tirto.id - Pernyataan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, soal ukuran celana jeans yang menandakan obesitas dan berpotensi “lebih cepat menghadap Allah” belakangan menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat.
Dalam satu kesempatan, ia menyebutkan sejumlah tanda seseorang telah mengalami obesitas. Menurutnya, salah satu tanda itu dapat dilihat dari ukuran celana jeans. Budi menuturkan, apabila laki-laki memiliki ukuran celana jeans di atas ukuran 32-33, maka sudah pasti masuk ke dalam kategori obesitas.
“Pokoknya laki-laki kalau beli celana jeans [ukurannya] masih di atas 32-33, ukurannya berapa celana jeans? 34-33. Sudah pasti obesitas. Itu menghadap Allahnya lebih cepat dibandingkan yang celana jeansnya [ukuran] 32,” ujar Budi kepada para wartawan di Rusun Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, Rabu (14/5/2025).
Budi menegaskan, dirinya tidak sedang melakukan body shaming, melainkan menyampaikan fakta dengan apa adanya. Pria yang meraih gelar sarjana lulusan fisika nuklir dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut menyebut banyak orang Indonesia yang kerap menyangkal bahwa dirinya berada dalam keadaan tidak sehat. Namun, dalam waktu lima tahun, banyak dari mereka justru menderita penyakit stroke.
“Orang-orang suka bilang, saya enggak apa-apa. Darah tinggi, gula, masih sehat. Bapak Ibu, lima tahun lagi pasti kena stroke. Kita paling banyak meninggal kena stroke sama jantung,” kata Budi.

Menurutnya, kalau orang-orang lebih peduli dengan kondisi tubuhnya dan melakukan pengecekan kesehatan, maka penyakit stroke dan jantung bisa saja dicegah bertahun-tahun sebelumnya.
“Stroke sama jantung itu penyakit yang lima tahun, sepuluh tahun, harusnya udah ketahuan lima tahun sebelumnya. Kalau ketahuan, Bapak enggak bakal kena stroke sama jantung, wafat usia 99,” ucap Budi.
Dalam kesempatan terpisah, Budi Gunadi Sadikin meminta agar masyarakat lebih peduli terhadap kondisi tubuh dan kesehatannya. Setidaknya, warga mesti rajin mengecek ukuran lingkar perut. Pasalnya, menurut Menkes, orang dengan lingkar perut besar memiliki risiko dua kali lipat lebih besar terkena hipertensi.
“Jadi, ternyata emang orang yang lingkar perutnya besar itu punya risiko hipertensi bisa dua kali lipat,” kata Budi dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (14/5/2025).
Ukuran Celana Jeans Indikasi Obesitas?
Menukil penjelasan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) obesitas merupakan kondisi ketidakseimbangan asupan energi (energi intake) dengan energi yang digunakan (energi expenditure) yang ditandai dengan adanya penumpukan lemak yang abnormal dalam tubuh seseorang.
Obesitas dapat memicu terjadinya penyakit-penyakit kronis di antaranya adalah serangan jantung koroner, stroke, diabetes mellitus (kencing manis), dan darah tinggi (hipertensi). Selain itu, penderita obesitas juga berisiko terjadinya penyumbatan pernapasan ketika sedang tidur. Bahkan, dapat memicu terjadinya kanker kelenjar prostat bagi laki-laki serta kanker payudara dan leher rahim bagi perempuan.
Data Riskesdas Kemenkes mencatat persentase obesitas terus meningkat dalam satu dekade terakhir, yakni dari 8 persen pada 2007 menjadi 21,8 persen pada 2018. Tren peningkatan ini berlanjut hingga tahun 2023, dengan prevalensi obesitas dewasa mencapai 23,4 persen.
Beberapa penelitian menilai ukuran lingkar pinggang (waist circumference/WC) dinilai menjadi salah satu indikator penting dalam menilai risiko kesehatan terkait obesitas. Evelyn, dkk (2018) dalam penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Kesehatan Diponegoro menyebut penimbunan lemak berlebihan di daerah abdomen merupakan tanda obesitas sentral. Lingkar pinggang merupakan indikator untuk melihat kejadian obesitas sentral.
Penelitian lain yang dilakukan S Czernichow et al (2011) menunjukkan bahwa pengukuran lingkar pinggang, terutama yang mengukur akumulasi lemak visceral di area perut, lebih berkorelasi dengan risiko penyakit jantung, diabetes tipe 2, dan hipertensi dibandingkan dengan Indeks Massa Tubuh (BMI).
Menurut pedoman dari National Institutes of Health (NIH), pria dengan lingkar pinggang lebih dari 102 cm (sekitar 40 inci) dianggap memiliki risiko tinggi terhadap penyakit terkait obesitas. Namun, penelitian lain yang dilakukan di Asia menunjukkan bahwa batasan ini mungkin terlalu tinggi untuk populasi Asia. Misalnya, studi yang dilakukan di Malaysia menemukan bahwa lingkar pinggang lebih dari 83 cm pada pria dapat menunjukkan risiko tinggi terhadap faktor-faktor risiko kardiometabolik seperti dislipidemia, hipertensi, dan diabetes.
Studi berjudul "A Pooled Analysis of Waist Circumference and Mortality in 650,000 Adults" yang dipublikasikan Mayo Clinic (2014) menilai pengaruh independen dari lingkar pinggang terhadap kematian di seluruh rentang indeks massa tubuh (IMT), serta memperkirakan penurunan harapan hidup yang berkaitan dengan lingkar pinggang yang lebih besar.
Dengan menggabungkan data dari 11 studi kohort prospektif yang melibatkan 650.386 orang dewasa berusia 20 hingga 83 tahun, hasil penelitian ini mengungkap bahwa pria dengan lingkar pinggang 43 inci (sekitar 110 cm) atau lebih memiliki risiko kematian 50 persen lebih tinggi dibandingkan pria dengan lingkar pinggang kurang dari 35 inci (sekitar 89 cm). Hal ini setara dengan penurunan harapan hidup sekitar tiga tahun setelah usia 40 tahun.
Lalu, benarkah ukuran celana jeans bisa dijadikan indikator orang mengalami obesitas?
Ukuran Celana Jeans Tidak Bisa Dijadikan Indikator Utama Obesitas
Ketua Departemen Luar Negeri di Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dr Iqbal Mochtar, menjelaskan bahwa ukuran lingkar pinggang atau ukuran celana jeans memang bisa memberikan petunjuk tentang status obesitas, tapi tidak bisa dijadikan satu-satunya penentu.
Iqbal menjelaskan, ukuran celana jeans khususnya seperti yang dicontohkan oleh Menkes hanya bisa menjadi petunjuk kasar untuk menentukan status obesitas, namun hal ini tidak selalu akurat. Hal ini disebabkan, ukuran celana tidak memiliki ketetapan yang sama, artinya tergantung merk dan model yang dikeluarkan.
Dari sisi kedokteran, Iqbal menjelaskan untuk menilai obesitas secara menyeluruh, sebaiknya menggunakan kombinasi antara pengukuran Indeks Masa Tubuh/BMI (berat badan relatif terhadap tinggi), persentase lemak tubuh dan distribusi lemak (visceral vs subkutan)
“Juga tidak mencerminkan komposisi tubuh (lemak vs otot). Juga tidak standar antar negara atau brand. Jadi, ukuran celana bisa jadi petunjuk kasar, tapi kurang valid secara klinis dibandingkan lingkar pinggang atau BMI,” ujarnya saat dihubungi Tirto pada Senin (19/5/2025).
Iqbal yang juga menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur Tengah menyayangkan pernyataan Menkes Budi Gunadi Sadikin yang menyebut apabila laki-laki memiliki ukuran celana jeans di atas ukuran 32-33, maka sudah pasti masuk ke dalam kategori obesitas dan berpotensi “lebih cepat menghadap Allah”.
“Beliau ini selalu mengeluarkan narasi yang kontroversial, asimetris, tidak berbasis data, dan tidak objektif. Pernyataan-pernyataannya sering kali menimbulkan kebingungan, memperkeruh diskusi publik, dan tidak mencerminkan tanggung jawab intelektual yang seharusnya dijaga oleh seorang figur publik,” ujarnya menambahkan.
Iqbal menjelaskan ketika berbicara mengenai faktor risiko memang obesitas itu menjadi faktor risiko. Semakin tinggi tingkat BMI seseorang maka risiko untuk mengalami gangguan-gangguan penyakit seperti penyakit jantung lebih besar. Tetapi melakukan simplifikasi narasi dengan menyebutkan ukuran pinggang atau ukuran jeans saja sebagai indikator menjadi tidak relevan.
“Alih-alih berkontribusi pada dialog yang sehat dan berbasis bukti, beliau justru sering menyebarkan pandangan yang bias dan menyesatkan. Narasi-narasi semacam ini bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya, karena dapat menyesatkan masyarakat dan melemahkan upaya pencegahan serta intervensi kesehatan berbasis bukti,” katanya menambahkan.
Ia menambahkan bahwa hal yang menyebabkan terjadinya obesitas adalah adanya intake yang melebihi daripada pengeluaran. Singkatnya, pemasukan kalori itu lebih tinggi daripada pengeluaran kalori. Maka untuk mencegah obesitas bisa dilakukan dengan dua hal, pertama dengan cara lifestyle modification dan yang kedua dengan obat-obatan.
“Jadi misalnya lifestyle modification itu ya kita meminta pasien itu untuk mengurangi konsumsi kalori yang selalu dimakan setiap hari itu harus dikurangi karena itu akan berfungsi sebagai masukan tubuh. Kemudian yang kedua harus dilakukan upaya untuk mengeluarkan energi.Ya dalam hal ini perlu melakukan olahraga atau exercise,” ujarnya
Jika upaya lifestyle modification ini belum berhasil, upaya kedua yang dilakukan adalah dengan cara memberikan obat-obatan.
“Pada orang-orang tertentu katakanlah obesitasnya itu sudah terlalu ekstrim itu bisa dilakukan operasi. Jadi operasi pemotongan lambung yang biasa kita sebut sebagai gastric sleeve atau gastric banding itu bisa dilakukan untuk menurunkan berat badan. Dan memang efeknya itu signifikan berat badannya bisa turun sampai 20-30 kilo dalam 1-2 bulan,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































