Menuju konten utama

Sedih dan Marah Tumpah Usai Vonis 2 Tahun untuk Ahok

Sesudah vonis 2 tahun dibacakan hakim, rasa sedih, nelangsa, kesal, dan marah ditumpahkan ratusan pendukung Ahok.

Sedih dan Marah Tumpah Usai Vonis 2 Tahun untuk Ahok
Pendukung Basuki Tjahaja Purnama menangis setelah Majelis Hakim memberikan vonis hukuman dua tahun kepada Ahok, Jakarta, Selasa (9/5). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Segera setelah Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto membacakan vonis 2 tahun penjara buat Ahok, massa anti-Ahok yang mayoritas dari Front Pembela Islam meneriakkan takbir seraya sujud syukur.

Mereka merayakan kemenangan. Mereka telah berhasil menyeret Ahok menjadi tersangka. Mereka telah genap mendorong Ahok diproses pidana sejak Ahok mengutip Al-Maidah ayat 51 di Pulau Pramuka, 27 September tahun lalu, sampai akhirnya divonis bersalah, Selasa kemarin.

Di atas panggung besar bernama Pilkada DKI Jakarta, lewat aksi-aksi jalanan dengan bumbu agama, mereka sukses menjungkalkan karier Ahok.

Sebaliknya, hanya dipisahkan pembatas kawat berduri, seorang pendukung Ahok terlihat berteriak histeris menumpahkan duka. Duduk di trotoar sambil menggenggam mawar merah dan memegang ponsel, ia tampak tenggelam dalam kesedihan. Seorang temannya berusaha menenangkan dengan mengelus kepala dan menepuk-nepuk pundaknya.

Di lokasi yang sama, seorang pria berbalut kemeja kotak-kotak menampakkan raut wajah marah. Matanya mendelik, dua tangannya mengepal dan nyaris meluapkan semua emosi. Dua rekannya menenangkan. Mereka merangkulnya.

Wajah sedih, tangisan, kosong, merenung, dan lesu, bersamaan dengan tawa di kubu sebaliknya, merayap di ruas Jalan RM Harsono, tempat Auditorium Kementerian Pertanian dipakai sebagai ruang pengadilan untuk sidang Ahok.

Seorang perempuan bahkan terbaring di badan jalan. Ia sesenggukan seraya lengannya menutup matanya. Dua perempuan lain berpelukan, tangisnya pecah. Jejeran sebatang bunga mawar merah dan putih yang melambangkan bendera Indonesia, yang menghiasi trotoar, terinjak-injak oleh mereka, ratusan pendukung Ahok, tak peduli dan diabaikan.

Mendadak ada kesenyapan, lalu muncul teriakan. Orang-orang menumpahkan rasa kesal. Mereka merutuk. Mereka menganggap vonis hakim tidak memenuhi rasa keadilan.

“Ahok kamu tidak berjalan sendirian. Kami akan berada di sisimu,” seorang orator di atas mobil komando di dekat Tugu Keadilan membuang rasa kecewanya.

Ia lantas meminta massa mengheningkan cipta diiringi lagu “Gugur Bunga”. Para pendukung Ahok makin histeris. Menjelang lagu itu usai, seorang perempuan di balik kerumunan berteriak: "Kalian pikir kalian senang, ya? Jahat kalian!” Ia mengarahkan suaranya kepada massa anti-Ahok.

Orang-orang mulai menolehkan perhatian ke pusat orasi. Si orator lantas memanggil Denny Siregar, orang yang pernah bikin marah para penggiat anti-Semen Indonesia gara-gara tulisannya mendegradasikan perjuangan petani Kendeng yang melakukan aksi semen kaki di depan Istana Negara.

Denny naik ke mobil komando. “Tanyakan kepada warga Kepulauan Seribu," ujarnya. "Tanyakan kepada mereka, siapa penista agama? Tidak ada.”

“Di mana keadilan?”

“Ini tidak adil. Ini adalah hasil intimidasi.”

“Saya yakin Ahok menjadi martir, jadi tonggak sejarah Indonesia.”

"Kita akan terus perlihatkan sampai kita mendapatkan satu pengakuan," ujar Denny melanjutkan. "Waktunya tidak ada satu golongan pun untuk mengintimidasi kita. Bebaskan Ahok!" teriak Denny.

INFOGRAFIK HL Vonis Ahok

SEGERA setelah sidang selesai, para pendukung Ahok mulai membubarkan diri. Sebagian dari mereka mendatangi Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, lokasi yang diperintahkan hakim buat tempat Ahok mendekam di tahanan. Mereka menyusul Ahok dengan menumpang Metromini.

(Baca: Kenapa Ahok Hanya Ditahan di Rutan?)

Di depan rutan, massa kembali berorasi. Mereka meminta pembebasan Ahok dan mendesak pembubaran Front Pembela Islam. “Tangkap Habib Rizieq!” ujar orator perempuan melalui pelantang suara.

Setengah jam setelahnya, massa tak bisa lagi mengendalikan emosi. Kesal dan marah, massa mendorong gerbang rutan setinggi lima meter, melempar gelas plastik air mineral ke polisi yang berjaga-jaga di balik pagar rutan.

"Percuma ditahan," ujar seorang di tengah kerumunan. "Negara sudah jadi negara barbar. Hancur-hancurin aja semua." Ia berkata sengit.

Suasana makin kalut ketika seorang perempuan berusaha mendobrak gerbang dengan tongkat kayu. Ia menangis histeris dan mengundang perempuan lain untuk ikut mendorong gerbang.

Orator menyemangati massa: "Semuanya, ibu-ibu, maju. Kita dorong pintunya."

Aksi dorong-mendorong gerbang rutan itu berselang satu jam.

Komisaris Besar Andry Wibowo, Kepala Polres Jakarta Timur, harus keluar menenangkan massa. Dari dalam rutan, ia menuju kerumunan pendukung Ahok.

“Suasana tolong dijaga kondusif,” katanya.

Andry kembali ke dalam rutan. Tak lama, ia muncul ke hadapan massa Ahok.

“Beliau sedang melaksanakan ibadah dengan keluarga dan pendeta," ujar Andry di atas mobil komando. "Beliau berpesan kepada teman-teman untuk kembali ke rumah. Seandainya teman-teman ingin mendukung beliau, bisa melalui jalan konstitusi."

"Kami tidak akan meninggalkan Pak Ahok sendirian," orator massa membalas. "Karena kita tahu Pak Ahok telah melakukan pekerjaannya dengan dedikasi untuk warga Jakarta."

Kecewa, massa membakar atribut dan poster tepat di depan gerbang. Lantaran aksi ini, Jalan Bekasi Timur Raya dialihkan oleh petugas kepolisian.

Semakin malam, orang-orang makin ramai mendatangi Rutan Cipinang. Mereka lantas menyalakan lilin. Mereka berduka. Bahkan ketika Djarot Saiful Hidayat datang menjenguk Ahok, para pendukungnya tetap bertahan di depan rutan. Mereka enggan pulang meski Djarot menyarankan.

"Kalau kalian cinta Jakarta," ujar Djarot sesudah menjenguk Ahok, "saya mohon kalian pulang. Kalau kalian tidak mau pulang dengan tertib, berarti kalian tidak cinta Pak Ahok."

"Kalau Anda cinta Jakarta, Anda cinta Indonesia, saya minta kalian pulang.”

Namun, sebagian besar relawan bergeming. "Lihat enggak saya tadi menentang itu? Pokoknya Pak Djarot keluar dulu sebentar saja," ujar Rebecca Siregar. "Bukan kita enggak nurut sama Pak Ahok dan Pak Djarot, tetapi kita udah di bawah bayang-bayang ... Ah, ini sudah enggak benar hukumnya!"

Baca juga artikel terkait VONIS AHOK atau tulisan lainnya dari Hendra Friana & Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana & Andrian Pratama Taher
Editor: Fahri Salam