Menuju konten utama

Merekam Momen: Awal Kehadiran Adegan Seks di Sinema

Adegan seks dalam film mengalami perubahan panjang, termasuk dari sisi penerimaan publik. Situasi sosial, ekonomi, dan politik ikut memengaruhinya.

Merekam Momen: Awal Kehadiran Adegan Seks di Sinema
Header Diajeng Adegan Seks dalam Film. tirto.id/Quita

tirto.id - Hedy Lamarr baru berusia 18 tahun ketika ia bermain di Ecstasy, sebuah film dari Ceko yang rilis pada 1933.

Dalam film hitam putih yang disutradari Gustav Machatý tersebut, Hedy memerankan tokoh Eva.

Eva dikisahkan tidak puas dengan pernikahannya bersama laki-laki lebih tua bernama Emile.

Ecstasy mungkin tidak begitu dikenal saat ini. Meski begitu, dalam sejarah kemunculan sex scene—adegan seks—di layar kaca, kehadirannya tidak bisa disepelekan.

Di film yang berdurasi satu setengah jam tersebut, kita dapat menemukan akting Hedy yang mengalami orgasme—pertama kali dalam sejarah perfilman.

Mengutip dari PBS, Paus Pius XX melarang film pertama Hedy itu lewat surat kabar Vatikan, sementara Catholic Legion of Decency memberikan kritikan keras.

Tak berhenti di situ, kanselir Jerman yang baru saja terpilih tahun itu, Adolf Hitler, juga tidak mengizinkan Ecstasy tayang di negerinya karena Hedy adalah seorang Yahudi.

Jauh sebelum kemunculan Ecstasy yang menggegerkan, film-film yang menampilkan kedekatan intim antara laki-laki dan perempuan telah lama dibuat.

Melansir artikel dari No Film School, misalnya, The Kiss (1896) keluaran Edison Studios disebut sebagai titik pijak dalam sejarah adegan seks.

Namun, apa yang dimaksud dengan adegan seksual saat itu berbeda jauh dengan yang sekarang dipahami maupun dibayangkan oleh publik. Film Amerika itu menampilkan adegan aktor dan aktris utama berciuman berkali-kali.

Dari kacamata penonton saat ini, adegan The Kiss bisa jadi tidak terasa sensual, alih-alih, kesan yang muncul adalah radiasi perasaan penuh cinta dari sepasang kekasih. Meski begitu, The Kiss toh dicap sebagai skandal menurut standar moral pada masa itu.

Beranjak ke tahun 1913, film Traffic in Souls karya George Loane Tucker tayang.

Premis utamanya adalah penjelajahan seorang perempuan ke dalam dunia prostitusi untuk mencari adik perempuannya yang diculik.

Dari karya Tucker itulah, catat No Film School, “seksploitasi” mulai merangsek masuk ke industri film Amerika Serikat.

Seksploitasi adalah penggunaan materi seksual yang eksplisit dalam film maupun media lain. Namun berbeda dengan pornografi, film dengan genre seksploitasi mengeksplorasi konsep seks sampai batas-batas tertentu.

Adegan seks dalam film mengalami perubahan panjang, termasuk dari sisi penerimaan masyarakat. Situasi sosial, ekonomi, dan politik berpengaruh besar pada cara pandang pemirsa dalam melihat adegan-adegan seks.

Penerimaan atas adegan seksual dalam film mengalami transformasi besar-besaran memasuki tahun 1960-an.

Apabila Amerika Serikat sempat melarang Ecstasy pada 1930-an, memasuki periode 1960-an, negara ini justru memproduksi film dengan lebih banyak adegan seksual.

Camille Lagunera dalam From Splendor in the Grass of Sexploitation (2022) memberikan penjelasan menarik. Seksploitasi era 1960-an berhubungan dengan kemunculan gerakan feminis gelombang kedua pada akhir 60-an dan awal 70-an.

Perubahan besar di second wave ini adalah semakin banyak perempuan yang memikirkan ulang konsep seksualitas diri. Dan dari sinilah muncul istilah “revolusi seksual”.

Revolusi seksual dipicu oleh upaya para perempuan Amerika memperjuangkan hak pilih, lalu kemunculan edukasi seks, kehadiran pil kontrasepsi, dan lain sebaga.

Menurut Lagunera, seksploitasi adalah produk yang dihasilkan dari kelindan revolusi seksual dengan representasi di dalam budaya pop.

Sayangnya, tidak semua karya yang muncul dari revolusi seksual mendukung atau mendorong perjuangan perempuan. Beberapa juga secara tidak langsung melemahkan.

Inilah kritik terhadap seksploitasi. Dilansir dari artikel The New York Times, sejarawan Frank Henenlotter menekankan bahwa film-film seksploitasi diproduksi oleh para pengusaha, alih-alih seniman.

"Intinya adalah, kalau kamu punya kamera dan bisa mendapatkan gadis-gadis [yang mau] telanjang di depan kamera, maka duit akan mengalir begitu saja," tambah Frank.

Para pengusaha film ini mencoba menghindari sensor sembari tetap memenuhi permintaan konsumen yang jumlahnya besar.

Corak produksi film yang kental dengan tema seks di Amerika Serikat menyebar ke Indonesia lewat jejaring distributor pada 1950-an. Para pembuat film Tanah Air era itu pun menjajal cerita yang fokus pada romansa dan keintiman.

Namun, sepanjang 1964-1974, infiltrasi film asing dihentikan usai muncul gelombang protes besar terutama dari kelompok kiri.

Dunia film baru kembali mendapatkan momentum pada akhir tahun 1960-an, seperti ditulis oleh Indira Ardanareswari dalam tesis Politik Seksual dalam Industri Film Indonesia 1950-1992 (2016).

Pada awal tahun 70-an, pemerintah Orde Baru melalui Menteri Penerangan Budiardjo mengumumkan upaya pembuatan film-film pendidikan seks. Maka, lahirlah judul seperti Menanti Kelahiran (1976), Cacat dalam Kandungan (1978), dan Bahaya Penyakit Kelamin (1978).

Lalu masuklah fase kedua pada tahun 1980-an ketika film-film asing masuk ke Indonesia lewat badan-badan swasta.

Dari yang sebelumnya bertujuan untuk menyediakan pendidikan seks lewat film, industri justru berlomba-lomba melahirkan karya dengan tema utama aktivitas seksual dan kekerasan.

Maka, judul-judul seperti Pose Beracun (1983), Permainan Tabu (1984), Permainan yang Nakal (1986), rilis.

Bagaimana posisi perempuan dalam industri film ‘panas’ Indonesia?

Perempuan ditampilkan sebagai sosok erotis dan sensual. Estetika visual dalam poster film jadi nomor dua, yang utama, catat Indira, adalah visualisasi tubuh perempuan.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih