tirto.id - “Fuck digital. Buy, play, sell, exchange vinyl records.”
Tulisan provokatif itu terpampang di sebuah record store di tengah Kota Tua, Tallin, Estonia. Di dalam toko dengan cat tembok warna oranye itu, berjejer ratusan piringan hitam yang dipilah sesuai genre. Ada jazz, blues, elektronik, rock, hingga yang sedikit nyeleneh di mata orang Indonesia, macam rilisan musisi Uni Soviet hingga Scandinavian jazz.
Ya, vinyl revival, kebangkitan piringan hitam, memang terjadi di banyak tempat di dunia. Forbes menyebut kebangkitan ini bernilai miliaran dolar. Sedangkan Billboard mengatakan bahwa pada 2017 penjualan piringan hitam di Amerika Serikat mencapai titik tertinggi sejak 1991, dengan jumlah sekitar 14,3 juta keping.
Namun Estonia jelas punya aura berbeda. Negara ini disebut-sebut sebagai negara paling digital di dunia. Sejak merdeka dari Uni Soviet pada 1991, Estonia ngebut mengembangkan ekosistem digital. Pada 1997, sebanyak 97 persen sekolah sudah online. Memasuki era Milenium, pertemuan dan rapat di pemerintahan sudah sonder kertas. Sejak 2005, negara beribukota Tallin ini mengenalkan e-voting. Tak heran kalau Wired menyebut Estonia sebagai "The most advanced digital society in the world."
Sekarang, mereka punya sistem bernama e-Estonia, yang mengurusi hajat hidup penting macam kependudukan, keamanan, pajak, perbankan, pendidikan, hingga kesehatan, via online. Layanan ini bisa diakses 24 jam dalam sehari, 365 hari dalam setahun.
“Saat ini hanya pernikahan atau perceraian, dan menjual real estate yang tidak bisa dilakukan online. Lebih tepatnya, belum,” kelakar Tobias J. Koch, kepala Company Engagement e-Estonia.
Karena Estonia yang segala urusannya hampir bisa dilakukan via online, maka rasanya amat paradoks melihat poster bertuliskan fuck digital di pusat wisata Estonia. Tentu saja slogan itu hanya kelakar para music snobbish, walau ternyata di Estonia, segala yang berbentuk fisik memang masih dirayakan, walau memang tak sebesar apa-apa yang digital.
Di Kota Tua, saya bertemu duo pecinta musik usia 40-an, Morris dan Edward, yang punya gairah meluap jika bicara soal musik, terutama piringan hitam. Duo ini mengingatkan saya pada Dick dan Barry, duo penjaga toko piringan hitam di film High Fidelity (2000). Bedanya, Morris dan Edward tidak snob seperti Dick dan Barry.
Dengan sadar, dua orang sahabat ini membuka Tallin Old Town Records, yang masih berada di kawasan Kota Tua. Toko musik ini menempati sebuah bangunan seluas 3,5X6 meter. Ruangan itu diisi banyak peti dan kotak yang berisi piringan hitam. Laiknya toko musik yang menjual rekaman fisik, koleksinya dipilah berdasarkan genre.
Di sini, genre musik rock mendominasi. Ada yang dari era 60-an seperti Beatles, Rolling Stones, The Doors. Dari era 1980-an juga ada. Mulai dari Europe, Bon Jovi, Dokken, sampai Michael Jackson. Yang menarik adalah koleksi yang diletakkan di pojok ruangan: rilisan-rilisan Uni Soviet, lengkap dengan kover bertuliskan abjad Sirilik.
Eddward yang punya darah Rusia ini selalu antusias kalau bicara soal musik Soviet. Saat saya meminta rekomendasinya, Ia selalu bergegas. Memilih satu di antara ratusan koleksinya, lalu memutarkannya. Lalu Ia akan memasang mimik seolah bertanya: gimana, dahsyat kan musik dari negara adidaya zaman dulu?
Namun tak ada yang paling memikatnya selain Alla Pugacheva. Dengan semangat ala tentara Merah yang menghajar habis Nazi, Edward mengisahkan tentang diva Soviet yang sudah merintis karier sejak 1965 ini. Sembari menyodorkan satu album Nyonya Pugacheva, Edward mulai bermonolog tentang perempuan yang dianugerahi Order For Merit to the Fatherland oleh pemerintah Rusia ini.
“She’s very, very, very, very, very, famous in Russia. Enggak ada orang yang enggak kenal Alla Pugacheva, bahkan sampai sekarang,” kata Edward.
Saya mengangguk dengan semangat. Antusiasme memang bisa menular, kawan. Saya meminta Edward memutar piringan hitam Pugacheva, sang diva yang, ujar Edward, sudah menikah lima kali, dan terbaru pada 2011, menikah di usia 62 tahun. “Dia keren banget kan?” kata Edward meminta persetujuan. Saya mengacungkan jempol.
Dari pengeras suara, terdengar suara Pugacheva yang memang tipikal penyanyi untuk kompetisi menyanyi: nyaris tak kenal fals. Suaranya lembut dan lempang. Musiknya cukup lintas genre, dari Balkan pop hingga elektronik. Dengan rentang musik yang luas itu dan tak ada kesusahan baginya beradaptasi, saya bisa mengerti kenapa Pugacheva berjudul Tsarina of Soviet Pop, dan memahami kenapa Edward mengucapkan very hingga lima kali. Pugacheva juga masih aktif menyanyi, termasuk di media sosial. Di Instagram, pengikutnya mencapai 1,5 juta orang.
Dari Toko Musik Hingga Radio
Geliat piringan hitam Estonia tak hanya terjadi di Tallin, tapi juga di Tartu, kota terbesar kedua di Estonia sekaligus kota mahasiswa. Di sini, setidaknya ada tiga toko musik yang menjual album fisik. Yang paling terkenal ada dua, Gramophone Trees Records dan Psuhhoteek. Nama yang pertama lebih inklusif. Mereka banyak menjual album-album rock, metal, dan alternatif. Ada Manic Street Preachers, Franz Ferdinand, The Libertines, Foo Fighters, Motley Crue, hingga yang klasik macam gerombolan Beatles dan Stones. Sedangkan Psuhhoteek fokus ke rekaman langka rilisan Uni Soviet, tentu dengan harga yang agak sedikit lebih mahal.
Pemiliknya, Rob, amat ramah dan santai. Sewaktu saya datang jelang jam tutup, Ia masih membuka pintu lebar-lebar. “Kami harusnya nutup jam 3 sore, tapi karena kamu datang jauh-jauh, jadi santai saja,” katanya.
Di toko musik yang terletak di lantai dua sebuah kawasan hunian ini, tak hanya ada piringan hitam. Namun juga kaset dan CD. Harganya beragam. Untuk kaset dan CD, rata-rata 3 hingga 8 Euro. Sedangkan piringan hitam berkisar dari 8 hingga puluhan Euro, tergantung siapa artis dan albumnya. Untuk album langka, seperti album debut The Libertines pressing pertama, dijual sekitar 30 Euro.
Menurut Rob, penjualan piringan hitam di tokonya berjalan normal. Artinya, ya tidak sepi, tapi tak cukup untuk disebut spektakuler. Sehari-hari, ada saja beberapa orang yang belanja. Entah itu CD, kaset, atau piringan hitam. Sebagai kota mahasiswa, tempatnya juga sering kedatangan mahasiswa baru yang menggali lagi keasyikan mendengarkan piringan hitam.
Di laman Facebook, Gramophone Tree mendapat reputasi yang sempurna: 5 bintang dari 51 review. Rata-rata memuji keramahan Rob, juga betapa beragamnya koleksi di Gramophone Tree. Selain itu, mereka juga kerap memberikan diskon, bahkan piringan hitam gratis bagi mereka yang belanja dalam jumlah banyak.
“This place is cool as shit and I encourage everyone to go there, the owner is pretty rad! There is a stunning collection of great cassette tapes and a bunch of fun vinyl records. I will be a regular from now on!” tulis salah satu pembeli.
Yang masih berada di tataran fisik tidak hanya piringan hitam dan toko musik. Namun juga radio. Saat berkunjung ke Raadio 2, saya cukup terkesima pengarsipan mereka. Di antara poster Lemmy Kilmister dan David Bowie, ada rak besar yang isinya adalah CD. Beberapa adalah kompilasi yang mereka buat. Banyak pula yang berasal dari band lokal.
“Iya, band-band masih banyak kok yang mengirimkan demo CD mereka ke sini, dan kami punya segmen yang memutar band-band independen baru,” ujar Maarja Merivoo-Parro, editor eksekutif Raadio 2.
Raadio 2 adalah radio musik yang memutarkan musik pop dan rock. Target pasarnya adalah anak muda 15-29 tahun. Raadio 2 berada di bawah payung besar Eesti Rahvusringhaaling (ERR), alias Estonian Public Broadcasting yang merupakan saluran penyiaran milik negara. ERR mencakup tiga saluran televisi dan lima radio.
Stasiun radio ini amat jauh dari bayangan saya soal radio negara. Kantornya amat ceria, lengkap dengan perabotan gaya Skandinavia yang warna-warni itu. Selain poster musisi, juga ada rak yang berisi buku-buku biografi para musisi besar. Dari Bowie sampai Springsteen. Program musiknya juga menarik. Dari Estonian Funk Embassy, hingga Metalion, yang dari namanya saja jelas genre apa yang diputar di sana.
Tentu saja sebagai radio publik, Raadio 2 mengutamakan kepentingan publik. Dalam hal ini: tidak melulu mengandalkan rekaman fisik. Sebagai sumber utama siaran, mereka mengandalkan layanan streaming, juga koleksi digital mereka. Yang tetap asyik, selain tetap menerima CD demo dari band-band baru, merekajuga menyimpan segala arsip dari album fisik yang mereka punya.
“Yang dipajang memang cuma segini, yang lain masih ada di ruangan berbeda. Isinya sudah didigitalkan,” kata Maarja.
Mencari musik di Estonia memang menarik. Ia adalah perpaduan menarik antara nilai lama dan nilai baru. Di tengah semua yang serba digital, para penjaja musik masih tetap menyediakan pilihan analog yang menyimpan sisa-sisa nostalgia sekaligus superioritas kualitas rekaman. Sedangkan Raadio 2 tampak sebagai jalan tengah yang kompromis, dan mungkin yang terbaik. Mereka masih memberikan ruang bagi album fisik, sekaligus mengandalkan koleksi digital yang tentu saja ringkas dan praktis.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti