tirto.id - Pada Jumat (5/10/2018), komite Nobel Norwegia mengumumkan aktivis Yazidi Nadia Murad menjadi penerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2018. Seperti dilaporkan The Guardian, ia dianggap berkontribusi dalam usaha menghentikan kekerasan seksual sebagai senjata perang atau konflik bersenjata. Selain Murad, ginekolog Denis Mukwege dari Republik Demokratik Kongo juga menerima penghargaan yang sama.
Sejak 2015, Murad memang aktif berkampanye tentang perlunya langkah tegas agar pemerkosaan tak lagi digunakan sebagai senjata perang. Pengalaman menjadi budak seks oleh ISIS membuatnya getol melakukan lobi dengan banyak pemimpin negara untuk meningkatkan kesadaran tentang keadaan orang Yazidi juga semua perempuan yang menjadi korban saat perang.
Selain itu, ia membentuk organisasi Nadia Initiative yang mengadvokasi perempuan dan kelompok minoritas serta mendampingi pengembangan komunitas saat krisis.
Perempuan Peraih Nobel Perdamaian
Nadia hanya satu dari sekian perempuan yang pada abad ke-21 menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Beberapa nama tokoh aktivis, jurnalis, hingga politisi pernah dipilih komite Nobel Norwegia sebagai penerima penghargaan tersebut.
Pada 2003, Shirin Ebadi memperoleh Nobel Perdamaian karena berjuang mempromosikan hak perempuan, anak, dan tahanan politik di Iran. Seperti dilaporkan The New York Times, Ebadi berprofesi sebagai hakim dan menjabat sebagai kepala pengadilan kota Tehran sejak 1975 hingga 1979. Setelah pensiun dan memperoleh lisensi advokat pada 1992, Ebadi lantas menjadi pengacara dan memperjuangkan banyak kasus yang melibatkan perempuan Iran dan pemrotes pemerintah.
Di samping menjadi advokat, Ebadi membentuk sejumlah LSM di Iran seperti Human Rights Defence Centre dan Association for Support of Children’s Rights. Ia juga menginisiasi kampanye Million Signatures Campaign, sebuah kampanye yang menuntut penghentian diskriminasi legal pada hukum Iran terhadap perempuan.
Setahun kemudian, komite Nobel Norwegia memutuskan memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada aktivis lingkungan dan politik Wangari Muta Maathai dari Kenya. Ia memperoleh penghargaan itu berkat kontribusinya terhadap pembangunan yang berkelanjutan, demokrasi, dan perdamaian.
Menurut Independent, Maathai mendirikan organisasi Green Belt Movement (GBM) yang fokus pada pengurangan kemiskinan dan konservasi lingkungan lewat penanaman pohon tahun 1977. Ketika isu pelestarian alam yang ditangani GBM juga menyangkut problem ketidakbecusan pemerintah dan pelemahan masyarakat, organisasi tersebut turut melakukan aksi di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Usaha ini tak jarang membuatnya berkonflik dengan pemerintah.
Di dunia politik, Maathai pernah ditunjuk menjadi Deputi Menteri Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Satwa Liar tahun 2003. Beberapa kebijakan seperti reboisasi, perlindungan hutan, dan restorasi lahan yang rusak menjadi agenda utama Maathai. Di samping itu, Maathai memberikan beasiswa untuk anak-anak yatim piatu karena HIV/AIDS dan meningkatkan gizi warga yang terkena penyakit.
Tiga perempuan, yakni Ellen Johnson Sirleaf dan Leymah Gbowee serta Tawakkul Karman, selanjutnya menjadi penerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2011. Komite Nobel Norwegia menilai ketiganya pantas mendapatkan penghargaan karena berjuang tanpa kekerasan untuk keselamatan serta hak perempuan agar bisa berpartisipasi dalam membangun perdamaian.
Seperti dilaporkan The Guardian, Sirleaf merupakan presiden Liberia yang terpilih tahun 2005 setelah negara tersebut mengalami perang sipil selama 14 tahun. Ia membuat beberapa kebijakan untuk memperbaiki kondisi negara di pesisir Afrika barat tersebut di antaranya menggratiskan biaya pendidikan sekolah dasar yang membuat partisipasi murid perempuan meningkat sebesar 40 persen.
Masih menurut The Guardian, perempuan kelahiran tahun 1938 itu juga membikin regulasi yang tak mentoleransi tindakan korupsi. Isu kekerasan pada perempuan, di sisi lain, tak luput dari perhatian Sirleaf. PBB melaporkan bahwa sebanyak 75 persen wanita Liberia diperkosa atau mengalami kekerasan selama perang. Sirleaf lantas memperketat regulasi tentang kekerasan seksual dan membangun pengadilan khusus untuk menangani kekerasan berbasis gender.
Sementara itu, Leymah Gbowee dari Liberia adalah aktivis yang dikenal karena mengorganisasi gerakan lintas agama untuk menghentikan perang sipil di negara tersebut. Ia saat itu menjadi pendiri sekaligus koordinator regional organisasi Liberia Coordinator of the Women in Peacebuilding Network (WIPNET) dari West Africa Network for Peacebuilding (WANEP).
Pada 2003, ia menginisiasi Women of Liberian Mass Action for Peace, gerakan yang memobilisasi perempuan Kristiani dan Islam dengan agenda menuntut pemerintah agar mengadakan perundingan damai di bawah bendera WIPNET.
Pada 2006, Gbowee mendirikan lembaga Women Peace and Security Network Africa (WIPSEN-A) di Accra, Ghana dan menjadi direktur eksekutif organisasi itu selama enam tahun. Selang beberapa tahun kemudian, ia membuat LSM Gbowee Peace Foundation Africa (GPFA) yang fokus pada penyediaan peluang pembangunan pendidikan dan kepemimpinan untuk perempuan di Liberia.
Pemenang Hadiah Nobel 2011 yang lain, Tawakkul Karman, merupakan jurnalis, aktivis HAM, politisi, dan anggota partai politik Al-Islah. Ia mendirikan organisasi Women Journalist Without Chains (WJWC) yang memiliki misi mengadvokasi hak sekaligus kebebasan jurnalis di Yaman. Secara rutin WJWC menerbitkan tulisan tentang pelanggaran HAM di negara tersebut.
Karman dan anggota WJWC rajin menggelar protes mingguan di depan kantor pemerintahan di Sana’a, Yaman pada 2007. Mereka mengkritik represi sistemik yang dilakukan Presiden Ali Abdullah Saleh dan menyerukan penyelidikan terhadap korupsi dan problem keadilan sosial dan hukum. Aksi tersebut lantas berlanjut hingga tahun 2011 di mana Karman secara tak langsung mengarahkan pemrotes untuk mendukung Arab Spring. Gara-gara hal ini, Karman dijuluki sebagai “Ibu Revolusi”.
Tiga tahun berselang, giliran remaja Malala Yousafzai asal Pakistan yang memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2014. Ia memperoleh penghargaan itu berkat perjuangannya terhadap penindasan anak-anak dan anak muda dan pemenuhan hak untuk semua anak di bidang pendidikan.
Seperti dilaporkan oleh TIME, Malala mengkritik kebijakan kelompok Taliban yang menutup sekolah perempuan pada tahun 2008. Di depan pers nasional, ia membacakan pidato berjudul “Beraninya Taliban Merenggut Hak Dasar Saya di Bidang Pendidikan?” saat ia berusia 11 tahun.
Pada 2009, ia menjalin korespondensi secara diam-diam dengan BBC soal bagaimana hidup di bawah kuasa Taliban. Aktivitas ini lantas harus dibayar mahal oleh Malala. Tahun 2012, ketika ia sedang naik bus bersama kawan sekolahnya, Taliban menembak kepala anak perempuan tersebut.
Masih menurut TIME, Malala akhirnya menjalani perawatan intensif di rumah sakit di Inggris pasca kejadian penembakan itu. Bukannya merasa takut, Malala justru getol mempromosikan pendidikan untuk anak perempuan usai sembilan bulan dirawat lalu dinyatakan sembuh. Ia pun mendirikan Malala Fund, sebuah organisasi yang berjuang untuk pendidikan anak perempuan tahun 2013.
Editor: Maulida Sri Handayani