Menuju konten utama

Ahok Mustahil Menjabat Presiden, Menteri, bahkan Anggota DPR

Dalam sejarah kasus pidana penodaan agama, baru pertama kali inilah seorang gubernur divonis penjara. Karier politik Ahok selanjutnya bakal berakhir.

Ahok Mustahil Menjabat Presiden, Menteri, bahkan Anggota DPR
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama selaku terpidana kasus penistaan agama menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Vonis 2 tahun oleh Majelis Hakim yang dijatuhkan untuk Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama langsung jadi perhatian publik. Media sosial dipenuhi simpati untuk Ahok atas ketidakadilan yang diterimanya. Nama “Ahok” pun menjadi topik tren di Twitter.

Di tengah hiruk-pikuk warga internet untuk Ahok, para pendukung Ahok menyelipkan harapan dalam cuitannya. Ada dari antara mereka yang menebar harap sekaligus berpikir positif bahwa penjara adalah ujian untuk Ahok agar ditempa menjadi manusia yang lebih baik.

Akun @tertin6 misalnya, mencuit harapannya untuk Ahok: “Sejarah mencatat banyak pemimpin-pemimpin besar harus mengalami masuk penjara seperti Soekarno, Nelson Mandela, dan 2019. Vote Ahok for Presiden!”

Cuitan itu membalas postingan @rahung yang mengajak warga internet menuntut keadilan untuk Ahok. “KTP saja ada sejuta. Tunjukkan! Jangan hanya sibuk dengan jempol dan menghina buruh yg demo. Saatnya tuntut keadilan untuk #Ahok.”

Erry Eka Setyawan‏, pemilik akun @erkas89, juga tak mau kalah. Ia menyemai harapannya untuk Ahok pada masa mendatang: “Minimal 2019 Wakil Presiden, Pak,” dengan tagar #Ahok #SaveAhok #AhokTakBersalah.

Pada cuitan itu Erry menyertakan foto Nelson Mandela tengah duduk di dalam tahanan. Pada foto itu diberi kutipan kata-kata tokoh asal Afrika Selatan itu: “In My Country, We Go To Prison First and then Become President". Sebuah isyarat bahwa Ahok kelak akan menjadi presiden Indonesia.

Kenyataan Pahit

Harapan tentu boleh saja, tapi kenyataan kerap berbeda. Ahok divonis hakim dengan menggunakan pasal 156a KUHP tentang penistaan agama dengan ancaman maksimal 5 tahun. Ini akan berdampak terhadap karier politik Ahok.

(Baca: Asal-Usul Delik Penodaan Agama)

Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), mengatakan pasal yang menjerat Ahok memastikan Ahok tidak bisa menjadi menteri sepanjang karier politiknya ke depan. Sebab, dalam pasal 22 ayat 2(f) Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan seseorang yang "melakukan tindakan pidana yang diancam ... penjara 5 tahun atau lebih" tidak boleh diangkat menjadi menteri oleh presiden.

“Karena yang dilihat dari oleh pasal itu memang ancaman hukuman di pasalnya, jadi bukan vonis hukumannya. Karena dia (Ahok) dijerat dengan pasal 156a, bahkan sekarang pun, misalnya (dalam putusan banding) dikuatkan dengan hukuman yang sama, yakni 2 tahun lagi, tidak menjadi 5 tahun, Ahok tetap tidak bisa jadi menteri,” kata Bivitri kepada Tirto, kemarin.

Baca wawancara dengan Bivitri Susanti soal hitung-hitungan karier politik Ahok dalam hukum di Indonesia

Begitupun bila Ahok berkeinginan menjadi presiden atau wakil presiden seperti harapan pendukungnya. Mengacu pada Peraturan KPU nomor 15 tahun 2014 tentang pencalonan dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, dalam pasal 10 huruf n, disyaratkan bahwa riwayat calon presiden maupun wakil presiden tidak boleh pernah dipidana dengan ancaman hukuman penjara lima tahun atau lebih.

Untuk menjadi anggota DPR pun, Ahok tidak bisa karena ada aturan yang sama.

Namun, Zainal Arifin Mochtar, dosen hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, berpendapat berbeda. Menurutnya, rentang ancaman pidana itu masih berpotensi menimbulkan perdebatan.

“Kalau dilihat, dulu pernah ada perdebatan yang sama soal ini, apakah Ahok diberhentikan atau tidak? Memang tergantung penafsirannya, ada yang menafsirkan kejahatan paling lama 5 tahun itu bukan di atas lima tahun,” ujar Zainal.

Sebenarnya, lanjut Zainal, masalah utamanya pada pasal 156a yang merupakan pasar karet. Pasal ini menurutnya tidak terkait dengan kasus public distrust. Sehingga kemungkinan Ahok untuk menjadi menteri atau pejabat publik masih terbuka.

“Misalnya korupsi atau tindak kejahatan lain yang terkait public distrust. Tapi itu tetap saja akan jadi perdebatan,” tambahnya.

(Baca: Upaya Menghapus Pasal Penistaan Agama)

Infografik HL Ahok Tak Bisa Jadi Presiden

Karier Lain untuk Ahok

Jabatan publik yang bisa tetap dikejar Ahok adalah gubernur, kepala desa, atau ketua RT dan RW. Untuk menjadi gubernur, seorang mantan narapidana hanya cukup menjelaskan kasus yang menjeratnya kepada publik. (Lihat UU nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan atas peraturan pemerintah tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota)

“Seingat saya memang diperbolehkan," ujar Zainal. "Keputusan MK waktu itu, kalau tidak salah, ada kewajiban untuk men-declare kasusnya. Tapi balik lagi, itu kan untuk kasus yang terkait dengan public distrust. Apakah (pasal) 156a itu masuk public distrust?”

Meski secara aturan hukum karier politik Ahok dipersulit, peluang Ahok melenggang bebas masih ada. Banding yang diajukan tim pengacara Ahok belum dimulai. Tetapi upaya hukum lanjutan ini sesuatu yang sulit buat dimenangkan. Jika melihat sejarahnya, nyaris tidak ada seorang pun, dalam sejarah politik Indonesia mutakhir, yang bisa lepas dari jerat pasal karet itu.

(Baca: Mereka Dipenjara karena Didakwa Menista Agama)

Kesempatan itu agaknya juga tidak akan digunakan oleh Ahok. Ia menegaskan tidak bersedia bahkan jika ada tawaran menjadi menteri dalam Kabinet Kerja Presiden Jokowi, begitu pula dalam kontestasi Pilpres 2019 nanti.

"Enggak masuk partai politik, enggak jadi menteri, enggak jadi staf presiden, semua enggak," kata Ahok. "Mau jadi gubernur aja susah, apa lagi mau jadi wapres. Kafir mana boleh jadi pejabat di sini?" sindirnya.

Ahok justru sudah merencanakan pilihan lain.

"Aku mau bikin 'Ahok Show' dengan salah satu stasiun televisi. Tapi dengan revenue sharing, ya. Jadi kalau terima iklan berapa, bagi sayalah, 20-30 persen. Kita ngajar aja, mendidik saja, " ungkapnya.

Baca juga artikel terkait VONIS AHOK atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam