Menuju konten utama

Polemik Ultra Petita dan Penahanan dalam Vonis Ahok

Ultra petita menjadi kontroversi. Di satu sisi dianggap dapat memenuhi rasa keadilan. Di sisi lain dinilai sebagai keputusan cacat hukum.

Polemik Ultra Petita dan Penahanan dalam Vonis Ahok
Pendukung Ahok menyalakan lilin bersama dalam aksi menuntut dibebaskanya Ahok atas putusan sidang kasus dugaan penistaan agama di depan Rutan Cipinang, Jakarta, Selasa (9/5). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis dua tahun penjara kepada terdakwa kasus penodaan agama Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama. Putusan yang dibacakan di Auditorium Kementerian Pertanian Jakarta Selatan ini memicu kontroversi, salah satunya vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih berat dari tuntutan jaksa.

Dalam sidang 13 Desember tahun lalu, Jaksa Penuntut Umum menjerat Ahok dengan dua dakwaan alternatif, pasal 156 dan pasal 156a KUHP. Namun, dalam sidang pembacaan tuntutan pada 20 April, jaksa menjerat Ahok dengan Pasal 156. Mereka meminta majelis hakim menghukum Ahok penjara 1 tahun dengan masa percobaan dua tahun.

“Pertimbangan memberatkan, perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan masyarakat dan menimbulkan kesalahpahaman masyarakat antar-golongan rakyat Indonesia,” kata Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono.

Berbeda dari tuntutan jaksa, majelis hakim memvonis Ahok dengan Pasal 156a. Mantan Bupati Belitung Timur itu dihukum penjara selama dua tahun. Ahok dinilai "secara sah dan meyakinkan" melakukan tindak pidana penodaan agama.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara selama dua tahun penjara,” kata Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto.

Baca Laporan awal Desember kami mengenai profil Hakim-hakim Kasus Ahok

Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, dalam rilis tertulis kepada wartawan, menyebut putusan hakim yang melampui tuntutan sebagai ultra petita. Dalam pandangan Yusril, hakim bukan hanya bertugas menegakkan hukum. Tapi juga menegakkan keadilan. Pertimbangan rasa keadilan itulah yang menurutnya membuat hakim memvonis Ahok melampaui tuntutan jaksa.

“Seperti saya katakan dua minggu yang lalu, hakim bisa saja menghukum Ahok lebih berat dari tuntutan jaksa. Vonis seperti itu disebut vonis ultra petita,” ujar Yusril.

Ultra petita adalah istilah hukum yang berarti putusan melebihi apa yang dituntut (petitum). Sejumlah ahli hukum pidana yang diwawancara reporter Tirto mengatakan ultra petita tidak dikenal dalam hukum pidana. Istilah kontroversial ini biasanya berlaku dalam lingkup hukum kasus perdata. (Baca, misalnya, wawancara dengan Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara, yang mengatakan konsep ultra petita lebih tepat dipakai hukum perdata)

Teuku Nasrullah, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, mengatakan vonis hakim kepada Ahok tidak termasuk ultra petita. Sebab, meski vonis melebihi tuntutan jaksa, hakim masih menggunakan salah satu pasal yang digunakan jaksa untuk mendakwa Ahok, yakni pasal 156a.

“Bukan (ultra petita)," ujarnya. "Itu kewenangan hakim.”

Contoh putusan ultra petita, kata Nasrullah, pernah terjadi dalam sidang kasasi Mahkamah Agung untuk perkara sengketa tanah Kedungombo di tahun 1991.

Ketika itu Hakim Agung (alm) Prof Z. Asikin Kusumah Atmadja memutuskan ganti rugi berkali lipat untuk harga tanah yang dimohonkan pemohon (penduduk Kedungombo) dari Rp1.000 per meter persegi menjadi Rp50 ribu. Meski akhirnya keputusan Asikin dibatalkan lewat peninjauan kembali Mahkamah Agung, tapi ultra petita yang dibuatnya dinilai telah memenuhi rasa keadilan penduduk.

Chairul Huda, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, mengatakan ultra petita hanya berlaku dalam lingkup hukum perdata. Ia tidak bisa diberlakukan dalam putusan atau vonis hukum pidana.

“(Ultra petita) itu istilah dalam perdata. Dalam pidana, tidak ada,” ujar Huda.

“Hakim tidak terikat pada tuntutan. Hakim hanya mengacu pada dakwaan dan fakta persidangan dalam membuat putusan. Tuntutan jaksa hanya bahan pertimbangan,” katanya.

Meski begitu, faktanya ultra petita pernah diterapkan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi untuk menghukum advokat Susi Tur Andayani. Ketua majelis hakim Gosyen Butarbutar menghukum Susi dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp150 juta subsidair tiga bulan kurungan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hal ini hakim menggunakan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP untuk dakwaan kesatu dan Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP untuk dakwaan kedua. Keputusan hakim berbeda dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan Pasal 12 huru c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Huda menilai keputusan hakim dalam perkara Susi salah kaprah. “Itu ngawur. Dalam kasus Susi, hakim telah bertindak sebagai penyidik, penuntut, dan hakim sekaligus.”

Ultra petita itu vonis cacat hukum.”

INFOGRAFIK HL Vonis Ahok

Kontroversi Penahanan

Tak lama setelah vonis hakim dibacakan, Ahok langsung ditahan di Rumah Tahanan Cipinang. Hal ini membuat salah satu pengacara Ahok, Tommy Sihotang, murka. “Ini bukan penahanan. Ini pelanggaran HAM yang dilakukan majelis hakim."

Menurut Tommy, Ahok tidak bisa ditahan karena kuasa hukum sudah menyatakan banding. Artinya, putusan hakim belum bersifat tetap.

“Ini pelaksanaan (penahanan) Ahok dasarnya apa? Dalam rangka eksekusi? Ini belum mempunyai kekuatan hukum tetap.”

Tapi Romli Atmasasmita, ahli hukum dari Universitas Padjadjaran, berpendapat berbeda. Menurutnya, Ahok tidak bisa berkelit dari penahanan meski dengan alasan telah mengajukan banding. “Banding tidak banding tetap ditahan.”

Romli menjelaskan penangguhan penahanan hanya bisa dilakukan saat seseorang masih berstatus sebagai tersangka atau terdakwa. Sedangkan bagi terpidana seperti Ahok, penangguhan penahanan tidak bisa dilakukan. Termasuk di pengadilan tingkat banding nanti. “Undang-undang KUHAP mengatur begitu,” ujar Romli.

Berbeda dengan Romli, Huda berpendapat bahwa banding yang diajukan kuasa hukum Ahok membuat Ahok kembali berstatus sebagai terdakwa. “Ahok masih terdakwa karena dia banding. Sehingga statusnya belum terpidana,” kata Huda.

Sebagai terdakwa, kata Huda, Ahok bisa mendapatkan penangguhan penahanan. Sepanjang majelis hakim tingkat banding menyetujuinya. “Boleh (penangguhan penahanan). Tapi nanti penangguhan oleh majelis hakim banding,” ujar Huda.

Baca juga artikel terkait VONIS AHOK atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Hukum
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Fahri Salam