Menuju konten utama

Mengkaji Penurunan PPh Badan 20 Persen, Untung atau Buntung?

Penurunan PPh badan berpotensi mengurangi kapasitas pemerintah dalam membiayai program-program kesejahteraan sosial.

Mengkaji Penurunan PPh Badan 20 Persen, Untung atau Buntung?
Ilustrasi Pajak. foto/Istockphoto

tirto.id - Tim transisi pemerintahan baru Presiden RITerpilih, Prabowo Subianto, tengah mengkaji penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 22 persen menjadi 20 persen. Rencana penurunan ini dilandasi oleh keinginan pemerintahan baru untuk meringankan beban masyarakat dan dunia usaha sekaligus upaya mendorong penerimaan negara.

Ini belum spesifik, masih keinginan. Tapi, kami memang menginginkan suatu saat bisa menurunkan PPh badan,” kata Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, dalam kegiatan Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, dikutip Antara, Rabu (9/11/2024).

Drajad mengatakan bahwa rencana penurunan PPh badan itu sejalan dengan keinginan pemerintah baru untuk meningkatkan rasio penerimaan menjadi 23 persen. Toh, kata dia, tarif pajak yang lebih besar selama ini tidak serta merta mendongkrak penerimaan negara. Sebab, yang terjadi justru bisa sebaliknya.

Sama seperti kalau kita jualan barang. Orang berpikir kalau harga lebih tinggi, kita dapat uang lebih banyak. Padahal, bisa saja harganya makin tinggi, orang tidak mau beli. Akhirnya, jeblok penerimaan kita. Sama dengan itu,” kata dia.

Secara sederhana, penurunan tarif PPh badan diasumsikan akan menekan penghindaran pajak sehingga mampu mengoptimalkan penerimaan negera. Asumsi itumemang cukup berdasar.

Salah satu contoh akan hal itu tampak dalam studi Mukti Eka Handayani dan Nurul Aisyah Rachmawatiyang berjudul “Dampak Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Badan terhadap Tax Avoidancedengan Kompetensi Audit sebagai Variabel Moderasi” (2022, PDF).

Handayani dan Rachmawati dalam studinya mendapati bahwa semakin rendah tarif pajak badan, semakin rendah pula beban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan rendah, dan hal itu turut memperkecil kecenderungan perusahaan melakukan penghindaran pajak.

Studi serupa yang dilakukan oleh Oktavianie (2019) juga menunjukkan bahwa penurunan tarif pajak badan berpengaruh positif terhadap tax avoidance. Artinya, penurunan tarif pajak badan membuat kecenderungan perusahaan melakukan tax avoidance berkurang.

Tax avoidance sendiri adalah upaya penghindaran pajak secara legal (dengan memanfaatkan kelemahan peraturan perpajakan) untuk meminimalkan beban pajak.

Kami akan menutup kebocoran-kebocoran dengan tidak menambah tarif pajak. Tarif pajak 22 persen hendaknya kita turunkan jadi 20 persen,” ujar Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, dalam kesempatan terpisah.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menilai bahwa kecenderungan tarif PPh badan di banyak negara itu memang akan menurun di masa-masa mendatang. Khusus di Indonesia, penurunan tarif PPh badan pun sudah sempat diwacanakan pada 2019.

Hal itu diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.

UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut memuat ketentuan bahwa PPh badan yang berlaku pada awal 2020 diturunkan, dari semula 25 persen menjadi 22 persen, mulai Juli 2020 hingga 2021. Lalu, tarif PPh badan akan kembali diturunkan menjadi 20 persen pada 2022.

Namun, kebijakan ini batal diterapkan dengan disahkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Rapat Paripurna DPR RI pada awal Oktober 2021 lalu. Dalam Pasal 17 Ayat 1 UU HPP ditentukan bahwa tarif PPh wajib pajak (WP) dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar 22 persen dan mulai berlaku pada tahun pajak 2022.

Oleh karena itulah, Prianto menyebut bahwa logika penurunan tarif pajak badan tersebut dapat dipahami untuk mengurangi beban pajak WP badan dan mengurangi penghindaran pajak.

"Dengan demikian, diharapkan akan semakin banyak WP badan yang membayar tarif 20 persen. Pada akhirnya, penerimaan pajak secara agregat tetap akan meningkat," kata Prianto kepada Tirto, Jumat (11/10/2024).

Dengan kata lain, lanjut Prianto, beban PPh badan di setiap WP badan akan turun, tapi jumlah WP badan meningkat. Secara agregat, total penerimaan PPh badan sejatinya tetap akan meningkat.

Selain rencana penyesuaian tarif pajak PPh badan, tim ekonomi Prabowo juga menjadikan Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai salah satu upaya mendongkrak penerimaan negara.

BPN dirancang untuk menjalankan tiga bentuk transformasi, yakni transformasi kelembagaan, teknologi, dan kultur. Tim Prabowo optimistis pembentukan BPN dapat memacu akselerasi tiga transformasi itu.

Justru Ganggu Penerimaan

Bekebalikan dengan itu semua, peneliti Institute for Demagraphic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, menilai penyesuaian PPh badan justru bisa berdampak mengurangi penerimaan negara. Ia berpotensi mengurangi kapasitas pemerintah dalam membiayai program-program kesejahteraan sosial yang sangat bergantung pada anggaran publik.

Sebagai contoh, anggaran untuk program bantuan langsung tunai (BLT) atau subsidi kesehatan melalui BPJS sangat bergantung pada ketersediaan dana dari pajak. Pengurangan pendapatan negara ini, bisa memicu pengetatan anggaran di sektor-sektor vital yang menyentuh masyarakat miskin dan berpotensi memperburuk ketimpangan akses terhadap layanan dasar.

Kami juga melihat wacana ini akan menciptakan ketimpangan ekonomi yang lebih dalam karena korporasi yang diuntungkan mungkin tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan karyawan atau masyarakat,” jelas Anwar kepada Tirto, Jumat (11/10/2024).

Anwar juga mempertanyakan asumsi trickle-down economics di balik kebijakan itu yang mengatakan bahwa pengurangan pajak pada sektor korporasi akan mengalirkan keuntungan ke seluruh lapisan masyarakat.

Pasalnya, pada kenyataan keuntunganpengurangan pajak sering diakumulasi oleh pemilik modal dan pemegang saham. Sementara itu, pekerja dan masyarakat miskin tetap tidak mendapatkan manfaat yang signifikan.

"Sangatlah ironi ketika korporasi besar justru menikmati pengurangan tarif pajak, sementara masyarakat kelas menengah yang sering dianggap sebagai tulang punggung perekonomian dibebani oleh berbagai pajak baru," jelas Anwar lagi.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan bahwa tarif PPh badan sebesar 22 persen sebenarnya sudah kompetitif. Oleh karenanya, dalam UU HPP, penurunan tarif PPh badan menjadi 20 persen dibatalkan.

"Dahulu, kita memang terpaksa menurunkan tarif PPh badan dikarenakan adanya fenomena race-to-the-bottom.Namun, kini sudah tidak relevan lagi," kata Fajry kepada Tirto, Jumat (11/10/2024).

Fajry mengatakan, jika pemerintah bersikukuh akan menurunkan PPh badan, tentunya akan ada dampak ke penerimaan negara. Ada risiko fiskal mengingat kontribusi PPh badan menjadi salah satu yang terbesar.

"Terlebih. janji politik Prabowo memerlukan banyak dana. Tentu kita tidak mau mengorbankan sisi kehati-hatian fiskal," jelas dia.

Opsi Lain Dorong Penerimaan Negara

Melihat kodisi yang terjadi, lanjut Muhammad Anwar, sangatlah penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan opsi lain untuk menjaga penerimaan negara tanpa memperparah ketimpangan sosial. Pemerintah bisa mengeksplorasi beberapa langkah alternatif.

Pertama, memperkuat pengawasan dan penegakan pajak. Salah satu cara paling efektif dan berkelanjutan untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan memperkuat pengawasan dan penegakan aturan pajak yang ada, terutama di kalangan korporasi besar dan individu kaya.

Pasalnya, masalah penghindaran pajak dan penggelapan pajak masih menjadi tantangan besar bagi banyak negara, termasuk Indonesia.

"Pemerintah dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa harus menaikkan pajak dengan menutup celah-celah yang memungkinkan perusahaan besar menghindari kewajiban mereka, seperti melalui transfer pricing atau praktik-praktik penghindaran pajak internasional lainnya," jelas Anwar.

Kedua, pemerintah juga bisa menerapkan pajak progresif atas kekayaan atau aset besar. Menurutnya, ini bisa mempertimbangkan penerapan pajak kekayaan atau pajak aset bagi individu dengan kekayaan besar.

Pajak ini dapat dikenakan pada akumulasi aset yang melebihi ambang tertentu, seperti properti mewah, investasi saham besar, atau aset finansial lainnya.

"Pajak kekayaan ini lebih adil karena lebih banyak dibebankan kepada mereka yang memiliki kemampuan finansial yang besar, daripada masyarakat umum yang bergantung pada pendapatan konsumsi," jelas Anwar.

Ketiga, kebijakan anti penghindaran pajak. Dalam hal ini, kata Anwar, pemerintah juga bisa memperkuat aturan antipenghindaran pajak, terutama bagi perusahaan multinasional yang sering memanfaatkan celah-celah hukum untuk mengurangi kewajiban pajak mereka.

Melalui kerja sama internasional dan pembenahan regulasi domestik, pemerintah dapat mengamankan penerimaan pajak yang seharusnya dibayarkan oleh entitas bisnis besar.

Terakhir adalah diversifikasi sumber penerimaan negara. Pemerintah, menurut Anwar, harus mulai lebih serius mencari sumber pendapatan negara di luar sektor perpajakan. Salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan pendapatan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Terlebih, banyak BUMN besar yang memiliki potensi untuk memberikan dividen lebih besar kepada negara jika dikelola dengan lebih efisien dan profesional.

"Pemerintah perlu memastikan bahwa BUMN mampu beroperasi dengan transparansi dan efisiensi sehingga bisa menjadi sumber penerimaan negara yang lebih besar," pungkas dia.

Prianto Budi Saptono menyambung bahwa opsi lainnya untuk mendorong penerimaan negara sebenarnya sudah diputuskan oleh pemerintah melalui UU HPP. Pertama, ada perluasan objek PPh Pasal 21 yg mencakup imbalan natura/kenikmatan. Kedua, ada penambahan lapisan tarif PPh Pasal 21 dan PPh orang pribadi di 35 persen untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.

Ketiga, ada perluasan objek PPN karena fasilitas nonobjek PPN di Pasal 4A Ayat 2 dan 3 UU PPN dikurangi. Keempat, ada rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mulai 2025.

Baca juga artikel terkait PERPAJAKAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi