akan menyisir anggaran Kemenhan dan mencari celah kebocoran di anggaran terbesar kementerian itu.
Hal itu ia sampaikan usai menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo dengan topik Kebijakan Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata (alutsista), Jumat (22/11).
“Ya, kita akan review semua, akan lihat. Beliau sangat tegas kepada saya, tidak boleh ada penyimpangan, penyelewengan. Uang sangat berat didapat, uang rakyat, dari pajak,” ujar Prabowo.
Kendati demikian, seperti halnya saat raker dengan Komisi I DPR RI, Prabowo juga enggan menjelaskan alutsista yang akan diprioritaskan untuk diteliti. Ia hanya bilang, “yang kita butuh adalah efisiensi, penghematan dan daya guna.”
Editor: Mawa Kresna