Menuju konten utama

Bedah Bariatrik sebagai Alternatif Lain Melawan Obesitas

Beda dari sedot lemak, bariatrik mengeliminasi akar masalah beragam penyakit akibat obesitas.

Bedah Bariatrik sebagai Alternatif Lain Melawan Obesitas
Header Diajeng Bedah Bariatrik. tirto.id/Quita

tirto.id - Pernahkah kamu menjajal beragam diet, obat pelangsing, sampai bedah kosmetik demi mencapai berat badan ideal, tetapi berakhir gagal?

Kamu tak sendirian, selebritas Melly Goeslaw yang sudah lama bergelut melawan obesitas pernah berulangkali gagal menurunkan berat badan.

Dua dekade terakhir, jumlah angka obesitas di Indonesia meningkat drastis. Lantaran kenaikan jumlah angka obesitas sulit ditekan, para ahli kesehatan mulai mencari cara untuk menganulir beragam penyakit akibat obesitas, termasuk diabetes.

Salah satu cara yang direkomendasikan adalah bedah bariatrik. Bedah ini juga bisa digunakan untuk orang dengan berat badan mendekati normal sekalipun.

“Entah sudah berapa juta obat dan suntikan masuk ke badanku, tapi semua berujung pada kegagalan,” terang Melly dalam diskusi bertajuk “Melawan Obesitas dengan Operasi Bariatrik” beberapa waktu lalu.

Melly mulai gundah taktala berat badannya selalu naik lebih banyak usai diet. Kehamilan anak pertama membuat berat badannya bertambah 33 kg dari angka 48 kg, menjadi 81 kg. Setelah menjaga pola makan setelah melahirkan, berat badannya sempat berada di angka 53 kg. Tapi berat badannya kembali naik saat kehamilan kedua.

Akibat efek yoyo—kenaikan berat badan setelah turun dengan cepat—ia selalu dapat “laba” dari proses diet.

“Aku juga ada diabetes, kadar gula darahku sampai ke angka 210. Lutut juga sakit karena menahan beban, perut juga tidak enak,” kata Melly. Kadar gula darah puasa dianggap normal bila kurang dari 140 mg/dL.

Singkat cerita, dia mendapat saran dari dokter sekaligus penyanyi Tompi untuk melakukan bariatrik guna mengeliminasi obesitas dan komorbid diabetes. Maka, Juni 2022, Melly memutuskan mengangkat 85 persen bagian lambungnya.

“Jangan sampai ending hidupku jadi konyol, akhirnya aku memilih dibius selama 3 jam dan bangun dengan hidup baru.”

Header Diajeng Bedah Bariatrik

Header Diajeng Bedah Bariatrik. foto/IStockphoto

Belum genap empat bulan setelah operasi bariatrik, berat badan Melly sudah berada di angka 64 kg. Tak cuma itu, kadar gula darahnya kini terkendali—ada di angka 99 mg/dL. Kebiasaan buruk seperti merokok dan begadang pun hilang secara ajaib. Dia pasti tidur tepat waktu pada pukul 10 malam.

Melly hanya bisa makan dengan porsi 1 sendok. “Nafsu makan tetap ada, tapi tidak seheboh dulu. Sekarang ada remnya karena lambungku harus berbagi ruang dengan makanan lain.”

Melihat jawaban Melly, kamu pasti menduga tubuh jadi terasa lemas karena hanya mendapat sedikit asupan. Ternyata, dia justru merasa lebih bugar, bahkan suaranya terasa lebih kuat saat menyanyi.

“Nyanyi jadi bisa pecicilan, loncat pun nggak ngos-ngosan. Bariatrik benar-benar membuatku jadi sehat.”

Bariatrik Bukan Sedot Lemak

Prinsip prosedur bariatrik adalah membatasi jumlah makanan yang ditampung lambung dan menyebabkan perubahan hormon sehingga mencegah rasa lapar dan menurunkan berat badan.

Sejak dekade 60-an, sudah puluhan teknik bedah bariatrik diciptakan, tapi sampai sekarang hanya beberapa yang bertahan. Di antaranya, Sleeve gastrektomi, Roux en Y gastric bypass, Single anastomosis duodenoileal bypass (SADI), dan Endoscopic sleeve gastroplasty.

Sleeve gastrektomi merupakan teknik paling sederhana dengan tingkat komplikasi lebih rendah. Teknik inilah yang digunakan oleh Melly.

“Sesudah prosedur rasa lapar akan hilang, makan 2-3 sendok sudah kenyang, kalau dipaksakan, muntah. Nah, porsi tersebut harus diisi dengan protein karena kalori bisa didapat dari lemak tubuh. Jadi, makan sedikit tapi lebih bergizi,” papar Peter Ian Limas, Dokter Spesialis Bedah Subspesialis Bedah Digestif RS Pondok Indah.

Sebagai gambaran, rata-rata pasien akan mengalami penurunan berat badan sebanyak 70 persen dari kelebihan berat badannya, dalam waktu 6 bulan-1 tahun setelah melakukan bariatrik.

Nantinya tim dokter akan mengawasi pola hidup pasien selama minimal satu tahun. Selama itu mereka harus mengikuti arahan dokter spesialis gizi klinik.

Bariatrik berbeda dengan sedot lemak alias liposunction.

Prosedur bariatrik berfokus untuk mengurangi risiko kesehatan akibat obesitas dengan menurunkan berat badan, sementara sedot lemak bertujuan membentuk tubuh dengan mendistribusikan lemak di daerah tertentu.

Jadi, bariatrik mengatasi akar masalah, sedangkan bedah kosmetik memperbaiki penampilan luar saja, kondisi klinis tidak ada perbaikan.

“Makanya di luar negeri orang dengan berat badan hampir normal tetap dianjurkan bariatrik apabila punya jumlah insulin banyak dan tidak teratur gula darahnya,” lanjut Peter.

Header Diajeng Bedah Bariatrik

Header Diajeng Bedah Bariatrik. foto/Istockphoto

Di Indonesia, bariatrik dianjurkan untuk orang dengan indeks massa tubuh (IMT) di atas 35 tanpa komorbid, atau IMT di atas 30 dengan komorbid diabetes atau hipertensi, atau IMT di atas 27,5 namun gagal menurunkan berat badan meski sudah diet sehat dan olahraga.

Kata Peter, komorbid diabetes tak serta merta hilang setelah bariatrik, tapi jadi terkontrol. Bariatrik turut mengubah hormon dalam tubuh manusia. Prosedur ini juga mengurangi risiko penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, stroke, hingga kanker.

Singkatnya, menolong orang dengan berat badan berlebih supaya punya harapan hidup lebih panjang, sebab obesitas mengurangi umur hidup sampai lebih kurang 10 tahun.

Namun bariatrik bukan suatu perjalanan liburan. Pasien tak bisa santai menikmati cemilan tanpa kontrol.

Ketika gaya hidup memburuk, risiko obesitas dan penyakit komorbid bisa kembali mengintai.

Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait BEDAH BARIATRIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nuran Wibisono & Yemima Lintang

Artikel Terkait