Menuju konten utama

Menjalani 'The New Normal', Cara Berdamai dengan Virus Corona?

Masyarakat mulai menjalani pola hidup 'new normal' dan diminta berdamai dengan virus Corona hingga vaksin ditemukan.

Menjalani 'The New Normal', Cara Berdamai dengan Virus Corona?
Sejumlah pengendara menggunakan masker saaat berkendara di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (14/4/2020). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/hp.

tirto.id - “Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan COVID-19 untuk beberapa waktu ke depan.”

Pernyataan itu disampaikan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, dalam video yang diunggah Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Kamis (7/5/2020).

Padahal sekitar sebulan sebelumnya, tepatnya pada Kamis, 26 Maret 2020, dalam pertemuan virtual KTT G20 di Bogor, Presiden Jokowi mengajak negara-negara anggota G20 untuk ‘perang’ melawan virus Corona.

Sehari setelahnya, pernyataan Jokowi itu diluruskan oleh Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin. Bey mengatakan, maksud berdamai dengan Corona sebagaimana dikatakan Jokowi itu adalah menyesuaikan dengan kehidupan, yang artinya masyarakat harus tetap bisa produktif di tengah pandemi COVID-19.

Penyesuaian yang dimaksud Bey di antaranya selalu mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak dari kerumunan selama melakukan aktivitas.

"COVID memang belum ada anti-virusnya, tapi kita bisa mencegah. Artinya jangan menyerah, hidup berdamai dalam penyesuaian kehidupan. Ke sananya yang disebut the new normal tatanan kehidupan baru," katanya melalui pesan singkat kepada wartawan.

Sejatinya masyarakat mulai terbiasa dalam pola hidup normal yang baru—atau kerap disebut ‘new normal’—sejak kasus positif COVID-19 pertama diumumkan di Indonesia pada 2 Maret 2020.

Di tempat-tempat publik kini selalu tersedia wastafel pencuci tangan ataupun hand sanitizer. Masyarakat yang memasuki gedung harus melalui screening suhu tubuh, beberapa harus disemprot disinfektan.

Bagi pekerja di bidang jasa pelayanan seperti mini market hingga bank, new normal berarti melayani pelanggan dengan penghalang plastik sebagai penerapan physical distancing—jaga jarak fisik. Dan tentunya penggunaan masker menjadi pemandangan lumrah di ruang publik, mulai dari pengguna kendaraan bermotor, pekerja kantoran, pedagang kaki lima hingga pemulung.

New normal lain yang terlihat adalah meningkatnya pesan-antar makanan ke rumah demi menghindari kerumunan di rumah makan atau restoran. Banyak restoran hanya melayani jasa take away atau pesan antar.

Sementara di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan klinik, kini dokter maupun perawat melayani pasien dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap.

New normal juga membentuk kebiasaan baru saat pulang ke rumah. Yakni langsung mencuci tangan dan berganti pakaian.

Tak ada cium pipi kanan-kiri saat bertemu rekan atau teman serta tak ada pelukan hangat saat bertemu sanak keluarga. Bagi pria muslim, new normal bisa berarti tidak ada lagi salat jumat di masjid. Atau bagi umat Kristen dan Katolik tak ada lagi misa ke gereja dan harus berpuas diri beribadah secara virtual.

Bagi Adelline Marcelinne (28), new normal yang ia jalani adalah bekerja dari rumah (work from home) sejak 16 Maret. Setiap harinya ia bangun sekitar pukul 10 pagi dan langsung membuka laptop untuk bekerja hingga sore hari.

Sebagai seorang video reporter yang bekerja untuk kanal media digital, ia terbiasa mewawancarai narasumber dengan bertemu langsung sembari mengambil gambar. Kini wawancara hanya bisa dilakukan melalui aplikasi Zoom. Selain itu jam kerjanya menjadi tak menentu. Sejak pemberlakuan WFH oleh kantornya, ia kerap bekerja hingga pukul 10 atau 11 malam.

Adelline hanya keluar rumah saat ingin membeli kebutuhan sehari-hari ke mini market. “Atau kalau bosan ya jalan-jalan aja keliling pakai mobil tapi enggak turun.” Tidak ada lagi nongkrong di kafe selepas pulang kerja atau pun keliling mal usai tanggal gajian.

“New normal” yang dialami Fildza Izzati juga tak jauh beda. Rutinitasnya kini seputar bangun tidur, bekerja dari rumah dan memasak. Namun pola tidurnya juga ikut berubah. Ia mengaku baru bisa tidur pukul 3 pagi kemudian bangun pada pukul 10 atau 11 pagi. Saat Ramadan, ia bahkan baru tidur setelah subuh.

Selain pola tidur, ia dan suaminya juga berubah dalam mengonsumsi makanan. Lantaran sudah bosan memasak di rumah, kini ia lebih sering membeli makanan siap santap lewat teman-temannya yang membuka jasa pre-order makanan. Selama pandemi, tren bisnis makanan memang meningkat cukup pesat seiring banyaknya PHK atau perumahan karyawan akibat COVID-19.

“Aku bosan dan capek masak makananku sendiri karena rasanya gitu-gitu aja,” keluh Fildza menertawakan kemampuan masaknya.

Namun ia enggan menganggap keadaan ini sebagai new normal. “Aku masih percaya ini semua (situasi pandemi ini) bisa diatasi dan pasti akan berakhir.”

Tak Jelasnya Batas Jam Kerja

Studi Kapersky, sebuah perusahaan global cybersecurity mengungkapkan “normal baru” yang dihadapi para karyawan saat ini mulai berdampak pada keseimbangan kehidupan pekerjaan mereka.

Hampir sepertiga (31%) karyawan mengatakan mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja daripada sebelumnya. Namun, 46% mengatakan mereka menghabiskan jumlah waktu lebih banyak untuk kegiatan pribadi.

Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa semakin sulit bagi para karyawan untuk memisahkan kegiatan pekerjaan dan kehidupan pribadi, terutama dalam hal TI.

Temuan yang cukup mengkhawatirkan bagi bisnis, 51% karyawan mengakui telah mulai menonton lebih banyak konten dewasa, pada perangkat yang mereka gunakan untuk pekerjaan, sejak bekerja dari rumah.

Selain itu, 55% karyawan mengatakan mereka membaca berita lebih banyak dibandingkan saat sebelum memulai bekerja dari rumah. Meskipun hal ini sangat wajar karena setiap orang tetap ingin mendapatkan informasi terbaru tentang perkembangan virus Corona.

Berdamai dengan Corona demi Ekonomi?

Pola hidup ‘new normal’ ini diamplifikasi dalam apa yang disebut pemerintah sebagai Pemulihan Ekonomi Indonesia secara Bertahap yang terdiri dari lima fase.

Dalam rapat kabinet paripurna yang digelar secara daring, Rabu (6/5/2020), Jokowi menekankan bahwa negara yang menjadi pemenang adalah negara yang mampu menangani COVID-19 secepat-cepatnya. Untuk itulah, Jokowi ingin pada Mei kurva kasus positif COVID-19 turun dan memasuki Juli sudah dalam kondisi ringan.

"Target kami di Bulan Mei ini harus betul-betul tercapai, sesuai target yang kami berikan yaitu kurvanya sudah harus turun dan masuk pada posisi sedang di bulan Juni, di bulan Juli harus masuk pada posisi ringan dengan cara apapun," kata Jokowi.

Fase pertama pada 1 Juni, industri dan jasa B2B dapat beroperasi. Namun toko, pasar dan mal belum boleh beroperasi sepenuhnya kecuali toko penjual masker dan fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan tetap beroperasi penuh dan kegiatan sehari-hari di luar ruangan masih dilarang. Hal ini dengan tetap menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19.

Fase kedua pada 8 Juni, pemerintah menargetkan pasar, toko dan mal sudah boleh beroperasi tanpa terkecuali namun tetap menerapkan social distancing. Sementara usaha dengan kontak fisik seperti salon dan spa belum boleh beroperasi.

Fase ketiga pada 15 Juni pemerintah memproyeksikan usaha sejenis salon dan spa yang menggunakan kontak fisik diperbolehkan beroperasi. Selain itu museum dan usaha pertunjukkan sudah diperbolehkan namun tetap menjaga jarak fisik. Sekolah juga sudah mulai dibuka kembali dengan sistem shift.

Fase 4 pada 6 Juli restoran, kafe dan bar diproyeksikan sudah mulai beroperasi kembali, memperbolehkan kegiatan di luar lebih dari 10 orang, melakukan perjalanan ke luar kota dengan pembatasan penerbangan, dan kegiatan ibadah di ruang publik.

Fase kelima diproyeksikan pada 20 dan 27 Juli, pemerintah menargetkan seluruh kegiatan ekonomi dan sosial dalam skala besar dibuka kembali. Keseluruh fase itu dilakukan, imbau pemerintah, dengan syarat tetap menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19.

New Normal dengan Relaksasi PSBB

Dalam siaran langsung di akun instagramnya, Sabtu (2/5/2020), Mahfud memang menyebut Pemerintah tengah memikirkan adanya relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hal ini sebagai tanggapan atas keluhan masyarakat yang tidak dapat melakukan aktivitas dengan bebas saat pemberlakuan PSBB.

"Kami tahu bahwa ada keluhan sekarang ini sulit keluar, sulit berbelanja dan sebagainya, sulit mencari nafkah dan sebagainya. Kami sedang memikirkan apa yang disebut relaksasi PSBB," kata Mahfud.

Adanya relaksasi atau pelonggaran PSBB tersebut, bertujuan agar masyarakat bisa memutar kembali roda perekonomian, namun tetap dalam koridor protokol kesehatan.

"Ekonomi tidak boleh macet, tidak boleh mati. Oleh sebab itu Presiden mengatakan ekonomi harus tetap bergerak, tapi tetap di dalam kerangka protokol kesehatan itu. Itulah yang disebut relaksasi," kata dia.

Namun pemerintah perlu ingat, relaksasi PSBB atau pelonggaran lockdown harus memenuhi prasyarat yang dirilis oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam COVID-19 Strategy Update pada 14 April 2020.

Pertama, penyebaran SARS-CoV-2 harus sudah dapat dikendalikan. Fasilitas kesehatan juga dapat menangani jumlah kasus positif. Kedua, sistem kesehatan negara tersebut mampu melakukan deteksi, tes, isolasi, merawat setiap kasus, dan pelacakan setiap kontak pasien positif.

Ketiga, risiko penularan kasus di tempat rentan atau “hot spot” seperti panti jompo, sudah bisa diminimalisir. Keempat, sekolah, perkantoran sudah menerapkan upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Kelima, risiko klaster baru dari kasus-kasus impor sudah dapat diprediksi dan terjamin dapat dikelola sehingga tidak menimbulkan lonjakan kasus baru di kemudian hari.

Keenam, masyarakat sudah teredukasi dan terinformasi dengan baik akan bahaya pandemi COVID-19 dan sepenuhnya terjamin oleh jaring pengaman sosial untuk beradaptasi dengan pola hidup “new normal”.

Jika melihat data penambahan kasus tiap harinya, kurva kasus positif di Indonesia masih cukup fluktuatif dan sama sekali tak bisa disebut melandai.

Sementara itu, kapasitas kesehatan Indonesia juga masih rendah. Berdasarkan data rasio tempat tidur terhadap 1.000 penduduk di setiap negara dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) per 5 April 2020, Indonesia menempati peringkat 41 dari 42 negara.

Rasio ketersediaan ranjang per 1.000 penduduk Indonesia sebesar 1—angka ini telah memenuhi standar WHO. Artinya, dari 1.000 penduduk di Indonesia tersedia 1 tempat tidur. Peringkat Indonesia hanya sedikit lebih baik dari India yang menempati posisi buntut dengan rasio sebesar 0,5.

Hingga 4 Mei 2020, pemerintah telah melakukan uji PCR terhadap 86.061 orang dengan 74.474 hasil negatif. Angka tersebut meningkat sebanyak 3.144 dibandingkan hari sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini, jumlah tes yang telah dilakukan tersebut masih tampak kecil.

Rasio tes COVID-19 per 1 juta penduduk di Indonesia memang menunjukkan tren yang meningkat. Namun jika dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, Worldometer mencatat Indonesia masih ketinggalan dari Vietnam hingga Malaysia.

Di kawasan ASEAN, Vietnam menjadi negara dengan jumlah tes terbanyak saat ini. Hingga 29 April, Vietnam telah melakukan tes terhadap 261.004 orang. Jika dirasio, tes telah dilakukan terhadap 2.681 orang per 1 juta penduduk. Vietnam saat ini dianggap sebagai salah satu negara yang sukses berperang melawan COVID-19.

Selain jumlah tes yang tinggi, kasus baru harian di negara tersebut 'hampir' tidak terlihat dalam dua minggu terakhir. Tercatat hanya ada dua kasus pada 24 April dan satu kasus pada 3 Mei 2020.

Sementara kondisi di Indonesia diperparah dengan bandelnya masyarakat yang masih nekat melakukan mudik kendati sudah dilarang pemerintah. Artinya, Indonesia setidaknya belum memenuhi tiga prasyarat yang dianjurkan WHO untuk melonggarkan PSBB.

Presiden Jokowi boleh saja bilang masyarakat harus berdamai dan hidup berdampingan dengan Corona hingga vaksin ditemukan. Namun bukan berarti pemerintah bisa lepas tangan dalam menjamin penghidupan masyarakat selama masa pandemi ini.

Baca juga artikel terkait PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Gilang Ramadhan