Menuju konten utama

Mengenal secara Dekat Muslim Cyber Army

Seorang admin di belakang grup MCA mengklaim mereka memproduksi informasi "asli", bukan hoaks.

Mengenal secara Dekat Muslim Cyber Army
Akun-akun dan grup-grup yang terafiliasi dengan "Muslim Cyber Army" menguat pasca-Pilkada Jakarta 2017. Tirto/Sabit

tirto.id - Buat saudara-saudaraku Muslim Cyber Army (MCA)

Mari segera aktifkan dan panaskan kembali mesin-mesin perang kalian...

Bakar lagi ghirah dan semangat kalian...

Aktifkan kembali akun-akun kalian...

Saat ini bukan waktunya untuk tidur, sebab perjuangan baru saja dimulai...

Hari ini, Gadget kalian adalah senjata kalian...

Paket internet adalah peluru kalian...

Mari kita menangkan opini publik di media sosial...

Mari kita bungkam kebohongan dan fitnah mereka...

Mari kita hancurkan penggiringan opini lewat media-media milik mereka...

Begitu pesan artikel berjudul “Buat Muslim Cyber Army, Gadget Kalian Adalah Senjata Kalian,” yang diunggah di portal-islam.id pada 23 Mei 2017. Postingan ini merayakan "kemenangan ganda" atas kekalahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilkada Jakarta, serta vonis dua tahun penjara terhadap sang petahana dalam kasus "penistaan agama" pada 9 Mei 2017.

Meski target lawan dari seruan macam ini sangat sumir—yang membangkitkan imajinasi sebagai peperangan lewat kata "menang", "bungkam", "hancurkan"—tetapi informasi seperti ini semakin lumrah di media sosial dan internet, serta menyebar lewat aplikasi chat macam WhatsApp dan Telegram, setelah pembelahan dukungan suara politik pasca-Pilpres 2014.

Pilkada Jakarta tahun lalu adalah lanjutannya, dalam tahap yang lebih brutal. Gemanya masih bakal lama, menurut para peneliti media, setidaknya untuk dua tahun mendatang terlebih ketika media mainstream pun semakin partisan.

Andi, yang minta namanya disamarkan serta melarang kami menautkan akun grup Facebook yang dikendalikannya—demi menghindari polisi gampang melacaknya—mengatakan bahwa gerakan Muslim Cyber Army alias MCA "menguat di media sosial" seiring serangkaian demonstrasi anti-Ahok di Jakarta dalam panggung Pilkada tahun lalu.

Andi adalah salah satu pembuat grup sekaligus pengendali akun MCA (alias admin) yang tinggal di Dumai, Provinsi Riau. Ia berkata bahwa MCA dibuat untuk mengadang "isu negatif oleh pihak lawan" di dunia maya.

“Sejak isu penistaan agama, akhirnya kawan-kawan inisiasi untuk menamakan diri Muslim Cyber Army,” ujarnya kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Kamis pagi kemarin.

Ia bilang bahwa yang disebut "musuh" oleh kawan-kawan dia adalah para "cebongers," sebutan bagi pendukung Ahok dan Presiden Joko Widodo yang mendukung pemerintah melalui opini di dunia maya.

“Ini murni membela Islam,” klaim Andi.

Melalui jejaring media sosial, ujar Andi, MCA membuat wadah perkumpulan melalui grup-grup Facebook secara tertutup dan mulai "bekerja masif" pada awal tahun lalu. Di grup itu mereka membahas informasi terhangat soal isu dan pemberitaan terkait Islam, lalu menyebarkan ke linimasa. Andi menyebut ada banyak grup dan akun yang terafiliasi dengan MCA dengan beragam jenis nama.

“Ada yang menggunakan nama muslim, ada juga yang biasa,” kata Andi.

Ada syarat bagi setiap anggota yang ingin menjadi pengikut di grup MCA. Umumnya adalah mewajibkan para calon anggota untuk mengisi kolom pertanyaan dengan menulis kalimat syahadat secara akurat. Selain itu sumpah atas nama Allah bahwa si calon mencintai habib.

“Syarat itu dipakai agar (grup) tidak disusupi,” kata Andi. Ia bilang "hampir semua grup yang terafiliasi dengan MCA" mengajukan syarat serupa.

Jika disetujui oleh admin, salah satunya oleh Andi, si calon anggota langsung diterima sebagai pengikut MCA. Mereka lantas boleh dan bebas berkomentar atau memposting informasi, menulis secara kritis terhadap informasi yang dibagikannya (framing), agar para pengikut lain menyukai atau membagikan di linimasa.

Andi mengatakan, banyak akun dalam jaringan grup MCA membuat opini tandingan soal isu terhangat dan mengkritik pemerintah.

Andi berkata kepada reporter Tirto bahwa ia membuat puluhan grup jejaring MCA di Facebook sejak awal tahun lalu. Dari grup-grup ini Andi menyerahkan pengelolaannya kepada "orang kepercayaan" yang memiliki tujuan sama, yakni "membela kepentingan umat muslim."

Ia menolak nama-nama grup MCA itu dipublikasikan sebagai bahan pemberitaan, tetapi ia menegaskan tak ada afiliasi dengan partai politik atau bahkan sampai didanai oleh kalangan tertentu.

“Tidak ada pendana dan tidak ada pimpinannya,” kata Andi.

Mengklaim Tidak Memproduksi Hoaks

Sesudah penangkapan ke-14 anggota MCA oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri, dengan tuduhan menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian, Andi lewat sebuah grup MCA yang dibuatnya menulis panduan kepada para anggota agar terhindar dari jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Ada delapan poin kiat tersebut, termasuk menggunakan sumber tepercaya dan menautkan sumber aslinya, menghindari penyebutan nama, menghindari postingan yang menyulut kebencian kepada kepala negara, ketua lembaga atau sejenisnya, serta menghindari postingan yang menjurus pada suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).

“Itu beberapa tips yang bisa digunakan... selamat bermedia sosial dengan sehat,” tulis Andi.

Andi mengklaim, semua postingan yang terdapat di linimasa grup MCA adalah "asli, bukan hoaks."

“Kami tidak menyebarkan hoax, semua sesuai fakta,” kata Andi.

Ia mencontohkan postingan video penyerangan ulama yang disebutnya "nyata" karena didapat MCA dari lokasi kejadian.

“Itu video asli dari warga yang tinggal dekat lokasi kejadian. Cuma karena mereka tidak berani, mereka kirim ke kami dan kami yang posting,” katanya.

Namun, apa yang dikatakan Andi berbeda dari pernyataan polisi. Inspektur Jenderal Setyo Wasito, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, mengatakan bahwa MCA memiliki kepentingan politik terkait informasi yang mereka sebarkan di media sosial.

Penyerangan ulama serta informasi yang beredar soal "kebangkitan Partai Komunis Indonesia", ujar Setyo, adalah upaya kampanye hitam menjelang Pilkada 2018.

Setyo berkata bahwa kepolisian masih terus mengungkap jejaring politik yang "menggunakan" grup-grup MCA dalam menyebarkan kabar bohong.

“Ini sedang kita dalami. Artinya, kalau ingin terbukti konspirasi, nanti akan terlihat, siapa berbuat apa, siapa bertanggung jawab kepada siapa, nanti akan ketahuan. Kami akan ungkap semua," kata Setyo, Kamis kemarin.

Infografik HL Indepth MCA

"Tidak Terkait dengan Partai Politik"

Meski mengklaim tak berafiliasi dengan partai politik, Andi membenarkan bahwa MCA adalah barisan pendukung terdepan di media sosial bila menyinggung "kepemimpinan muslim."

Pada Pilkada DKI 2017, menurut Andi, jejaring MCA ikut bekerja menggalang opini di media sosial untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Usaha ini diklaim Andi sebagai kesuksesan jejaring MCA di dunia maya.

“Yang memenangkan Anies itu, kan, berkat MCA juga,” klaim Andi.

Ia mencontohkan pembelaan MCA kepada pasangan Anies-Sandi dalam kasus pelanggaran kampanye bagi-bagi sembako menjelang hari pemungutan suara, 19 April 2017.

“Seperti misalnya kubu sebelah bagi-bagi apa sebelum pemilihan, itu kami munculkan videonya. Karena ada video asli,” klaim Andi. “Kami tidak dibayar, semata demi Pak Anies menang.”

Dikonfirmasi soal ini, Sandiaga Uno menolak berkomentar. Seraya mengelak pertanyaan yang diajukan reporter Tirto diBalai Kota, Kamis kemarin, Sandiaga menimpali agar para wartawan melontarkan pertanyaan lain.

Naufal Firman Yursak, mantan wakil ketua tim media Anies-Sandi, mengatakan tak mengetahui soal dukungan MCA di balik kemenangan Anies-Sandiaga.

"Tim sosial media Anies-Sandi terdaftar di KPUD, silakan dicek," kata Naufal.

"Dalam Pilkada maupun Pemilu, setiap netizen tentu punya hak sebagai warga negara untuk mengungkapkan dukungan kepada salah satu calon, kami tidak bisa melarang mereka," tambahnya.

"Banyak sekali pihak yang kami kenal maupun yang kami tidak kenal, termasuk tidak pernah berhubungan, tetapi menyatakan dukungan terbuka kepada Anies-Sandi di media sosial," ujar Naufal.

"Dukungan saat itu memang dari mana-mana. Fenomena ini juga dialami kandidat lain," tambahnya.

Naufal berkata bahwa sejak 27 Maret 2017 dalam putaran kedua, timnya membentuk "Satgas Anti Hoax" dengan tujuan memerangi hoaks sebagai "komitmen melawan kabar bohong yang beredar di media sosial."

"Kami juga aktif melaporkan ke polisi soal hoax yang menyerang kandidat kami," lanjutnya.

Andi berkata bahwa isu "kepemimpinan muslim" terus disuarakan MCA untuk Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Jejaring media sosial MCA bergerak untuk memenangkan calon yang "membela Islam" pada Pilkada di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Dalam Pilpres 2019, MCA memunculkan nama Prabowo Subianto.

“Ibaratnya memilih pemimpin yang berpihak kepada Islam,” tegas Andi.

“Kami tidak ada kaitan dengan [siapa yang memberi] dana dan hanya inisiatif diri sendiri,” lanjutnya.

Guna menguatkan dukungan terhadap "pemimpin muslim" via jejaring grup MCA, untuk konteks Pilkada Jawa Barat, Andi membuat grup Facebook yang mengusung pasangan Mayjen (purn) Sudrajat dan politikus Ahmad Syaikhu. Pasangan ini diusung oleh PKS, Gerindra, dan PAN. Grup ini dibuat Andi sekitar tiga bulan lalu dan kini beranggotakan lebih dari 1.000 akun.

Namun, Andi menegaskan bahwa bentuk dukungan macam ini tidak atas dasar instruksi dari para politisi maupun partai politik tersebut.

“Tidak ada,” ujar Andi, singkat.

=======

KOREKSI: Naufal Firman Yursak, mantan wakil ketua tim media Anies-Sandiaga, meminta hak koreksi atas bagian kalimat bahwa pengakuan dukungan politik macam dari warganet kelompok MCA kepada pasangan Anies-Sandi pada Pilkada tahun lalu sebagai hal "wajar".

Kata "wajar" adalah kesimpulan redaksi dari kutipan langsung Naufal. Kami memperbaiki kalimat tersebut ke dalam kalimat langsung, serta tambahan kalimat berikutnya.

Atas hal ini, redaksi menyatakan keliru. Terima kasih.

Baca juga artikel terkait KASUS UJARAN KEBENCIAN atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam