tirto.id - “Pak Dwi,” begitu salah seorang Pengamanan Dalam (Pamdal) Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyapa Dwiarso Budi Santiarto. Ada juga sebagian pegawai lain yang memanggil orang nomor satu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu dengan sebutan “Pak Ketua.”
Dwiarso sudah enam bulan ini menjabat Ketua PN Jakarta Utara. Pada 20 April lalu, surat mutasi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Mahkamah Agung menempatkan Dwi mengemban tugas baru sebagai Ketua PN Jakarta Utara. Sebelumnya, lelaki kelahiran 14 Maret 1962 itu menjabat Ketua PN Semarang. Di sana Dwi menjabat sejak 22 Agustus 2014. Ia dilantik langsung oleh Ketua Pengadilan Tinggi Semarang, Muhammad Daming Sanusi.
Tak banyak yang bisa diceritakan dari lelaki pemilik kumis tebal itu. Menurut Baron, seorang Pamdal di PN Jakarta Utara, Dwi adalah sosok yang irit bicara. Suaranya baru keluar ketika Pamdal mengawal Dwi mengantarnya ke ruang sidang.
“Ya ngobrol kalau dia lagi kita kawal, tanya-tanya keamanan,” kata Baron saat berbincang dengan Tirto di gedung sementara PN Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada No. 17, Jakarta Pusat, Kamis kemarin.
Namun kesaksian yang lain disampaikan Adi, seorang petugas kebersihan. Alih-alih menyebut Dwi irit bicara, ia justru bercerita kalau Dwi adalah orang yang sangat humoris. Bahkan Adi menilai Dwi orang yang jenaka.
"Suka bercanda kok," kata Adi yang mengaku memang ditugaskan untuk, salah satunya, membersihkan ruang ketua hakim PN Jakarta Utara.
Dwiarso memang sedang jadi perbincangan sejak ditetapkan sebagai hakim ketua perkara dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dwi bakal menyidangkan Ahok pada Selasa, 13 Desember, pekan depan. Dia didampingi empat hakim anggota: Abdul Rosyad, I Wayan Wirjana, Joseph V Rahantokman, dan Jupriyadi. Kelima hakim ini memang bertugas di PN Jakarta Utara.
Juru Bicara PN Jakarta Utara Hasoloan Sianturi menolak memberi komentar sosok hakim Dwiarso. Dia memilih irit bicara ketika ditanya keseharian atasannya itu.
“Saya kira pertanyaan itu tidak terlalu tepat ditujukan kepada saya,” ujar Hasoloan saat ditemui Tirto di ruang kerjanya, kemarin. Namun dia menegaskan, sebagai hakim, Dwiarso menjalankan tugasnya secara profesional.
Bagaimana Dwi menjalani profesi sebagai hakim, sedikitnya tergambar lewat tuturannya sendiri dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Penghubung Komisi Yudisial (PKY) Jawa Tengah bersama Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam diskusi pada November lalu itu Dwiarso berujar: “Hakim juga manusia biasa yang memiliki iman tebal dan tipis, maka perlu adanya pengawasan,” seperti dikutip dari radarsemarang.com.
“Selain Komisi Yudisial, diperlukan juga peran serta masyarakat ketika hakim menyidangkan perkara. Memang secara tidak langsung sudah diawasi malaikat, namun sifatnya hanya abstrak, jadi perlu pengawasan nyata.”
Dwiarso sadar, profesinya sebagai “wakil Tuhan”, yang sangat bisa menentukan hidup mati seseorang, memang sangat rentan jika tidak diawasi. Jika hakim tidak diawasi, demikian pengandaian Dwi, ini bisa seperti pengendara motor yang berani melanggar lampu lalu lintas karena tidak dijaga petugas kepolisian.
“Demikian juga pada iman hakim. Maka perlu adanya pengawasan Komisi Yudisial dan masyarakat. Kami juga selalu berusaha meningkatkan kualitas putusan sebagai bentuk pelayanan publik agar tidak sampai terganggu,” kata Dwi yang mulai bertugas sebagai hakim sejak 1986 ini.
Ketukan Palu Hakim Dwiarso
Sebagai hakim yang harus independen, Dwiarso, menurut Hasoloan Sianturi, tak pernah menemui tamu di ruang kerjanya. Bahkan sejak namanya diumumkan sebagai hakim ketua untuk perkara Ahok, dia sama sekali menolak berbicara. Wajar jika keseharian Dwiarso sedikit diketahui.
Namun, di balik sosok pendiam, dia sudah malang melintang di dunia hukum Indonesia. Dwiarso dikenal kerap menangani peradilan kasus korupsi dan hubungan industrial.
Sepanjang menjabat Ketua PN Semarang, Dwiarso telah mengeluarkan banyak putusan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah putusannya memvonis kalah Gubernur Ganjar Pranowo dan Pemprov Jawa Tengah dalam sengketa lahan seluas 237 hektar di Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan Jawa Tengah pada 2015. Sejak itulah nama Dwiarso mulai dikenal di Semarang.
Perkembangan kasus itu pun sesuai vonis yang diberikan Dwi di pengadilan tingkat pertama. Pada November lalu, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Ganjar Pranowo. Kabarnya Ganjar bakal melakukan upaya peninjauan kembali kasus sengketa lahan tersebut.
Sepak terjang Dwiarso bukan hanya dalam perkara perdata. Pada 2014, misalnya, ketika baru menjabat Ketua PN Semarang, pegawai negeri sipil golongan IV D itu memutus perkara kasus korupsi yang menjerat teman satu profesi. Pada 22 April 2014, Dwi memvonis bersalah Asmadinata, mantan hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, dan memberikan hukuman 5 tahun penjara atau denda Rp200 juta.
Asmadinata terbukti secara hukum menerima hadiah dan janji (gratifikasi) ketika masih menjabat hakim ad hoc. Pada November 2014, sidang kasasi untuk kasus itu, yang dipimpin ketua kamar pidana Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar, memperberat hukuman Asmadinata, menjadi dua kali lipat atau 10 tahun penjara.
Perkara korupsi yang ditangani PN Semarang ketika Dwiarso menjabat bukan hanya itu. Pada Februari 2015, PN Semarang menjerat mantan Bupati Karang Anyar, Rina Iriani Sri Ratnaningsih. Iriani terbukti bersalah dalam kasus korupsi subsidi perumahan Griya Lawu Asri (Kabupaten Karanganyar tahun 2007-2008. Rina divonis 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta atau dengan menjalani tiga bulan kurungan.
Siapa hakim ketua yang menyidangkan Rina Iriani? Siapa lagi jika bukan Dwiarso.
Hukuman Rina Iriani pun semakin berat di tingkat kasasi. Pada Oktober 2015, MA menolak permohonan kasasi Rina Iriani. Majelis menyatakan, Iriani terbukti melakukan tindak pidana korupsi proyek perumahan itu dan memperberat uang pengganti. Semula diminta membayar Rp7,87 miliar, MA memperberatnya menjadi Rp11,8 miliar dengan subsider tiga tahun penjara.
Kasus-kasus besar yang ditangani Dwiarso, seperti sudah diuraikan di atas, didasarkan landasan yang solid karena diperkuat oleh pengadilan di tingkat banding, baik di tingkat pengadilan pinggi maupun kasasi di Mahkamah Agung.
Kekayaan Dwiarso
Karier Dwi sebagai ketua pengadilan negeri bermula pada 2011. Saat itu ia ditunjuk Ketua PN Depok. Dia sudah resmi berstatus pejabat negara. Salah satu kewajibannya adalah melaporkan harta dan kekayaannya kepada KPK.
Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyenggara Negara pada 2011, Dwiarso memiliki kekayaan sebesar Rp1,5 miliar. Dia hanya memiliki sebuah rumah di Jakarta selatan dengan tanah seluas 318 meter persegi dan luas bangunan 150 meter persegi. Sementara untuk kendaraan bermotor, ia hanya memiliki dua mobil, yakni kijang toyota (dibeli tahun 2001) dan Honda CR-V keluaran tahun 2007 (dibeli 2011).
Ada peningkatan signifikan dari data sebelumnya, yaitu data 2001, yang baru mencapai Rp296 juta. Namun perubahan itu berlangsung dalam rentang cukup lama: 10 tahun. Pada 2001 itu Dwiarso belum memiliki rumah. Dia baru bisa membelinya pada 2008 dengan taksiran harga Rp726 juta. Sedangkan untuk giro, pada 2001, ia memiliki Rp90 juta dan bertambah Rp296 juta pada 2011.
Penambahan harta kekayaan lain, yakni harta bergerak yang terdiri logam mulia dan lainnya, pun tidak terlalu signifikan. Pada 2001 Dwiarso memiliki harta bergerak senilai Rp57 juta dan pada 2011 menjadi Rp99 juta.
Data 2011 ini pun sebenarnya sudah terhitung lama. Kekayaan Dwiarso dari 2011 sampai 2016 belum diketahui karena tidak tersedia LHKPN Dwi terbaru. Data LHKPN pada 2011 adalah data terakhir yang tersedia.
Maradaman Harahap, komisioner Komisi Yudisial, menganggap LHKPN Hakim Dwi masih terbilang wajar.
"Saya pikir normal-normal saja. Kan begini, dulu, mungkin beliau beli tanah harganya murah, kemudian sesuai perkembangan, harganya naik. Kan bisa itu investasi. Jadi sekarang uang Rp1 miliar rasanya enggak terlalu banyak, harga mobil saja Rp400 juta lebih," kata Maradaman kepada Tirto, hari ini (9/12).
Komisioner KY di bidang rekrutmen hakim ini menganggap laporan tersebut bisa saja ditelusuri ulang jika ada orang yang melaporkan kejanggalan.
"(Hakim Dwi) bukan orang kaya itu," ujar Maradaman.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Zen RS