tirto.id - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan perkara Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama dengan vonis 2 tahun penjara. Ahok diperintahkan untuk ditahan di Rutan Cipinang, Jakarta Timur. Jabatan Ahok sebagai Gubernur Jakarta pun turut berakhir setelah diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Putusan hakim itu segera memunculkan hitung-hitungan nasib karier politik Ahok.
Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), mengatakan, Ahok masih bisa mencalonkan diri sebagai gubernur meski pernah menjadi terpidana. Syaratnya, ia harus bisa menjelaskan kasus hukum yang pernah menjeratnya dan berapa lama ia menjalani hukuman.
“Kalau dia misal mau berkompetisi lagi menjadi gubernur atau jadi apalah, yang berkaitan dengan undang-undang Pemilu—Pilkada maksud saya—itu masih bisa,” ujar Bivitri kepada Tirto melalui telepon, kemarin.
Banyak calon dalam kontestasi Pilkada yang dulunya mantan narapidana, meski dikecam oleh publik, lanjut Bivitri.
Meski demikian, karier politik Ahok hanya bisa mencalonkan sebagai gubernur atau wakil gubernur dalam kontestasi Pilkada. Lebih tinggi lagi tidak.
“Kalau menteri itu tidak bisa, karena yang dilihat ancaman pasalnya, bukan berapa tahun vonisnya,” ujarnya.
Tim pengacara Ahok mengajukan banding atas putusan hakim memakai pasal 156a KUHP dengan vonis 2 tahun penjara. Pasal ini menyatakan terpidana dihukum selama-lamanya lima tahun. Bagaimana nasib karier politik Ahok selanjutnya?
Makanya saya agak kaget juga, dijeratnya bukan pasal 156 yang ancamannya 4 tahun, tapi 156a yang ancamannya 5 tahun. Yang dilihat, misalnya dari Undang-Undang Kementerian Negara, adalah ancaman hukuman, bukan pada vonis hukuman. Jadi debat dulu waktu Ahok mau diberhentikan, itu bisa akan terjadi lagi.
(Catatan: wawancara dilakukan sebelum Mendagri Kumolo mengangkat Djarot Syaiful Hidayat sebagai pelaksana tugas Gubernur Jakarta)
Tapi kalau karier politik, tergantung jabatan apa yang dibicarakan. Kalau Ahok misalnya mau berkompetisi lagi menjadi gubernur atau jadi apalah, yang berkaitan dengan undang-undang Pemilu—Pilkada maksud saya—itu masih bisa. Karena dari sistem kita, walaupun masih banyak dikritik memang, orang yang sudah dipidana tetap bisa mencalonkan. Nanti dia tetap mengumumkan saja: berapa lama dipenjara dan alasannya apa. Masih bisa jika terpilih menjabat lagi, tergantung jabatan politiknya apa.
Apakah tidak berbenturan?
Saya belum melihat sampai situ. Yang jelas, kalau dia mau menjadi gubernur dalam rezim Pilkada kita sih, sekarang sudah banyak juga tuh, bahkan terpidana korupsi, bisa tetap mencalonkan diri, asalkan mereka menjelaskan berapa lama dia dipenjara dan alasannya apa. Itu aja sih sebenarnya.
Ini penegasan: jadi Ahok bisa mencalonkan lagi dalam kontestasi Pilkada asal ia menjelaskan alasan dari kasus yang pernah menjeratnya?
Bukan ke vonisnya (putusan hakim), yang terpenting dia menjelaskan alasan hukuman yang pernah menjeratnya.
Kalau untuk menjadi calon gubernur masih bisa, tinggal nanti dipilih atau tidak, begitu saja sih. Tapi kalau untuk jadi menteri itu tidak bisa, karena ada Undang-Undang Kementerian Negara. Jadi misalkan putusan banding nanti tidak lebih tinggi, misal hanya 1 tahun, tapi karena dia dijerat dengan pasal 156a (yang dilihat adalah ancaman hukuman di pasal tersebut), dia tetap tidak bisa dipilih menjadi menteri.
Pokoknya jabatan yang dipilih melalui Pilkada, Ahok masih bisa. Tapi kalau jabatan lain, harus dilihat per kasusnya, saya tidak bisa menggeneralisir. Karena kita harus lihat Ahok mau memilih jabatan politiknya apa, kemudian kita lihat undang-undang yang terkait dengan jabatan itu undang-undang apa.
Bagaimana jika Ahok bebas dalam putusan banding?
Kalau bebas, hak politiknya kembali seperti semula. Nah, sekarang, kan, belum memiliki kekuatan hukum tetap. Dia masih bisa banding, bisa jadi hakim di tingkat pengadilan banding atau pengadilan tinggi memvonis Ahok bebas. Jadi secara karier politik, Ahok bisa menjadi apa saja.
Kalau melihat kasus yang sama, apakah memungkinkan Ahok dalam putusan banding bisa bebas?
Saya kira agak susah. Karena faktor hakim memutuskannya seperti apa, tidak ada parameternya, apa yang bisa dilihat? (Pasal) penistaan agama ini banyak sekali dipakai, dan variannya banyak, dan saya tidak tahu (kecenderungan putusannya di tingkat banding).
Kalau (kasus) korupsi, kan, banyak yang mengajukan banding. Jadi kecenderungannya, kalau dapatnya Hakim Artidjo (Aalkostar), putusan banding bisa lebih tinggi, misalkan. Nah, kalau penistaan agama ini tidak ada polanya, dan tidak ada patronnya.
Saya kira, kalau saya prediksi, agak sulit, ya. Karena ini banyak mainan politiknya juga. Aspek hukum satu hal, tetapi ada aspek politiknya. Misalnya ada analisis: Oh, mungkin ini Jokowi—apa namanya—barterlah, atau menahan sampai Ahok dikasih (vonis) dua tahun dulu, atau mungkin nanti di pengadilan tinggi putusannya bebas. Jadi banyak faktor yang, menurut saya sih, tidak bisa diprediksi dari sekarang.
Saya kira yang bisa dilakukan adalah kita kaji dulu putusannya. Kita lihat penafsirannya hakim seperti apa dalam pasal itu, dan kemudian alat bukti apa yang dipakai dan patut enggak alat-alat bukti itu (dipakai). Kuat enggak pertimbangannya untuk memutus? Dan, kalau misalnya ada kecenderungan yang ngaco, kita bisa melapor ke Komisi Yudisial.
Soal putusan hakim yang melebihi tuntutan jaksa, ada yang menyatakannya ultra petita. Bagaimana pendapat Anda?
Kalau secara hukum boleh. Tetapi secara politik masih bisa kita tanyakan: Apa yang menyebabkan hakim tidak mengikuti tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum?
Tapi kalau secara hukum, apakah ini masuk ultra petita atau enggak? Sebenarnya tidak. Karena konsep ultra petita itu lebih tepat ke hukum perdata. Kalau hukum pidana, hakim itu memang boleh memutus lebih dari tuntutan jaksa. Itu menurut keyakinan hakim sesuai fakta-fakta persidangan. Jadi secara koridor hukum, hakim boleh-boleh saja mengambil pasal 156a, toh dalam konteks hukum, tidak ada permasalahan juga.
Ada undang-undang kekuasaan kehakiman yang mengatakan bahwa hakim memang bisa memutus berdasarkan keyakinan dia. Asal dia memiliki alasan yang tepat.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam