tirto.id - Pada era digital seperti sekarang ini, kehadiran internet dan media sosial kerap diapresiasi sekaligus disalahkan atas pengaruhnya terhadap kehidupan asmara seseorang. Diapresiasi, karena kedua hal tersebut mempermudah seseorang terkoneksi dan berkomunikasi dengan pasangan atau calon pasangan yang tinggal jauh darinya. Mereka yang memiliki kesamaan minat bisa dengan mudah bertemu di ruang-ruang digital, seperti kisah beberapa pasangan yang dimuat dalam situs The Knot ini.
Pada 2011, seorang perempuan bernama Robin Coe menemukan akun Instagram pasangan yang dinikahinya tahun 2013, Matthew Fleming. Robin tertarik dengan foto-foto perjalanan bersepeda yang diunggah Matt. Dari ketertarikan itu, sejoli ini memulai percakapan, tidak hanya lewat Instagram, tetapi juga via e-mail dan Skype. Kisah cinta mereka sering diunggah di Instagram, bahkan post terkait pertunangan Robin dan Matt sempat mendapat lebih dari 10.000 likes dari para pengikut.
“Bila bukan karena Instagram, kami tidak akan terhubung; ini [media sosial] membuka kesempatan bagi saya untuk melihat petualangan orang-orang dan mendekatkan mereka dengan saya,” ungkap Robin.
Berbeda dengan Robin dan Matt, pasangan Jamie Light dan Aaron Snyder berjumpa setelah mereka mencuit soal tim bisbol kesukaan mereka, LA Dodgers dengan tagar #Dodgers. Setelah menjalani relasi selama dua tahun sejak 2009, Jamie dan Aaron menikah. Co-founder Twitter, Jack Dorsey, bahkan sempat mencuit memberi ucapan selamat, “May you always follow each other”.
Setali tiga uang dengan Jamie dan Aaron, Michelle Barna dan Joanna Stern juga bertemu di Twitter. Mereka berkomunikasi dan membangun relasi setelah menemukan bahwa keduanya sama-sama menggemari serial TV The L Word. Joanna bahkan sempat melamar Michelle via Twitter dengan alasan, “Saya tahu, saya mau melamar via Twitter karena media sosial ini punya simbol kuat [bagi saya].”
Pengaruh internet dan media sosial bagi sebagian pasangan diafirmasi pula oleh temuan survei Pew Research Center terhadap 2.252 warga AS usia 18 tahun ke atas. Pada tahun 2014, mereka mencatat, 10% pengguna internet yang menemukan pasangannya mengatakan bahwa internet membawa dampak besar bagi relasinya, sementara 17% lainnya mengaku dampaknya tidak begitu besar.
Dari kelompok responden ini, 74% di antaranya menyebut dampak yang ditimbulkan internet terhadap relasi mereka bersifat positif. Lebih lanjut, menurut 41% responden berusia 18-29 tahun yang tengah menjalani relasi serius, percakapan online dan pertukaran pesan teks yang mereka lakukan telah membuatnya semakin dekat dengan pasangan.
Setahun berselang, institusi yang sama membuat survei tentang relasi romantis remaja AS usia 13-17 yang dipengaruhi media sosial. Mereka menyatakan, sekalipun para remaja tidak memulai relasinya dari dunia digital, platform-platform yang ada di sana dipandang sebagai sarana yang penting untuk mengekspresikan ketertarikan romantis.
Sebanyak 50% responden remaja mengakui bahwa pertemanan yang mereka lakukan di Facebook bertujuan untuk menunjukkan ketertarikan romantis. 47% dari mereka mengekspresikan ketertarikannya lewat like, komentar, atau interaksi lainnya via media sosial. Godaan kepada orang yang disukai juga diekspresikan oleh responden remaja lewat berbagi sesuatu yang lucu atau menarik (46%) atau pesan menggoda (31%). Ada pula yang membuatkan daftar lagu untuk gebetan, mengirimkan gambar seksi diri mereka, atau video lainnya.
Sisi Gelap Media Sosial dalam Konteks Berelasi
Menurut psikiater dan penulis dari New York, Marlynn Wei M.D., J.D. dalam artikel bertajuk “How To Keep Social Media From Complicating Your Relationship” di Psychology Today, kehadiran media sosial bisa saja menimbulkan efek buruk bagi seseorang. Pasalnya, hal ini kerap digunakan untuk mencari informasi terkait pasangan dan mengawasinya.
Kegiatan mengawasi pasangan dapat mendatangkan stres ketika seseorang berusaha menginterpretasi informasi yang diperolehnya dari media sosial. Semakin tinggi tingkat ketidakpastian dalam hubungan serta level ketakutan akan masa depan relasi, dan semakin rapuh ikatan emosional dengan pasangan, semakin mungkin ia merasakan tekanan saat mendapati informasi-informasi di media sosial mengenai pasangannya.
Mengutip studi-studi terdahulu, Wei menyatakan masih ada perdebatan soal efek penggunaan media sosial. Ada yang menganggap, intensitas tinggi pengaksesan Facebook berhubungan dengan kecemburuan. Ada pula penelitian yang menemukan bahwa penggunaan Twitter secara aktif berimbas pada konflik terkait media sosial tersebut, termasuk peningkatan ketidaksetiaan, putus hubungan, dan perceraian.
Kendati demikian, menurut Wei, sulit untuk mengidentifikasi apakah kandasnya relasi benar-benar disebabkan oleh penggunaan media sosial, kondisi relasi pasangan yang memang telah rapuh akibat komunikasi yang buruk, atau kombinasi keduanya.
Terkait pola komunikasi, media sosial dianggap berperan dalam menggeser cara orang-orang berinteraksi dengan pasangannya. Dalam situs The Digital Agedari University of New South Wales dinyatakan, aktivitas di media sosial mengurangi intensitas berinteraksi dengan orang-orang di kehidupan nyata.
Cukup sering ditemukan, pasangan berlibur ke suatu tempat, lantas lebih sibuk mengabadikan gambar dan memublikasikannya di media sosial untuk mendulang jempol dan komentar. Alih-alih menikmati waktu berkualitas dengan pasangan, seseorang malah berfokus di media sosial untuk berinteraksi dengan orang-orang di luar pasangannya. Situasi relasi bisa kian memburuk bila pasangan kecanduan mengakses media sosial.
Banyaknya publikasi dan interaksi yang telah terjadi di media sosial dikatakan pula menjadi penyebab kurangnya bahan perbincangan di ranah kehidupan nyata karena sebagian besar hal tentang seseorang telah diketahui dari media sosial.
Apa efek berikutnya yang timbul dari intensitas tinggi interaksi di media sosial?
Ketika intensitas berinteraksi secara offline menurun, kadar empati seseorang pun turut tereduksi. Selain itu, media sosial yang memungkinkan seseorang mengekspresikan like atau emoji-emoji yang mengekspresikan apresiasi juga menjauhkannya dari reaksi asli terhadap suatu kejadian atau situasi. Tidak semua orang yang memberi jempol atau memberi sticker tertawa benar-benar suka atau merasa terhibur oleh sesuatu yang diunggah orang lain di media sosial.
Efek negatif dari media sosial terhadap relasi juga terlihat dari temuan Pew Research Center tahun 2014 tadi. Sebanyak 25% responden mengatakan, mereka kerap mendapati pasangan terdistraksi oleh ponselnya saat mereka sedang bersama, 8% responden pernah mengalami pertengkaran dengan pasangan terkait waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas online, dan 4% responden pernah marah akibat mendapati sesuatu mengenai aktivitas pasangannya di dunia virtual.
Kemudian, dari studi yang dimuat di jurnal Computers in Human Behavior (2014) dikatakan, kemudahan untuk mencari informasi soal orang lain di media sosial seperti Facebook juga membuka peluang untuk berselingkuh hingga akhirnya bercerai dengan pasangannya. Ditambah lagi, dengan adanya fitur undangan acara di Facebook, seseorang bisa mengetahui apakah orang yang sedang didekatinya akan datang ke acara tertentu atau tidak.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani