Menuju konten utama

Kisah Nadia Murad, Budak Seks ISIS Peraih Hadiah Nobel Perdamaian

Nadia Murad menjadi budak seks ISIS selama tiga bulan pada 2014.

Kisah Nadia Murad, Budak Seks ISIS Peraih Hadiah Nobel Perdamaian
Nadia Murad, peraih nobel perdamaian 2018. AP/Christian Lutz

tirto.id - Nadia Murad baru berumur 19 tahun saat ISIS mendatangi desanya di distrik Sinjar, Irak utara pada tahun 2014. Ia dan keluarga mulanya tinggal dengan tenang di Kocho, sebuah kampung yang terletak di dekat perbatasan dengan Suriah. Tapi, kehidupan yang ia jalani berubah drastis setelah truk-truk berbendera hitam milik jihadis ISIS memasuki desanya pada bulan Agustus.

Seperti dilaporkan Channel Newsasia, ISIS lalu membunuh pria dan mengambil anak-anak untuk dilatih menjadi tentara. Mereka juga menjadikan perempuan sebagai budak seksual. Los Angeles Times mengatakan bahwa Murad dan ribuan wanita lainnya diperkosa berkali-kali dan diancam bakal dibunuh jika tak pindah agama. Menurut BBC, ia juga pernah menjadi korban perdagangan manusia saat ditangkap oleh ISIS.

Vox melaporkan bahwa kepercayaan masyarakat Yazidi yang menggabungkan ajaran Syiah dan Sufi Islam dengan tradisi rakyat dianggap tak sah dan hal ini membuat mereka menjadi sasaran tindakan kekerasan kelompok tersebut. Murad dalam tulisan yang dimuat oleh The Guardian menjelaskan perempuan Yazidi kerap dijadikan budak seksual atau sabaya untuk insentif bagi jihadis ISIS.

Kepada BBC, Murad mengatakan bahwa ia pernah mencoba melarikan diri tapi gagal. Saat ditangkap kembali, Murad lantas dijebloskan ke sebuah sel dan diperkosa oleh semua milisi yang berjaga di bilik tersebut. Ia pun berpikiran untuk tak lagi berusaha meloloskan diri dari ISIS.

Namun, Murad melihat ada kesempatan untuk keluar dari sel ketika milisi terakhir yang menjaganya hidup sendiri. Saat jihadis itu lengah, Murad memberanikan diri pergi dan ia berhasil menuju ke perbatasan Irak berkat bantuan keluarga di Mosul yang memberikannya kartu identitas baru. Seperti yang dilaporkan oleh Channel Newsasia, Murad bergabung dengan ribuan warga Yazidi di kamp pengungsian setelah tiga bulan ditangkap oleh ISIS.

Selama di kamp pengungsian, Murad mulai berbagi kisahnya kepada wartawan tentang pengalaman yang ia alami selama menjadi tahanan kelompok militan ekstremis ISIS. Ia mengatakan bahwa dirinya kerap menangis. Mimpi tentang ia yang ditangkap ISIS dan berusaha melarikan diri pun terus-menerus muncul.

Murad lantas memutuskan untuk memanfaatkan tawaran lembaga bantuan untuk tinggal di negara lain sebagai pengungsi. Menurut TIME, ia akhirnya menetap di Jerman setelah memperoleh izin lewat program yang diadakan oleh pemerintah negara bagian Baden-Württemberg.

Kampanye Kekerasan Seksual saat Perang

The Washington Post melaporkan bahwa sedikitnya 6.800 orang kelompok etnoreligius Yazidi ditangkap ISIS di distrik Sinjar, Irak. Sebanyak 3.000 di antaranya berhasil melarikan diri atau dibebaskan oleh kelompok militan ekstremis tersebut. Sementara itu, ribuan orang lainnya tidak diketahui keberadaannya, termasuk 1.300 perempuan dan anak-anak.

Meski selamat, Murad merasa ia mempunyai beban tanggung jawab untuk memastikan perempuan lain tak merasakan kejadian seperti yang dialaminya. Ia lantas giat mengampanyekan soal perlu adanya langkah tegas agar tak ada lagi pihak yang menggunakan pemerkosaan sebagai senjata perang lewat kegiatan aktivisme.

Murad dalam tulisan yang dimuat oleh The Guardian menjelaskan bahwa tindakan ISIS menyerang distrik Sinjar dan menangkap perempuan untuk dijadikan budak seks bukanlah keputusan spontan.

“ISIS merencanakan semuanya: bagaimana mereka datang ke rumah kami, apa yang membuat wanita bernilai atau tidak, dan milisi mana yang berhak atas sabaya sebagai insentif atau yang harus membayar. Mereka bahkan mendiskusikan sabaya di majalah propaganda berjudul Dabiq dalam rangka mendapatkan orang baru,” katanya.

Aktivisme Murad dimulai tahun 2015 saat ia pertama kali memberikan testimoni di hadapan Dewan Keamanan PBB. Sejak itu, ia sering melakukan lobi di tiap acara yang dapat ia kunjungi dan bertemu dengan banyak pemimpin negara untuk meningkatkan kesadaran tentang keadaan orang Yazidi juga semua perempuan yang menjadi korban saat perang.

Bersama pengacara Amal Clooney, Murad juga berusaha untuk mencari keadilan dengan membawa persoalan kejahatan ISIS terhadap warga Yazidi ke meja pengadilan internasional.

Infografik Nadia Murad

Murad lantas membentuk Nadia Initiative, sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengadvokasi perempuan dan kelompok minoritas serta mendampingi pengembangan komunitas saat krisis. Lewat Nadia Initiative pula, Murad dan tim membuat program berkelanjutan di daerah Sinjar lewat Sinjar Action Fund (SAF). Minimnya kemauan pemimpin negara untuk membantu masyarakat Yazidi yang berakibat pada kurangnya pemberian bantuan mendorong Murad membentuk SAF.

Pada 2018, SAF menerbitkan laporan berjudul “In The Aftermath of Genocide” (PDF) yang berisi analisis data lapangan soal keadaan Sijar pasca-serangan ISIS pada 2014. SAF mengatakan bahwa dari enam sektor yang menuntut perbaikan segera, pendidikan dan tempat bernaung menjadi masalah kritis yang perlu diperhatikan agar pengungsi Yazidi dapat kembali ke daerah asalnya.

Gara-gara kegigihannya tersebut, usaha Nadia diganjar penghargaan Vaclav Havel dan Sakrarov tahun 2016. Selain itu, ia juga mendapatkan Clinton Global Citizen Award dan Peace Prize dari United Nations Association of Spain. PBB kemudian menunjuk Murad sebagai Duta Persahabatan untuk Martabat Para Penyintas Perdagangan.

Pada 2018, Murad meraih penghargaan Nobel Perdamaian berkat usahanya untuk menghentikan kekerasan seksual sebagai senjata perang atau konflik bersenjata.

Baca juga artikel terkait NOBEL PERDAMAIAN atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Maulida Sri Handayani