Menuju konten utama

Hubungan HIV dengan Berat Badan, Bisa Jadi Penyebab Obesitas?

HIV kerap kali dikaitkan dengan kondisi obesitas yang dialami penderitanya. Lantas, apa hubungan HIV dengan berat badan?

Hubungan HIV dengan Berat Badan, Bisa Jadi Penyebab Obesitas?
Ilustrasi kepedulian terhadap HIV/AIDS. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Jika tidak segera ditangani, HIV dapat berkembang menjadi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).

Dilansir Web MD, peningkatan dan penurunan berat badan merupakan hal yang umum terjadi pada penderita HIV. Hal ini terjadi karena berbagai alasan, termasuk menurunnya nafsu makan. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang dengan HIV untuk tetap sehat, termasuk menjaga berat badan ideal.

Untuk mencapai berat badan yang sehat dan ideal, perlu dipahami terlebih dahulu hubungan HIV dengan berat badan. Hal ini akan membantu mereka merencanakan pola makan yang sesuai serta memastikan tubuh mendapatkan nutrisi cukup untuk melawan infeksi dan menjaga kesehatan.

Apa Hubungan HIV dengan Berat Badan?

Telah banyak artikel atau penelitian yang membahas hubungan HIV dengan berat badan. Lantas, apakah HIV membuat tidak nafsu makan?

Dalam artikel “Managing Your Weight During HIV Treatment” (2023) oleh Stephanie Watson di Web MD, HIV bisa merusak nafsu makan. Hal ini erat kaitannya dengan gejala seperti sariawan dan mual yang membuat penderita kesulitan makan.

Oleh karena itu, penurunan berat badan merupakan masalah besar bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Terkadang, orang bisa kehilangan begitu banyak berat badan sehingga bisa menyebabkan seseorang menjadi kurus kering.

Akan tetapi, saat ini, pengobatan HIV telah mengurangi risiko penurunan berat badan yang drastis. Pengobatan antiretroviral (ART) dapat menjaga virus tetap terkendali dan mencegah infeksi.

Namun, efek samping setelah memulai pengobatan tersebut adalah dapat membuat berat badan meningkat, terutama di bagian perut. Hal ini karena beberapa obat HIV, seperti inhibitor integrase dan tenofovir alafenamide, memiliki efek samping berupa peningkatan berat badan.

Tercatat sekitar satu dari enam orang mengalami peningkatan berat badan setidaknya 10 persen dalam dua tahun setelah memulai terapi ART. Jika makanan yang dikonsumsi tinggi kalori dan lemak, serta tidak cukup berolahraga, makan berat badan bisa semakin meningkat.

Apakah HIV Menyebabkan Obesitas?

Dalam penelitian berjudul "Obesity and Weight Gain in Persons with HIV" (2020) oleh Samuel S. Bailin, dkk., disebutkan, HIV tidak menyebabkan obesitas secara langsung. Namun, Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) berisiko lebih tinggi mengalami kelebihan berat badan dan obesitas daripada populasi umum.

Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk efek samping dari terapi ART yang dilakukan untuk mengobati HIV. Selain itu, perubahan dalam pola makan, gaya hidup, serta faktor-faktor sosial dan ekonomi, turut meningkatkan risiko obesitas.

Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa beberapa obat ART telah terbukti menyebabkan peningkatan berat badan alias obesitas pada beberapa orang dengan HIV. Selain itu, minoritas dan individu dengan status sosial ekonomi rendah cenderung berisiko lebih tinggi mengalami obesitas.

Dengan demikian, meskipun tidak langsung menyebabkan obesitas, kondisi tersebut dapat menjadi masalah kesehatan yang signifikan bagi orang dengan HIV. Pasalnya, peningkatan obesitas disertai dengan peningkatan beban penyakit metabolik termasuk resistensi insulin, gangguan neurokognitif, dan penyakit hati. Dalam hal ini, dampak pada penyakit kardiovaskular kurang jelas.

Oleh karena itu, penting untuk memahami dampak ART dan HIV terhadap pembentukan lemak serta fungsi metabolisme jaringan adiposa. Hal itu akan mengarah pada intervensi terapi yang mencegah dan menangani komplikasi metabolik pada ODHA.

Apa Ciri-Ciri Penderita HIV?

Meskipun terdapat hubungan HIV dengan berat badan, obesitas bukan gejala utama HIV, melainkan efek tidak langsung dari terapi ART.

Pada dasarnya, ciri-ciri penderita HIV terkait dengan penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh. Namun, gejala tersebut tidak selalu menunjukkan kepastian terinfeksi HIV.

Indikasi adanya infeksi HIV bisa terlihat dari penyakit yang sering kambuh dan sulit diatasi, atau perilaku yang meningkatkan risiko tertular virus.

Menurut informasi yang dikutip dari laman web resmi Kemensos, tahapan klinis HIV menurut WHO dibagi menjadi empat stadium. Berikut ciri-ciri penderita HIV berdasarkan tingkat stadiumnya.

1. Stadium pertama

Stadium pertama ditandai dengan pembesaran kelenjar limfa tanpa gejala yang kentara.

2. Stadium kedua

Saat memasuki stadium kedua, berat badan ODHA dapat menurun dan menjadi lebih kurus. Hal ini juga diikuti dengan masalah seperti infeksi saluran pernapasan, herpes zoster, ulkus mulut, ruam kulit, dan infeksi jamur pada kuku.

3. Stadium ketiga

Pada stadium ketiga, ciri-ciri penderita HIV mencakup penurunan berat badan, diare kronis lebih dari satu bulan, demam yang terus-menerus, serta penyakit-penyakit seperti tuberkulosis paru, kandidiasis, dan anemia.

4. Stadium keempat

Stadium keempat merupakan tahapan paling lanjut, ditandai dengan munculnya wasting syndrome, toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, herpes simpleks, sarkoma Kaposi, tuberkulosis di luar paru-paru, meningitis kriptokokus, ensefalopati HIV, dan lainnya.

Baca juga artikel terkait HIV atau tulisan lainnya dari Umi Zuhriyah

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Umi Zuhriyah
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin