tirto.id - Praktik pemblokiran dan penapisan situs sudah dikenal di Indonesia. Awalnya, penapisan dilakukan pemilik warnet untuk menyaring atau memfilter konten ponografi dan judi. Baru kemudian, muncul layanan jasa blokir dan penapisan oleh pihak swasta untuk jaringan yang lebih luas, seperti perkantoran hingga ruang publik.
Pemerintah memiliki regulasi ketika lahir Undang-Undang Informasi, Teknologi dan Elektronik (ITE) yang disahkan pada tahun 2008, di era Menteri Kominfo Tifatul Sembiring. UU ITE kemudian direvisi dan disahkan dalam paripurna DPR pada pada Kamis (27/10/2016).
Melihat perkembangan internet yang pesat, pemerintah sebenarnya mulai memfasilitasi pemblokiran dan penapisan lewat “Trust Positif” pada tahun 2011. Trust Positif merupakan layanan yang bebas digunakan pengguna internet yang membutuhkan saringan terhadap situs negatif. Di dalamnya terdapat daftar situs-situs yang diblokir. Trust Positif merupakan sistem database yang disediakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Pemerintah kemudian mengeluarkan aturan baru untuk mengontrol berbagai situs di internet yakni melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Di dalam peraturan ini juga diatur tentang pemblokiran situs internet berrmuatan negatif agar tidak dapat diakses oleh publik. Juga tentang normalisasi atau upaya untuk mengeluarkan suatu situs internet dari pemblokiran.
Pada era Menteri Rudiantara, tepatnya 31 Maret 2015, lahir tim panel pemblokiran yang disebut Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (FPSIBN). Tugasnya mengawasi dan memonitor berbagai situs. Tim inilah yang memberi masukan apakah sebuah situs dimasukkan ke dalam daftar pemblokiran atau tidak. Persoalannya, FPSBN masa kerjanya habis pada Desember 2015.
“Setelah berakhirnya SK Desember 2015, mekanismenya sudah nggak di panel lagi,” kata Asep Saefullah, anggota Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (FPSIB). Artinya, sejak Januari 2016, pemerintah melalui Kemkominfo melakukan pemblokiran atas permintaan kementerian dan lembaga negara lainnya.
Masih menurut Asep, selama dia bergabung dalam FPSIBN, permintaan pemblokiran dari kementerian dan lembaga negara lainnya memang lebih banyak dibandingkan permintaan masyarakat. Parahnya lagi, permintaan pemblokiran dari instansi, kebanyakan tidak disertai alasan yang rasional.
Misalnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah meminta 15 situs untuk diblokir. “Tetapi tidak ada alasan dalam pemblokiran itu, sehingga tim panel pemblokiran harus mencari lagi persoalannya. Ini yang menyebabkan banyaknya penolakan pemblokiran dari tim panel,” kata Asep.
Kini, mekanisme pemblokiran langsung ditujukan Kemenkominfo. “Kalau sekarang, prosedur pemblokiran sudah beda lagi. Kalau dulu pengaduan dari instansi masuk ke tim panel terlebih dulu. Melihat alasannya dan layak atau tidak untuk diblokir. Kini, pengaduan dari instansi pemerintah tidak lagi melalui tim panel. Mereka langsung meminta Kemkominfo untuk memblokir,” kata Asep.
Hal itu dibenarkan Semuel Abrijani Pangerapan, Dirjen Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kemkominfo. Menurutnya, tak perlu lagi pengaduan dari sebuah instansi dibawa ke tim panel pemblokiran. Sebab, sebuah instansi sudah memiliki wewenang dalam menentukan layak atau tidaknya sebuah situs diblokir. Apalagi setiap instansi sudah memiliki kriteria masing-masing.
“Harusnya nggak perlu (masuk tim panel). Masa lembaga pemerintah memeriksa pemerintah? Mereka sudah punya kategori dan parameternya sendiri. Kami menerima aduan itu dari instansi lalu kita blokir,” kata Semuel kepada tirto.id, di ruang kerjanya, Senin (21/11/2016).
Sammy berkilah bahwa pihaknya sebelum melakukan pemblokiran bakal terlebih dulu melakukan pengecekan ulang. “Tapi kita cek dulu alamatnya atau nomor kontak yang bisa dihubungi. Ya, kalau tidak ada, maka kita blokir. Semua ada dasarnya dalam pemblokiran. Tidak mungkin kami memblokir begitu saja,” ujarnya.
Bahaya Jika Pengadilan Korup
Kemkominfo menyatakan telah melakukan pengecekan ulang sebelum memblokir situs. Namun, menurut pengakuan Arnold Belau, Pemimpin Redaksi situs suarapapua.com, pemblokiran situsnya terjadi begitu saja. Tidak ada penjelasan apapun dari pihak Kemenkominfo. “Suara Papua tidak pernah mendapat pemberitahuan berupa surat, surel maupun telepon dari Kemenkominfo. Saya tahu kalau diblokir oleh pemerintah Indonesia, setelah Kemenkominfo blokir situs suarapapua.com,” kata Arnold.
Damar Juniarto, Koordinator Kawasan Safenet, menjelaskan, pemblokiran situs seharusnya melalui prosedur proses pengadilan. “Dalam mekanisme penetapan pemblokiran, kita meminta ada proses pengadilan. Kalau yang selama ini dijalankan, bekerjanya tidak efektif sehingga pihaknya terus mendorong ke arah positif agar memiliki kekuatan hukum tetap,” katanya.
Sementara itu, menurut Shita Laksmi, anggota Multistakeholder Advisory Group Internet Governance Forum, Perserikatan Bangsa-Bangsa, persoalan yang terjadi terkait pemblokiran sebuah situs lebih disebabkan mekanisme yang tidak terlalu transparan dan akuntabel.
Masih menurut Shita, proses pemblokiran di negara lain memang ada yang dilakukan melalui pengadilan. Tapi hasilnya juga tidak selalu baik karena ada juga pengadilan yang korup. “Kalau pengadilannya korup ya mati juga,” katanya.
Oleh sebab itu, menurut Shita, pemerintah sebaiknya lebih transparan karena pemblokiran memang bisa dilakukan karena terkait rahasia negara atau konten darurat. Misalnya situs terkait permintaan untuk membunuh atau cara detail membuat bom. “Memang perlu diblok langsung karena urusannya krusial,” katanya.
Mekanisme pemblokiran yang ditempuh pemerintah Indonesia harus diperbaiki. “Akuntabel dalam proses pemblokiran kepada pengelola situs, seperti memberi peringatan satu, kedua, lalu diskusi dulu sebelum mengambil keputusan,” katanya.
Jika hal itu dilakukan, diharapkan persoalan pemblokiran bakal menjadi lebih terbuka bagi publik. Di satu sisi menunjukkan pemerintah bertanggung jawab, sementara publik mengetahui apa kesalahan sebuah situs sehingga diblokir. Sementara pihak pengelola situs bisa bertanya dan mendapat jawaban kenapa situsnya dilarang.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti