tirto.id - Menurut survei dari IDN Research Institute dan Populix pada 2022, sebanyak 86 persen Gen Z di Indonesia mengakses media sosial.
Dalam satu hari, mereka bisa menghabiskan lebih dari tiga jam hanya untuk menyusuri ruang demi ruang media sosial.
Ya, penggunaan media sosial memang telah mengakar dalam hidup kita—sampai-sampai menimbulkan kesan bahwa satu hari belum terasa tuntas apabila kita belum membuat update, atau sekadar mengecek, akun media sosial.
Dengan realitas itu, muncul pertanyaan menggelitik.
Sejauh mana kelekatan kita dengan media sosial dapat memengaruhi relasi antarmanusia, termasuk hubungan yang berunsur romantis?
Psikolog berlisensi Rachel Needle, Psy.D dalam tulisannya di Psychology Today menuturkan bahwa menjamurnya pemakaian media sosial di berbagai belahan dunia telah mengubah lanskap interaksi manusia.
Kehadiran medsos membuka peluang lebar-lebar bagi siapa pun untuk senantiasa terhubung.
Urgensinya semakin nyata dan terasa semenjak pandemi COVID-19—momen yang memaksa kita untuk menjaga jarak secara fisik.
Selain membentuk pandangan baru dan mendekatkan orang-orang, platform media sosial turut mengajak kita berpikir ulang tentang makna relasi dan bagaimana hubungan itu tercipta.
Contoh sederhananya begini.
Meskipun terpisah jarak, kini pasangan dapat tetap terhubung dengan bertukar foto, telepon, atau video—fitur yang disediakan oleh nyaris semua layanan media sosial.
Rasa kebersamaan yang dipupuk dengan berbagai cara di atas semakin diperkuat oleh fakta bahwa segala prosesnya dapat terjadi secara live—langsung.
Kendati demikian, sisi terang medsos perlu juga direspons dengan hati-hati.
Menurut penelitian oleh James Roberts dan Meredith David, pemakaian medsos terkadang dapat diasosiasikan secara negatif dengan rasa keterhubungan seseorang, dan akhirnya, kesejahteraan dirinya.
Hasil survei Pew Research Center pada 2020 silam menyatakan sebanyak 34 persen responden usia 18-29 tahun merasa cemburu atau menjadi tidak yakin tentang relasinya gara-gara cara pasangan mereka berinteraksi dengan pengguna lain di media sosial.
Sebagai contoh, sebuah “like” atau komentar dari mantan pacar dapat disalahartikan sehingga membuat hubungan dengan kekasih yang sekarang menjadi canggung.
Atau, ketika pasangan berbagi foto atau terlibat percakapan dengan lawan jenis via medsos. Batasan antara interaksi yang tak berbahaya dan potensi perselingkuhan pun menjadi kabur.
Melalui media sosial, pasangan juga terus menerus dipertontonkan dengan gambaran relasi yang “ideal”.
Hal tersebut, menurut pakar hubungan dan konselor bersertifikat Jonathan Bennett, dapat merasa terdistraksi oleh ponselnya sendiri pada hubungan yang dianggap tidak memenuhi standar gambaran.
Kendati demikian, hal tersebut nampaknya tetap ampuh untuk membuat pasangan mana pun merasa "rumput tetangga lebih hijau" dan sulit merasa puas dengan situasi yang dijalani sekarang.
"Media sosial dapat memberikan inspirasi dalam banyak hal, tetapi juga berpotensi menambah ekspektasi dan tekanan untuk membuat hubunganmu terlihat dengan cara tertentu," kata Bennett.
"Tekanan ini dapat menyebabkan kekecewaan dan ketidakpuasan di kemudian hari, yang berdampak negatif pada hubungan," tambahnya.
Tantangan penggunaan media sosial dalam relasi juga bisa terjadi pada cara pasangan mengalami dan menegosiasikan konflik serta mengekspresikan kasih sayang.
Kembali melansir tulisan Needle di Psychology Today, menyelesaikan konflik dalam suatu hubungan perlu melibatkan empati dan kemampuan untuk memahami dengan tepat hal-hal apa saja yang akan dikomunikasikan dengan pasangan.
Di satu sisi, pemakaian media sosial, terutama melalui fitur komunikasi via teks atau chat, otomatis telah mengurangi frekuensi atau jumlah interaksi tatap muka.
Bukan tidak mungkin, dampaknya, semakin banyak orang mengalami kesulitan untuk memahami isyarat nonverbal, nuansa, dan aspek komunikasi yang lebih halus lainnya.

Menurut survei Pew Research Center tahun 2019, sebanyak 51 persen responden melaporkan bahwa pasangan mereka sering, atau kadang-kadang, merasa terdistraksi oleh ponselnya sendiri saat berusaha mengobrol dengan mereka.
Selain itu, sebanyak 4 dari 10 orang responden mengaku merasa terganggu dengan lamanya waktu yang dihabiskan oleh pasangannya untuk mengakses ponselnya.
Padahal, berempati dan mendengarkan secara aktif termasuk keterampilan penting untuk membangun hubungan sehat sekaligus memupuk keintiman.
Spencer Christensen dalam tesisnya tahun 2018 mendapati bahwa semakin lama seseorang berselancar di media sosial, maka kemungkinan semakin besar dampak negatif pada kesejahteraan emosionalnya secara keseluruhan dan penurunan kualitas dalam hubungan-hubungannya dengan orang lain.
Di balik segala potensi dampak merugikan pemakaian medsos untuk kesehatan relasi lota, tidak perlu khawatir berlebihan, ya!
Akui, dan sadari, bahwa dampak negatif tersebut nyata adanya.
Setelah mampu mengenali dan mengidentifikasi itu semua, harapannya tentu saja, kita menjadi lebih luwes saat dihadapkan dengan tantangan berelasi di era digital. Kualitas hubungan dengan pasangan dan orang-orang terkasih pun akan tetap sehat dan kuat. Semoga!
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































