tirto.id - Pemerintah memblokir portal berita yang dituding menebar kebencian, provokasi, menebar persoalan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), atau kebencian. Salah satunya Suarapapua.com.
Portal Suarapapua.com yang diluncurkan 10 Desember 2011 mengabarkan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat Papua. Menurut Arnold Belau, Pemimpin Redaksi Suarapapua.com, mereka memberitakan berbagai persoalan, tantangan, “tekanan” dan perlakuan dari negara yang dihadapi masyarakat Papua.
“Kalau kami menyebarkan kebencian, radikal, unsur SARA dan pornografi sehingga pantas diblokir, dengan tegas saya meminta pemerintah membuktikan kepada kami dan kepada rakyat Papua,” kata Arnold kepada tirto.id, pada Minggu (20/11/2016).
Masih menurut Arnold, medianya ternyata pernah dicap sebagi media kiri. Wartawannya beberapa kali mendapat intimidasi di lapangan. Langkah apa yang bakal ditempuh Suarapapua.com? Berikut wawancaranya:
Bisa diceritakan kronologis pemblokiran situs Suarapapua.com?
Saya mengetahui situs kami diblokir pada 30 Oktober 2016. Rekan wartawan yang gunakan jasa internet dari Indihome kirim SMS. Dia bilang, “Pak Ce, web Anda diblokirkah?” Lalu saya coba mengakses situs, tetapi tidak ada kendala. Mungkin karena saya pake provider lain, bukan Telkom atau Telkomsel. Lalu pada 3 November 2016 benar-benar tak bisa diakses sama sekali.
Apakah ada pemberitahuan dari Kemenkominfo?
Suara Papua tidak pernah mendapat pemberitahuan berupa surat, surel maupun telepon dari Kemenkominfo. Saya tahu kalau diblokir oleh pemerintah Indonesia, setelah Kemenkominfo blokir situs Suarapapua.com. Padahal menyangkut pemberitaan, kami tak pernah mendapat aduan dari masyarakat yang tak puas dengan pemberitaan kami.
Informasi apa yang Anda peroleh saat itu?
Sebelum (demo) 4 November, pemerintah mengumumkan telah memblokir 11 situs radikal di Indonesia. Sempat menjadi kabar hangat di Indonesia. Namun ternyata tidak hanya 11 situs. Sesungguhnya ada 14 situs yang diblokir oleh pemerintah. Tiga situs lain yang diblokir adalah Suarapapua.com, arrahmah.com dan voa-islam.com. Pertanyaan saya, kenapa pemerintah hanya umumkan 11 situs dan kenapa tiga situs idak diumumkan? Lalu setelah aksi 4 November, dua situs yang diblokir bersama kami bisa diakses lagi, tetapi mengapa Suarapapua.com tidak?
Sebelum terjadi pemblokiran, apakah terjadi hal-hal aneh?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya membaginya jadi dua. Dalam dua bulan terakhir, saya tak menemukan hal-hal aneh saat menjalankan tugas di lapangan. Kalau lima tahun terakhir, jujur saja Suarapapua.com menempatkan diri sebagai media alternatif rakyat Papua. Hadir untuk menyuarakan apa yang dilihat, dirasakan dan dijalankan oleh orang Papua dalam keseharian. Memberitakan berbagai persoalan, tantangan, “tekanan” dan perlakuan dari negara yang dihadapi masyarakat Papua, melalui kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat Papua. Juga melalui aparatnya secara langsung kepada rakyat Papua.
Suarapapua.com dicap sebagai separatis. Media kiri. Wartawannya juga dicap demikian. Wartawan kami mendapat intimidasi saat menjalankan tugas di lapangan, bahkan menjadi korban kekerasan fisik aparat saat menjalankan kegiatan jurnalistik di lapangan itu sudah biasa. Dalam lima tahun ini, sudah lima kali wartawan Suarapapua.com mendapat kekerasan fisik.
Peristiwa terbaru, Ardi Bayage ditahan saat melakukan kegiatan jurnalistik pada Mei 2016. Saat itu dia meliput demonstrasi. Dia ditahan di Polsek Abepura walaupun sudah menunjukkan ID Card wartawan. ID Card-nya diinjak-injak, HP-nya dibanting ke jalan raya dan menghapus foto-foto yang ia potret. Lalu dibawa ke Markas Brimob di Kotaraja.
Di Markas Brimob, dia ditempatkan bersama ribuan demonstran yang ditahan di lapangan Brimob. Saya yang saat itu datangi Markas Brimob untuk mempertanyakan alasan wartawan saya ditahan, dicegat di pintu gerbang dan dilarang masuk. Alasannya, dia segera dibebaskan setelah didata. Tetapi di dalam, dia ternyata dipukul oleh beberapa oknum Brimob.
Belakangan, Polda Papua mengeluarkan pernyataan yang bertolak belakang. Menurut Polda, polisi menahan Ardi Bayage karena berada di tengah kerumunan massa dan tidak menggunakan pakaian rapi. Padahal tidak demikian. Jelas Ardi sudah tunjukkan ID Card wartawan. Soal pakaian, saya kira tak masuk akal karena Ardi berpakaian rapi. Bagi saya, apa yang dilakukan Polda Papua bagian dari upaya meneror wartawan Suarapapua.com. Juga upaya menutup informasi tentang Papua. Juga bagian dari upaya menutup akses jurnalis untuk meliput secara bebas.
Kapan Suarapapua.com berdiri dan apakah berbadan hukum?
Media online Suarapapua.com pertama kali diluncurkan pada 10 Desember 2011. Kami berbadan hukum. Situs berita www.Suarapapua.com diterbitkan oleh “Perkumpulan Suara Papua” berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999. Berdasarkan Akta Notaris Oktorianti, SH. M.Kn. Nomor 11, d/a Jalan Raya Sentani 68, depan Korem Padang Bulan, Abepura, Provinsi Papua. Telah mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dengan Nomor: AHU-00239.60.10.2014.
Setelah mengetahui diblokir, apa langkah yang diambil?
Langkah pertama, melalui kuasa hukum saya mengirim surat kepada Dewan Pers tentang pemblokiran Suarapapua.com. Juga kepada Telkom serta Kemenkominfo untuk meminta klarifikasi tentang alasan pemblokiran situs secara sepihak.
Apakah ini pemblokiran pertama yang menimpa Suarapapua.com?
Ya ini pemblokiran secara resmi pertama kali oleh pemerintah Indonesia.
Apa dampak yang sangat dirasakan oleh tim redaksi?
Hal yang paling dirasakan, wartawan kami yang umumnya anak-anak muda Papua berumur 20 tahun-25 tahun, tak bisa lagi menulis. Padahal media ini hadir menjadi wadah membangkitkan semangat menulis. Maklum, orang Papua masih bersahabat dengan tradisi lisan.
Saya rasa pemerintah Indonesia sedang membunuh karakter orang Papua dan tidak menjalankan fungsinya sebagai negara yang mendidik. Pemblokiran ini melawan UU Nomor 40 tahun 1999. Saya anggap upaya membungkam suara rakyat Papua. Dampak lain, Suarapapua.com tidak lagi menyajikan berita kepada orang Papua dan orang di luar Papua, baik nasional dan internasional tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Tanah Papua.
Apakah ada rencana menempuh jalur hukum?
Tentu saja kami akan menempuh jalur hukum. Itu akan dilakukan bersama kuasa hukum setelah ada klarifikasi dari Kemenkominfo dan Telkom.
Saya juga meminta agar pemerintah Indonesia menjelaskan kepada publik, secara khusus kepada rakyat Papua tentang tiga hal. Pertama, kalau pemberitaan kami melanggar UU Pers yang diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999, apa yang kami langgar? Kedua, kalau kami menyebarkan kebencian, radikal, unsur SARA dan pornografi sehingga pantas diblokir, dengan tegas saya meminta pemerintah membuktikan kepada kami dan kepada rakyat Papua.
Ketiga, mengapa beberapa situs yang menyebarkan berita-berita kebencian, provokasi dan mengadu domba rakyat Papua tidak diblokir oleh Kemenkominfo? Ada apa di balik ini. Pemerintah Indonesia harus menjelaskan kepada rakyat Papua, mengapa-situs-situs yang menyebarkan berita-berita provokasi terus diperlihara.
Apakah masih tetap membuat berita pasca pemblokiran?
Saya tetap menulis dan mewartakan berita dengan provider berbeda. Meski saya tahu persis rakyat Papua tak bisa membacanya, karena mayoritas providernya Telkomsel. Saya rasa informasi dari Papua penting untuk banyak orang di luar sana. Pemenuhan kebutuhan informasi yang benar dan akurat adalah tugas kami sebagai pewarta.
Apakah Dewan Pers dan AJI Indonesia melakukan advokasi terhadap persoalan yang dihadapi media di Papua?
Pertanyaan ini menarik. Saya rasa AJI sudah tahu karena sering membuat pernyataan untuk meminta pemerintah membuka keterbukaan informasi di Papua. Dan sejauh ini, AJI mengadvokasi persoalan yang dihadapi media di Papua. Soal pemblokiran Suara Papua, saya juga telah menyampaikan secara pribadi kepada Ketua AJI Indonesia Suwarjono.
Kalau Dewan Pers, peran sebagai lembaga pengawas atau wasit untuk dunia jurnalistik di Indonesia tak terlihat. Banyak media bermunculan dalam setahun terakhir pasca isu Papua Merdeka dan Hak Penentuan Nasib sendiri bagi orang Papua. Ketika rakyat Papua dibingungkan dengan munculnya media-media online, tidak tampak peran Dewan Pers. Saya sebut Dewan Pers hanya diam dan tutup mata.
Dewan Pers ketika menggelar diskusi tentang Papua, yang dihadirkan bukan pekerja media di Papua, tetapi orang-orang di Jakarta. Sehingga tak pernah memberikan manfaat kepada pekerja media di Papua. Mestinya Dewan Pers merangkul pekerja media di Papua. Diskusi atau seminar tentang Papua menjadi ajang memuaskan diri dan tak memberi manfaat apa-apa bagi kami.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Reja Hidayat