tirto.id - Lingkaran sosial terkadang memaksa kita menampilkan bentuk tubuh ideal sebagai representasi gaya hidup sehat. Sayangnya, tak semua mampu mencapai standar ini.
Beberapa orang merasa, meskipun sudah diet ketat, berat badannya berhenti di angka tertentu, dan sulit turun lagi meski belum berada di angka ideal. Mereka berdalih ada faktor lain yang menghambat usaha menuju sehat, yakni faktor genetik.
Kalian pasti familier dengan guyonan “genetik berat badan”. Orang yang punya gen kurus tak akan pernah punya masalah dengan berat badan meski makan sebanyak apa pun. Sebaliknya, bagi si pemilik gen gemuk, minum air putih pun bisa menggeser jarum timbangan ke arah kanan.
Tapi, benarkah obesitas dipengaruhi faktor keturunan? Atau itu hanya pembelaan orang-orang yang malas menjaga porsi makan mereka?
Center of Disease Control (CDC) Amerika Serikat mengatakan bahwa memang ada keterkaitan antara obesitas dengan gen, tapi tidak banyak. Mereka mengutip asosiasi genom yang sejak 2006 telah menemukan lebih dari 50 gen terkait dengan obesitas tapi sebagian besar memberikan efek yang sangat kecil.
Di antara gen-gen tersebut, gen yang paling sering terlibat adalah MC4R.
“Perubahan pada gen MC4R menjadi penyebab obesitas pada sebagian kecil orang dengan obesitas (< 5 persen) di berbagai kelompok etnis. Anak-anak yang mendapat gen ini akan merasa sangat lapar dan jadi makan berlebihan secara terus menerus (hiperfagia),” begitu tulis CDC.
Bagaimana persisnya mekanisme gen memengaruhi obesitas?
Jaringan lemak (adipose), pankreas, dan saluran pencernaan memberi sinyal ke otak saat seseorang merasa lapar atau kenyang. Kemudian otak meneruskan sinyal tersebut menjadi instruksi ke tubuh untuk makan lebih banyak dan mengurangi energi saat lapar atau berhenti makan saat kenyang.
Hormon seperti leptin, insulin, ghrelin, dan beberapa molekul lain bertugas untuk mentransmisikan sinyal ke otak, sementara gen adalah penyusun dasar sinyal tersebut. Karena itu, perubahan sekecil apa pun pada gen obesitas dapat memengaruhi kuat lemahnya sinyal yang muncul.
Intinya, obesitas terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih banyak dibanding kebutuhan untuk menjalankan fungsi metabolisme dan fisik.
Nah, kamu pernah mendengar soal “efek yoyo”?
Berat badan diibaratkan seperti gerakan turun naik yoyo. Menariknya, yang dimaksud efek yoyo itu sendiri bukan sekadar naik turunnya berat badan.
Efek yoyo adalah kenaikan berat badan setelah turun dengan cepat. Efek yoyo biasanya terjadi pada para pelaku diet yang berhasil menurunkan berat badan secara drastis kemudian berhenti di angka tertentu meski berat badan belum ideal. Efek yoyo juga bisa terjadi meski berat badan ideal telah tercapai.
Sebuah studi dari American Psychological Association meninjau keberhasilan diet dan peluang mendapat efek yoyo dari 31 percobaan. Hasilnya, setelah dua tahun melakukan diet, sepertiga sampai dua per tiga sampel mengalami penambahan berat badan lebih banyak dibanding berat yang berhasil turunkan.
Sepertiga yang lain beratnya bertambah setara dengan berat yang pernah diturunkan. Sisanya berhasil mempertahankan penurunan berat badan.
Tentu ada banyak faktor mengapa usaha-usaha menurunkan berat badan tidak berhasil. Misalnya karena terlalu bosan menjalankannya, mengalami masalah emosional, atau bahkan faktor lain seperti genetik.
Ketika segala upaya non-operatif mentok, ada solusi terakhir yang dapat ditempuh: bedah bariatrik. Prinsip bariatrik adalah memodifikasi beberapa bagian saluran pencernaan sehingga dapat lebih membatasi jumlah makanan yang masuk. Modifikasi tersebut juga mendorong perubahan hormon sehingga mencegah lapar.
“Efek yoyo tidak akan terjadi pascabedah bariatrik. Apabila pasien menggunakan bariatrik untuk membentuk pola hidup yang baik, maka mereka akan bertransformasi menuju hidup yang baru,” ungkap Peter Ian Limas, Dokter Spesialis Bedah Subspesialis Bedah Digestif RS Pondok Indah.
Jejak prosedur ini dapat ditelusuri mulai dekade 1960-an. Sejak saat itu puluhan teknik bedah bariatrik diciptakan. Namun, sampai sekarang, hanya beberapa yang bertahan, di antaranya sleeve gastrectomy, roux en Y gastric bypass, single anastomosis duodeno-ileal bypass (SADI), dan endoscopic sleeve gastroplasty.
Di antara beberapa metode tersebut, sleeve gastrectomy-lah yang paling sederhana dengan tingkat komplikasi lebih rendah. Sebanyak 80 persen bagian perut diangkat sehingga ukurannya menyerupai pisang. Namun, menurut Peter, jika terjadi komplikasi akan lebih sulit diatasi.
Teknik yang lebih kuat, terutama untuk menangani diabetes, adalah roux en Y gastric bypass. Ini adalah prosedur penurunan berat badan yang paling umum dilakukan di Amerika Serikat.
Teknik SADI merupakan salah satu teknik paling kuat untuk mengatasi super obese (BMI di atas 50). Inti dari teknik ini adalah mengecilkan lambung dan mengurangi setengah usus halus. Tujuannya agar penyerapan nutrisi juga ikut berkurang.
Terakhir, endoscopic sleeve gastroplasty, adalah penciutan lambung dengan cara endoskopi (melalui mulut) dan tidak menyisakan luka sayatan. Teknik non-bedah ini punya kelebihan meminimalkan risiko kebocoran lambung dan prosedurnya tergolong cepat, hanya satu jam. Namun biaya yang dibutuhkan lebih mahal karena menggunakan alat sekali pakai.
Rata-rata pasien akan mengalami penurunan sebanyak 70 persen dari total kelebihan berat badan dalam waktu enam bulan sampai satu tahun pasca-bariatrik. Nantinya tim dokter akan mengawasi pola hidup mereka selama minimal satu tahun. Selama itu mereka harus mengikuti arahan dokter spesialis gizi klinik.
Yang perlu diingat, bedah bariatrik bukan suatu perjalanan liburan. Pasca-bariatrik, pasien tak bisa bersantai-santai di depan televisi sambil makan camilan. Ketika gaya hidup memburuk, maka risiko kembali ke obesitas dan mengidap penyakit komorbid bisa saja terjadi.
* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 25 Juli 2022. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.
Editor: Rio Apinino & Yemima Lintang