tirto.id - Pemblokiran terhadap situs-situs bermuatan negatif tidak hanya dilakukan pemerintah Indonesia, tetapi juga negara lain. Namun, ada perbedaan mendasar terkait mekanisme pemblokiran. Jika Indonesia melakukan pemblokiran tanpa pemberitahuan, tidak demikian praktik di negara lain. Beberapa bahan melakukannya setelah melalui proses di pengadilan. Pakistan, Australia, atau Singapura adalah beberapa contohnya.
“Menurut saya, tidak ada di negara lain semua situs bisa diakses. Pasti ada pembatasan. Persoalannya di Indonesia, proses dan sistemnya tidak terlalu transparan dan akuntabel. Kalau di negara lain bisa melalui pengadilan,” kata Shita Laksmi, anggota multistakeholder advisory group Internet Governance Forum (IGF) Perserikatan Bangsa-Bangsa kepada tirto.id, di Gedung Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Selasa (15/11/2016).
Praktiknya di beberapa negara, pemblokiran memang diputuskan oleh sebuah komisi independen seperti Komnas HAM. Tujuan pembentukan komisi independen ini untuk meminimalisir terjadinya intervensi dari pihak lain, termasuk penguasa. Contohnya di Pakistan dan Australia.
Pakistan memiliki Pakistan Telecommunicaton Authority (PTA), yang merupakan badan independen dengan multi-stakeholder. PTA menggunakan mekanisme pengadilan dalam menetapkan pemblokiran sebuah situs. Hal itu untuk memastikan kepastian hukum bagi semua orang. Sementara Australia memiliki badan independen sejenis yang disebut Australia Communication Media Authority (ACMA)
Proses mekanisme pemblokiran pun dilakukan secara bertahap, setelah penyaringan oleh badan independen, dibuatlah daftar pemblokiran. Setelah itu, daftar pemblokiran harus disahkan melalui penetapan pengadilan sebelum benar-benar dilakukan eksekusi pemblokiran.
Melalui proses pengadilan, secara otomatis bakal ada pemberitahuan terhadap pihak yang akan diblokir. Bahkan pada proses persidangan, pihak yang akan diblokir diberi kesempatan untuk membela diri bila merasa blokir tersebut merugikan.
Dalam laman PTA.gov.pk disebutkan bahwa semua keputusan dibuat secara adil, konsisten dan transparan kepada publik. Bahkan orang yang terkena dampak dari keputusan pemblokiran tersebut harus diberi kesempatan untuk membela diri. Begitu pula dengan ACMA yang memiliki mekanisme komplain untuk kategori internet, penyiaran, dan distributor.
Bahkan Senat Australia baru mengesahkan Undang-Undang Pemblokiran Situs Bajakan. Dengan demikian pemegang hak cipta seperti produser televisi dan film memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Federal untuk memblokir situs penyebar konten bajakan di kawasan Australia.
“Situs-situs konten bajakan dari luar negeri ini tidak dioperasikan atas dasar semangat yang mulia untuk memperjuangkan kebebasan internet, tetapi situs ini dioperasikan oleh penjahat yang mencari keuntungan dari upaya kreatif orang lain,” kata Senator asal Partai Hijau Scott Ludlam seperti dikutip radioaustralia.net.au.
Mekanisme pemblokiran juga terdapat di Singapura. Akan tetapi ada mekanisme lainnya seperti pemberian sanksi denda kepada situs yang melanggar ketentuan.
"Di Singapura, pembuat website yang sudah memiliki 51 ribu pengunjung per hari, wajib mendeposit uang ke negara. Tujuannya adalah jika melanggar aturan maka akan dipotong uang depositnya. Itu cara lain," kata Damar Juniarto, Koordinator Kawasan Safenet kepada tirto.id, di Jakarta, Selasa (15/11/2016).
Belajar dari Estonia
Internet memang dunia tanpa batas. Namun, dunia tanpa batas itu juga memunculkan banyak merepotkan karena berpotensi menyebarkan hal-hal yang dianggap mengganggu kehidupan masyarakat. Sebaliknya, dunia tanpa batas itu juga bisa memberikan keuntungan jika memang dikelola dengan baik. Dalam hal ini, pemerintah perlu belajar dari Estonia.
Estonia merupakan negara dengan tingkat persentase pengguna internet yang tinggi di dunia. Berdasarkan data International Telecommunication Union (ITU), lebih dari 88 persen dari total 1,3 juta penduduk negara penemu Skype ini tersambung dengan 200 operator yang menawarkan jasa internet.
Pemerintah Estonia memandang teknologi informasi dan komunikasi sebagai bagian penting bagi pertumbuhan ekonomi negerinya. Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan investasi cukup besar dalam perkembangan teknologi. Mereka bahkan meletakkan perkembangan teknologi menjadi satu bagian dengan urusan ekonomi, yakni di dalam Kementerian Urusan Ekonomi dan Komunikasi.
Kini, sebanyak 99,6 persen transaksi perbankan sudah bisa dilakukan secara daring. Dalam bidang teknologi informasi, kini Estonia memiliki areal khusus yang mendukung pertumbuhan lebih dari 150 perusahaan teknologi di Tehnopol, kompleks pengembangan teknologi informasi yang berada di ibukota Tallin. Sementara ribuan lainnya tersebar di seantero negeri.
Publik pun menikmati hasilnya. Lebih dari 70.000 blogger, aktif memanfaatkan internet untuk menyebarkan informasi yang dibutuhkan masyarakat.
Menurut Damar, perjalanan Estonia harusnya membuka pola pikir pentingnya internet dikelola dengan baik oleh pemerintah. Hasilnya, berbagai bidang seperti ekonomi, teknologi, pertahanan, hukum, kemerdekan ekspresi, hingga demokrasi bakal tumbuh bersamaan.
“Internet menjadi alat untuk memajukan, bukan momok yang ditakuti suatu negara,” kata Damar.
Oleh sebab itulah, Safenet meminta pemerintah meniru kebijakan yang diambil oleh negara-negara yang berhasil mengelola internetnya. "Kenapa kita pakai jalan pintas? Padahal kita bisa mengatur dengan cara yang cerdas," kata Damar.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti