tirto.id - Sorotan terhadap kinerja kepolisian terus berlanjut. Setelah ramai dengan polemik “polisi artis” maupun kasus dugaan kekerasan, kali ini kepolisian disorot karena tidak menangani laporan kasus dengan alasan si korban belum vaksin COVID-19.
Kasus tersebut terjadi di Polresta Banda Aceh beberapa waktu lalu. Kala itu, seorang korban dugaan pemerkosaan berinisial SA (19) berusaha melaporkan dugaan upaya pemerkosaan yang dilakukan oleh pria dengan tinggi 170 cm di Gampong Garot, Darul Imarah, Aceh Besar, Minggu (17/10/2021) sore.
LBH Banda Aceh sebagai pendamping keluarga korban dan kepala dusun berusaha melapor ke Polresta Banda Aceh. Sayangnya, pihak Polresta Banda Aceh tidak mengizinkan pelapor untuk masuk kantor kepolisian karena belum divaksin COVID-19.
“Dikarenakan korban dan ibunya tidak dapat menunjukkan sertifikat vaksin,” kata Muhammad Qodrat, Kepala Operasional YLBHI-LBH Banda Aceh saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (20/10/2021).
Petugas Polresta Banda Aceh sempat membolehkan SA dan pihak keluarga setelah salah satu tim pendamping menunjukkan sertifikat vaksin. Namun mereka kembali ditolak oleh petugas yang berjaga di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polresta Banda Aceh karena belum divaksin.
Qodrat menyayangkan langkah para polisi tersebut padahal korban tidak bisa divaksin dan memiliki surat keterangan tidak bisa divaksin. Akan tetapi, surat tersebut tidak dibawa saat pelaporan.
Mendengar penjelasan korban, pihak kepolisian tetap bersikeras bahwa korban harus menunjukkan sertifikat vaksin atau surat keterangan tidak dapat divaksin bila ingin laporannya diterima.
“Petugas SPKT Polresta Banda Aceh juga sempat menyatakan, 'Ini tugas kami, kami berhak memaksa untuk wajib melakukan vaksin. Karena ini adalah program dari pemerintah yang dilakukan oleh pihak kepolisian'," tutur Qodrat menirukan petugas kepolisian.
Qodrat mengaku, polisi juga bersikap dingin kepada SA ketika menceritakan pengalaman dugaan pemerkosaan.
“Pihak kepolisian meresponsnya dengan mengatakan, 'Mana bisa kamu katakan itu percobaan pemerkosaan, memangnya ada dipegang alat kelaminmu atau dipegang daerah sensitif, misalnya diremas-remas payudaranya? Kalau tidak ya berarti bukan, ini penganiayaan namanya'," kata Qodrat menirukan.
Akibatnya, korban mengalami trauma. Terlebih lagi, lanjut dia, beberapa anggota polisi datang ke rumah korban untuk meminta maaf dan melakukan pelaporan ulang. Akan tetapi, mereka sempat meminta gawai korban dan ibunya untuk diperiksa.
"Saat ini korban masih merasa keberatan untuk diajak ke kantor polisi guna membuat laporan ulang," kata Qodrat.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Aceh Komisaris Besar Polisi Winardy membantah laporan SA ditolak. Ia menegaskan, polisi hanya ingin agar warga mendapatkan sertifikat vaksin sehingga mereka bisa melapor.
“Hanya masyarakat yang belum vaksin diarahkan untuk vaksin dulu setelah dapat sertifikat vaksin dan mengunduh aplikasi PeduliLindungi, maka masyarakat dapat melaporkan kembali," kata Winardy kepada wartawan, Rabu (20/10/2021).
Melanggar HAM dan Harusnya Laporan Diproses
Staf Divisi Hukum KontraS Adelitas Kasih menilai semestinya polisi harus menerima laporan terduga kasus pemerkosaan itu. Ia mengingatkan, penolakan laporan memicu dampak negatif karena merasa tidak terlindungi.
“Tentu seharusnya pihak kepolisian mengambil sikap untuk memproses kasus tersebut dan/atau menerima laporannya. Karena kembali pada poin keamanan korban adalah hal yang penting untuk diutamakan. Karena jika langsung ditolak demikian tentu kian membuat korban berada dalam ‘ancaman’," kata Adelita kepada reporter Tirto, Kamis (21/10/2021).
Menurut Adelita, pelaporan yang mewajibkan korban untuk divaksin adalah hal yang tidak bisa diterima. Hal tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM karena SA tidak mendapatkan hak untuk dilindungi.
“Jelas melanggar HAM karena hak korban untuk mendapat keadilan akan penegakan hukum diabaikan. Lalu kasus perkosaan adalah kejahatan yang sifatnya mendesak harus langsung ditindaklanjuti,” kata Adelita.
Adelita mengingatkan, pelaporan seharusnya bisa diselesaikan tanpa harus ke lokasi. Polisi, kata Adelita, seharusnya sudah membuat mitigasi dengan membuat upaya pelaporan daring. Adelita melihat polisi seharusnya lebih adaptif sehingga tidak menolak laporan.
“Polisi harusnya lebih kreatif dan tidak serta merta menolak pelaporan dengan kondisi belum vaksin dan lain sebagainya. Karena harusnya ada cara-cara baru dalam beradaptasi dengan situasi saat ini," kata Adelita.
Sertifikat Vaksin Tak Boleh jadi Penghambat
Peneliti Elsam Alia Yofira juga mengritik langkah kepolisian yang menolak laporan SA. Menurut Alia, masalah sertifikat vaksin tidak boleh menjadi penghambat bagi seseorang mendapat pelayanan, apalagi bagi korban pemerkosaan.
“Sertifikat vaksin bukan merupakan prasyarat laporan ke SPKT Polresta Banda Aceh. Seharusnya SPKT Polresta Banda Aceh tidak boleh menolak laporan korban. Kalau permasalahannya protokol kesehatan, sudah menjadi kewajiban SPKT untuk memberikan alternatif cara melaporkan melalui mekanisme daring secepatnya," kata Alia kepada reporter Tirto.
Alia mengingatkan, pelaporan daring maupun pelaporan langsung harus diproses tanpa upaya menyalahkan kembali korban (atau re-victim blaming). Dengan kata lain, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polresta Banda Aceh harus proaktif dengan memfasilitasi visum sebagai bukti penting dugaan pemerkosaan tersebut.
Ia pun mengkritik langkah polisi yang langsung memeriksa gawai korban dan ibu korban. Menurut Alia, polisi telah melanggar privasi. Ia mengingatkan ada Perkapolri yang mengatur spesifik soal penggeledahan gawai diikuti dengan perlindungan atas privasi.
“Terkait pemeriksaan gawai HP ibu dan korban, ini pelanggaran privasi. Pasal 32 Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 secara khusus telah mengatur perihal perlunya memastikan perlindungan hak atas privasi dalam tindakan penggeledahan terhadap orang dan tempat/rumah. gak bisa asal periksa gitu," tegas Alia.
Oleh karena itu, Alia mendorong agar Polresta Banda Aceh menerima laporan SA. Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa negara telah salah dengan mewajibkan warga untuk divaksin demi mendapatkan pelayanan publik.
“Sebenarnya kewajiban pemerintah untuk memberikan vaksin ya, ketika akses vaksin belum merata (untuk yang belum bisa divaksin pun harusnya diberikan pengecualian khusus), maka seharusnya tidak bisa menjadikan sertifikat vaksin sebagai prasyarat pelayanan publik," kata Alia.
Untuk menyelesaikan masalah seperti SA, ia mendorong agar pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekerasan Seksual (RUU PKS atau kini RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Kemudian, ia mendorong ada regulasi lanjutan dalam tata kelola hak privasi di masa depan.
“Pengaturan lebih rigid terkait perlindungan data pribadi dan hak atas privasi untuk kebutuhan penegakan hukum juga penting di sini," kata Alia.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz