tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengritik langkah Mahkamah Agung yang menunjuk sembilan hakim karier pilihan untuk bertugas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, April 2009. Menurut ICW, enam dari sembilan hakim itu ternyata pernah membebaskan terdakwa korupsi. Salah satunya Jupriyadi.
Mutasi Jupriyadi dan lima hakim lain menjadi hakim Pengadilan Tipikor dinilai cacat hukum. "Ini melanggar UU Nomor 30 tahun 2002, Pasal 56 Ayat 4. Di sana disebutkan, dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Tipikor, Ketua MA wajib mengumumkan kepada masyarakat. Tapi selama ini kita tidak pernah melihat,” kata Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW.
Lalu apa catatan yang dimiliki ICW soal Jurpiyadi?
Ternyata hakim alumni sarjana dan pascasarjana UGM itu pernah membebaskan enam terdakwa korupsi saat bertugas di PN Muara Bulian, Jambi. Enam terdakwa itu terlilit kasus korupsi dinas tenaga kerja dan transmigrasi dan penjualan tanah negara di Batanghari, Jambi.
Vonis Menteri dan Wali Kota yang Korupsi
Namun setahun kemudian, April 2010, Jupriyadi selaku ketua majelis hakim seolah ingin membuktikan bahwa keraguan ICW tak berdasar. Dia memvonis mantan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi 2 tahun 3 bulan penjara dalam kasus pengadaan alat kesehatan di Departemen Kesehatan. Menteri era pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati itu juga didenda Rp100 juta subsider tiga bulan penjara karena terbukti merugikan negara Rp. 104 miliar.
Tujuh bulan kemudian, Jupriyadi terlibat dalam majelis hakim Tipikor yang memvonis Jornal Effendi Siahaan, mantan kepala biro hukum pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan 8 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Tak hanya itu, terdakwa juga wajib membayar uang pengganti Rp. 4,6 miliar yang ditilepnya.
Menurut Jupriyadi selaku hakim anggota, peran Jornal sangat besar. Atas perintah terdakwa, para staf di Biro Hukum memenangkan perusahaan tertentu dalam pengadaan iklan hukum tahun 2006-2007 dan pencairan dana honorarium tenaga ahli. "Akibatnya, beberapa perusahaan dan terdakwa sendiri diuntungkan karena perbuatan ini," kata Jupriyadi yang melewati pendidikan dasar di SD Bopkri Minggir, sekolah yang dikelola oleh sebuah yayasan pendidikan Kristen.
Pengacara terdakwa, Djonggi Simorangkir, menilai vonis itu terlalu berat.
Selain memvonis menteri, Jupriyadi juga pernah memvonis Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Jefferson Soleiman Montesqiue Rumajar yang berstatus non-aktif, divonis 9 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta subsider dua bulan kurungan. Vonis memang lebih ringan dibanding tuntutan jaksa 13 tahun.
Selain pidana penjara dan denda, Jupriyadi juga menghukum terdakwa dengan kewajiban membayar uang pengganti Rp. 31 miliar. Angka itu berasal dari kerugian negara Rp. 33,7 miliar dikurangi uang terdakwa yang disita penyidik dan diserahkan ke BPK Rp. 2,7 miliar.
"Jika dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap uang pengganti tidak dibayar, maka harta benda terdakwa disita oleh jaksa dan dilelang. Jika harta benda terdakwa tak mencukupi, dipidana dengan pidana penjara selama dua tahun," kata Jupriyadi di Pengadilan Tipikor, 10 Mei 2011.
Dilaporkan ke Ketua MA
Meski menjatuhkan sejumlah vonis kepada para koruptor, Jupriyadi ternyata pernah tersandung satu kasus yang membuatnya dilaporkan ke Ketua MA. Bukan kasus yang ditangani Pengadilan Tipikor, tapi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pada 18 April 2011, Gelora Tarigan, kuasa hukum Koran Purba, menyampaikan laporan tiga halaman kepada MA. Isinya, menuding Jupriyadi telah melanggar UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Kode Etik, serta Perilaku Hakim terkait penanganan kasus dengan terdakwa residivis Sulindro.
Berdasar laporan itu, pada 13 April, Jupriyadi selaku ketua majelis hakim telah melakukan persidangan di R. 202 tanpa dihadiri para hakim anggota dan terdakwa. Sidang yang diikuti jaksa dan penasihat hukum itu memang pada akhirnya memutuskan bahwa sidang ditunda seminggu.
“Tetapi, justru hakim ketua Jupriyadi tanpa kehadiran hakim anggota, panitera, dan terdakwa telah memimpin sidang di ruangannya sendiri yang hanya dihadiri penasihat hukum dan seorang jaksa, dengan acara pembelaan tetapi sidang ditunda satu minggu,” kata Gelora.
Atas tingkah itu, Geloran meminta agar Jupriyadi dipanggil MA dan diberi sanksi pemberhentian sementara sebagai ketua majelis.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Fahri Salam