Menuju konten utama
Hendardi:

"P-21 Kasus Ahok Begitu Cepat dan Tidak Lazim"

Kejaksaan Agung dinilai tidak menjalankan proses hukum yang fair dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama. Terhitung hanya tiga hari setelah menerima berkas penyidikan dari polisi, pihak kejaksaan menyatakan penyidikan polisi sudah P-21 dan kemudian melanjutkannya ke pengadilan. Padahal berkas Ahok mencapai 826 halaman.

Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi menyampaikan petisi bersama tokoh dan masyarakat sipil untuk perdamaian Jakarta dan Indonesia di Jakarta, Selasa (1/11). Hendardi dalam petisinya mengajak semua lapisan masyarakat agar mengutamakan nilai-nilai perdamaian serta kerukunan menjadi perhatian semua elemen bangsa, bukan hanya proses Pilkada tetapi berkelanjutan untuk menjaga eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/foc/16.

tirto.id - Kejaksaan Agung dinilai tidak menjalankan proses hukum yang fair dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama. Terhitung hanya tiga hari setelah menerima berkas penyidikan dari polisi, pihak kejaksaan menyatakan penyidikan polisi sudah P-21 dan kemudian melanjutkannya ke pengadilan. Padahal berkas Ahok mencapai 826 halaman.

Cepatnya proses penetapan P-21 dan pelimpahan ke pengadilan menunjukkan Kejaksaan Agung tidak mengkaji secara cermat konstruksi peristiwa. Pendapat itu disampaikan Hendardi, Ketua Setara Institute yang peduli dengan keberagaman dan kesetaraan.

“Kesannya Kejaksaan Agung seperti melempar bola panas. Tidak mau memegang bola panas lama-lama,” kata Hendardi kepada Kukuh Bhimo Nugroho dari Tirto, Jumat (9/12/2016).

Kini, menjelang peradilan dimulai, Hendardi menyarankan agar lokasi persidangan dicarikan tempat yang memudahkan polisi melakukan pengamanan dengan baik. Tujuannya agar meminimalisir kemunculan keriuhan massa yang bisa mengganggu independensi hakim.

“Lokasi persidangan menurut saya mengkhawatirkan, karena saya kira akan dikepung dan menjadi sangat tidak independen bagi para hakim. Sangat mengancam hakim sehingga tidak bisa memutuskan secara independen,” katanya.

Mengapa Hendardi menyebut kasus ini “diada-adakan”? Mengapa dia pesimis terhadap persidangan ini? Berikut wawancaranya:

Bagaimana Anda melihat proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama yang dituding melakukan penistaan agama?

Proses peradilan, artinya mulai dari kepolisian, kejaksaan dan nanti sampai persidangan, menurut saya tampak ganjil pada proses di kejaksaannya. Suatu proses yang begitu cepat dan tidak lazim. Walaupun itu tidak dilarang.

Biasanya kejaksaan dalam memeriksa suatu berkas hingga P-21, minimal membutuhkan waktu 14 hari. Itu umumnya. Ini hanya dalam hitungan tiga hari setelah terima berkas, membuat pernyataan bahwa hasil penyidikan polisi sudah P-21 dan dua jam kemudian langsung menyerahkan ke pengadilan. Kesannya Kejaksaan Agung melempar bola panas. Tidak mau memegang bola panas lama-lama.

Apa keganjilan lain yang Anda tangkap?

Mungkin bukan keganjilan, tapi perlu kita waspadai dan bisa kita antisipasi adalah soal tempat sidang. Lokasi persidangan menurut saya mengkhawatirkan karena akan dikepung dan menjadi sangat tidak independen bagi para hakim. Sangat mengancam hakim sehingga tidak bisa memutuskan secara independen.

Saya punya usulan agar tempat dipindah. Sebab sudah banyak preseden atau yurisprudensinya. Beberapa perkara menunjukkan lokasi sidang bisa dipindah. Dan saya kira harus dicari tempat di mana hakim bisa dijamin independensinya. Kedua, juga buat kepentingan publik yang bakal menghadiri persidangan, sehingga tidak ada satu kelompok yang mendorong atau mengintimidasi yang lain.

Ketiga, memberi keleluasaan aparat keamanan dan terutama kepolisian untuk mengamankan dengan baik. Kalau lokasinya dekat dengan sentra ekonomi seperti di PN Jakarta Pusat atau PN Jakarta Utara, saya nggak yakin itu akan beres.

Anda seperti cemas dengan kemungkinan tekanan yang luar biasa buat para hakim, jaksa, ataupun pengacara terdakwa?

Kalau prediksi saya, itu yang akan terjadi. Itu yang mesti kita antisipasi berdasarkan pengalaman persidangan-persidangan kasus semacam ini. Tekanan-tekanan cukup besar. Oleh sebab itu muncul usulan pemindahan tempat untuk mengantisipasinya. Setidaknya hal-hal itu bisa diminimalisir.

Bagaimana Anda menilai lima hakim yang bakal mengadili Ahok?

Saya tidak kenal hakim-hakim itu. Saya juga tidak punya catatan tentang mereka. Tapi saya kira, siapapun hakimnya, pengadilan akan cukup transparan karena akan diliput media dan diawasi oleh publik.

Bagaimana Anda melihat kasus Ahok dari awal?

Kalau melihat kasusnya dari awal, saya bilang tidak ada unsur penistaan agama. Tapi ini, kan, lebih dipolitisir dan banyak orang memanfaatkan dengan kepentingan politik masing-masing.

Saya melihat konstruksi dari pernyataan Ahok di Pulau Seribu itu. Maksudnya tidak seperti itu. Tapi memang kemudian dijadikan abu-abu. Bisa dilihat dari kiri maupun kanan dengan peserpekstif berbeda. Menurut saya, sih, sebenarnya tidak ada perkara ini. Bagi saya, perkara ini suatu perkara yang diada-adakan.

Sebagai perkara yang menurut Anda “diada-adakan”, artinya vonisnya nanti juga bisa “diada-adakan”?

Justru itu. Karena pada akhirnya harapan kita adalah di pengadilan, maka harus diminimalisir kemungkinan vonisnya juga diada-adakan. Artinya kalau memang dia tidak bersalah, harus bisa dinyatakan sebagai tidak bersalah. Memang harapan itu menjadi kecil karena ini proses peradilan di Indonesia.

Tapi ya itulah hal terakhir yang bisa kita lakukan. Kalau misalnya digelar di PN Jakut dengan risiko yang bisa kita duga, misalnya ada kepungan massa, mana bisa para hakim independen? Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan soal tempat. Mencegah orang untuk datang juga susah. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisir dengan suatu tempat peradilan yang dijauhkan, agar massa tidak bertindak ekstrim atau mengintimidasi yang lain. Termasuk mengintimidasi pengadilan.

Bukankah “tekanan” juga tetap ada meski misalnya pengadilan digelar di tempat yang sepi?

Betul. Tentu saja para hakim tidak akan bisa lepas dari pengaruh seperti itu. Keyakinan dirinya tentu tidak akan bisa dilepaskan dari pengaruh-pengaruh semacam itu. Harapan terakhirnya agar para hakim bisa membuat keputusan jernih.

Kira-kira vonis seperti apa yang bakal dijatuhkan majelis hakim terhadap Ahok?

Saya belum tahu. Saya tidak bisa prediksi. Saya hanya punya harapan kecil bahwa hakim akan membuat keputusan sejujurnya. Tapi kalau bicara prediksi, saya sebetulnya lebih pesimis. Tapi ya inilah... Indonesia masih begini.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Indepth
Reporter: Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Zen RS