Menuju konten utama

Asal-Usul Delik Penistaan Agama

Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dipastikan tak akan lolos dari jeratan pidana. Hanya ada satu hal yang bisa menolongnya, yaitu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Presiden Jokowi. Pasal karet yang menerjang Ahok, selalu ampuh dimanfaatkan di luar kepentingan hukum.

Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto memberikan keterangan kepada media hasil gelar perkara kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Basuki Tjahja Purnama alias Ahok di Gedung Rupatama, Mabes Polri, Jakarta, Rabu (16/11). TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Sangat sulit untuk lolos dari dakwaan penistaan agama. Sangat sedikit para tersangka kasus penistaan agama bisa bebas dari dakwaan.

Direktur Komite Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono juga memprediksi Ahok tak akan lolos jika dijerat Undang-undang No.1/PNPS/1965 Pasal 156a. Apalagi jika secara subjektif, pasal junto Undang-undang ITE juga dikerahkan untuk menjeratnya.

“Saya pikir susah untuk Ahok mengelak dengan pasal yang sedemikian karet seperti ini. Susah orang bisa melepaskan diri. 156a saja akan susah melepaskan diri, apalagi juncto UU ITE. Dari rumusan pasalnya ada membuka ruang banyak penafsiran. Pasal ini sekali kena tidak akan bisa lepas,” tegas Supriyadi saat berbincang dengan tirto.id, Rabu (16/11/2016).

Prediksi Supriyadi ditopang sekian banyak kasus-kasus penistaan agama yang pernah terjadi. Berdasarkan hasil risetnya, hanya ada lima orang dalam kasus penistaan agama secara bersama-sama yang pernah lolos. Itu pun terjadi cukup lama.

Pada 23 April 1977, di halaman belakang Komando Sektor Kepolisian Cempaka, terjadi suatu upaya penistaan agama secara beramai-ramai. Kaceng dan Rojiki mengencingi Kitab Suci Al Quran. Abu Bakar mengentuti Al Quran. Sedangkan Hotibi dan Enuh menginjak-injak Al Quran. Kelima orang tersebut melakukannya di hadapan para pelajar yang sedang lewat dan aparat kepolisian. Hal tersebut dituturkan Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin dalam buku Delik Agama Dalam Hukum Pidana di Indonesia (Angkasa: 1993).

Namun, setelah melalui serangkaian proses peradilan yang panjang, Pengadilan Negeri Purwakarta, membacakan amar putusan bahwa para terdakwa berada dalam suatu keadaan pemeriksaan oleh pihak berwajib. Mereka melakukan penistaan agama di bawah tekanan dan ancaman. Maka dari itu lima terdakwa tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

Kelima orang tersebut diakui telah melalui proses penangkapan secara tiba-tiba, penahanan satu malam penuh tanpa makan dan minum, dan pemeriksaan secara maraton. Saat dipaksa Peltu Tajudin melakukan perbuatan yang dituduhkan, mereka dalam keadaan ketakutan, lapar, dahaga, kurang tidur. Terlebih aparat yang memaksanya mengatakan berani menanggung dosa.

Selain kasus tersebut, seluruh terdakwa tak pernah lolos dari jeratan pidana. Berdasarkan hasil penelitian Siti Aminah dan Muhammad Khoirur Roziqin dari Indonesian Legal Resource Center, didapati ada 63 kasus penodaan agama. Hasil riset yang dimuat dalam Jurnal Keadilan Sosial, Edisi V tahun 2015 tersebut, berdasarkan penelusuran dari 1968 hingga 2014. Namun tentu saja 63 kasus tersebut belum menjangkau seluruh kasus yang pernah ada.

Beberapa tahun lalu, persisnya pada 2012, seorang pemimpin jemaat di Gereja Bethel Tabernakel, Shekinah, Bandung, Jawa Barat, dibebaskan dari dakwaan penistaan agama. Heidi Eugenie, sang terdakwa, dinilai telah menista agama karena menyebut ular yang menggoda Adam dan Hawa pada Kitab Kejadian separuhnya berbadan perempuan. Ia diadili namun dibebaskan oleh pengadilan.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/11/16/HL-Praperadilan-1.jpg" width="860" alt="INFOGRAFIK HL Penetapan AHok Menjadi Tersangka" /

Akar Sejarah Hingga Digunakan di Luar kepentingan hukum

Rumusan pasal 156a dalam KUHP lahir melalui proses panjang. Pasal tersebut sengaja dibuat atas desakan kelompok mayoritas muslim terhadap minoritas. Namun, jauh sebelum KUHP, delik penistaan agama ini bisa dilacak akarnya sejak era kolonial.

Pemerintah kolonial mencoba memperkenalkan hukum positif di kepulauan Hindia Belanda. Untuk melakukan hal itu, pada 1809, Belanda memperkenalkan Het Crimineel Wetboek Voor het. Cerita berlanjut hingga 77 tahun kemudian. Seperti Dituturkan Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin dalam buku bertajuk Delik Agama Dalam Hukum Pidana di Indonesia', pada 1 September 1886 Belanda membuat KUHP sendiri yang disebut dengan ‎Nederlandsch Wetboek van Straftrech.

Kala itu KUHP dibagi menjadi empat buku yang masing-masing diperuntukkan ke kalangan tertentu. ‎Beberapa di antaranya untuk golongan penduduk Eropa yang berisi hanya kejahatan-kejahatan saja. Begitu juga untuk golongan penduduk Indonesia dan Timur Asing, berisi hanya kejahatan-kejahatan saja. Namun, ada pula untuk golongan Eropa yang berisi hanya pelanggaran-pelanggaran saja. Sedangkan yang lain yaitu untuk penduduk golongan Indonesia dan Timur Asing yang memuat hanya pelanggaran-pelanggaran saja.

Kemudian pada 1 Januari 1918 barulah keempat buku itu diganti menjadi Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch India. Pada era penjajahan Jepang, tentara Jepang membuat KUHP baru yang disebut Guinsei Keijirei. Tentara Jepang kala itu tak menghapus KUHP Belanda, sehingga di wilayah yang sekarang menjadi Indonesia berlaku dua KUHP.

Hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, kedua KUHP tersebut masih tetap berlaku. Barulah pada 20 November 1958, Indonesia menyerap dua jenis KUHP tersebut menjadi satu KUHP yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA), dijelaskan asal mula munculnya pasal 156 dalam KUHP. Pasal tersebut diambil dari pasal 124A dan 153A dalam British Indian Penal Code. Isinya berupa larangan mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan.

Indriyanto Seno Adji menilai, sebelum Indonesia merdeka, pasal 156 KUHP dimaksudkan untuk memberantas gerakan kebangsaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Padahal pasal tersebut tak ada dalam KUHP di negara Belanda. Objek perbuatan pidana pasal 156 KUHP tersebut ialah “golongan penduduk”.

Penegasan tentang penistaan agama terjadi di era Sukarno. Ketetapan No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, diterbitkan Sukarno untuk mengakomodir permintaan dari organisasi-organisasi Islam yang ingin melarang aliran kepercayaan. Mereka menganggap aliran kepercayaan bisa menodai agama yang ada di Indonesia. Ketetapan Sukarno tersebut disarikan menjadi pasal 156a KUHP.

Merujuk laporan Human Right Watch berjudulAtas Nama Agama yang diterbitkan pada Februari 2013, pada awal dekade 1960an kalangan konservatif muslim menganjurkan pemerintahan Sukarno mengambil tindakan terhadap ajaran mistisisme, termasuk kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan yang dianggap menodai Islam.

Kemudian pada 27 Januari 1965, Sukarno sepaham dengan kalangan muslim konservatif tersebut, menganggap hampir di seluruh Indonesia timbul aliran-aliran dan organisasi-organisasi kebatinan atau kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Maka Sukarno menerbitkan Ketetapan No.1/PNPS/1965.

Dijelaskan dalam lampiran ketetapan itu terkait gambaran situasi nasional saat ketetapan dibuat. Kala itu dianggap banyak bermunculan perbuatan-perbuatan para pemeluk aliran-aliran tersebut yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama. Maka dari itu, dalam keadaan darurat Sukarno mengeluarkan UU tersebut. Dari sanalah muncul UU Penodaan Agama. Dari sanalah pasal 156a disisipkan dalam susunan KUHP.

Pasal 156, sebagai bagian induk, lebih ditujukan untuk mengatur suatu golongan tertentu. Proses pemidanaannya akan dimulai bila tidak mengindahkan peringatan keras, pembubaran, atau pelarangan. Dalam hal ini yang berhak merumuskan peringatan keras, pembubaran, atau pelarangan ialah Badan Koodinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Bakorpakem sendiri terdiri dari gabungan Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, dan organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sedangkan pasal 156a, bisa ditujukan secara perorangan. Model penanganannya langsung diproses sebagai tindak pidana melalui pemeriksaan penyidikan dan penuntutan di Pengadilan.

“Sukarno saat itu membentuk kabinet gotong-royong, situasi dalam keadaan darurat. Maka dia mengeluarkan PNPS 65. Cuma di jaman Orde Baru hak itu lebih banyak lagi digunakan untuk menjaga ketertiban umum. Itu yang dipakai dulu jaman Suharto, agar tak ada yang menghina pemerintahan yang sah,” ungkap Supriyadi.

Berdasarkan data Amnesty Internasional yang diterbitkan pada November 2014, Sukarno memang menandatangani keputusan tersebut pada 27 Januari 1965. Namun, ketetapan tersebut kemudian dijadikan UU pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Hal tersebut termaktub dalam UU No.9 tahun 1969 tentang pernyataan berbagai penetapan presiden dan peraturan presiden sebagai UU.

“Di zaman Orde Baru (pasal 165 dan 165a) itu lebih banyak digunakan untuk menjaga ketertiban umum. Dulu zaman Suharto, (dibuat sebagai tameng) menghina pemerintahan yang sah,” tuturnya.

Bahkan ‎Suharto pada beberapa kesempatan mengerahkan kekuatan mematikan terhadap para aktivis muslim. Misalnya, pada September 1984, militer menembaki demonstran di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Para aktivis tersebut sebelumnya, memprotes 4 rekannya yang ditahan karena terlibat pertengkaran dengan tentara yang masuk Masjid tanpa melepas sepatu.

Sedangkan pada Februari 1989, sesudah militan muda Darul Islam menyerang dan membunuh dua tentara, militer membalas dengan serangan ke sebuah kampung di Talangsari, Sumatera Selatan. Lusinan aktivis Islam dibunuh dan 94 dari mereka ditahan. Kelompok Darul Islam di Talangsari yang dianggap cenderung eksklusif juga dianggap menistakan agama karena dicurigai mempraktikkan ritual yang berseberangan dengan ajaran Islam.

Upaya Negara Melindungi Tuhan

Pengujian UU Penodaan Agama tersebut sempat diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 20 Oktober 2009 silam. Ada sekitar 37 saksi yang didatangkan, mulai dari Arswendo Atmowiloto, Sardy yang selalu ditolak saat mengurus surat kelakuan baik karena penghayat kepercayaan, Franz Magnis Suseno, Luthfi Assyaukanie, J.E. Sahetapy, Soetandyo, hingga Hasyim Muzadi. Namun, MK menjatuhkan putusan menolak permohonan permohonan.

Padahal substansi permohonan terkait konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin adalah otoriter, sentralistik, dan terpusat di tangan Sukarno. Kala itu kehidupan kepartaian dan legislatif lemah, sebaliknya Presiden sebagai kepala eksekutif sangat kuat. Posisi Parlemen kemudian menjadi sangat lemah. Pemerintah tidak lagi dapat dijatuhkan.

Dari sanalah para pemohon meminta agar UU ini dicabut. Mereka beranggapan Sukarno terikat dalam situasi darurat, dan UU Penodaan Agama itu memang bersifat sementara, sehingga bisa saja dicabut karena dirasa sudah tidak lagi relevan.

Pasal 156a dianggap memiliki kerangka pasal-pasal yang menjurus pembelaan negara pada Tuhan. Padahal seharusnya ada batas-batas di mana negara tak boleh intervensi soal kehidupan beragama sebab agama berada di ranah privat.

“Istilahnya, kerangka pasal-pasalnya adalah penghinaan terhadap tuhan. ‎Kalau Tuhan, kan, dalam konteks tertentu enggak perlu dibela. Yang merasa dinodai, kan, pemeluk agamanya yang kemudian bergerak,” ujar Supriyadi.

Peraturan itu melindungi Tuhan yang dipercayai oleh 6 agama yaitu Budha, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Khong Cu (Confusius). Enam agama tersebut merupakan golongan mayoritas yang diakui negara melalui pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Justru agama atau kepercayaan minoritas yang lebih rentan diserang malah tak dilindungi.

“Tapi pasal ini justru bukan melindungi minoritas, tapi untuk menghajar mereka. Agama sempalan, misalnya, justru malah mereka yang dibakar,” tuturnya.

Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menilai, penafsiran atas pasal 156a tersebut bercabang. Praktiknya bisa sangat lentur dan mudah disalahgunakan secara semena-mena. Menurutnya, sejauh ini, pasal terkait penodaan agama tersebut selalu menimbulkan kegaduhan yang dimotori oleh para pelapor.

“Itu selalu diiringi desakan massa. Artinya kasus ini tidak pernah berdiri sendiri sebagai sebuah peristiwa bencana. Tetapi juga ada desakan massa yang mengikuti,” ungkap Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani kepada tirto.id, Rabu (16/11/2016).

Pasal tersebut juga berbenturan dengan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi melalui UU No.12 tahun 2005. Isi dalam pasal 18 UU itu terkait melindungi kebebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama.

“Kita dorong konsepsi penodaan agama itu dibuang,” paparnya.

Namun, dalam Rancangan KUHP (RKUHP), pemerintah justru memecah pasal 156 dan 156a menjadi 6 pasal. Peraturan tersebut diselipkan di BAB VII RKUHP, terkait tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, terdiri dari pasal 348 hingga 353.

Mengantisipasi Rancangan KUHP

Meski baru akan masuk dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR RI, perdebatan terkait redaksional kalimat maupun pengertian dalam setiap pasal sudah lama bermunculan. Aliansi Nasional Reformasi KUHP menganggap, usulan dari pemerintah tersebut menampung banyak pasal mutitafsir.

Beberapa bagian yang menjadi perdebatan ialah terkait frase “agama”. Dalam penelitian Parliement Brief Seri 8 tahun 2016, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Atika Yuanita Paraswaty menilai tak ada definisi agama dalam RKUHP akan mengacu pada UU lain. Bisa dikatakan bahwa hal tersebut akan memunculkan diskriminasi pada agama tak sah yang tergolong sebagai minoritas.

“Tidak hanya melindungi 6 agama utama, tapi semua agama dan aliran kepercayaan. Harusnya (secara redaksional tertulis) agama dan kepercayaan apapun,” jelas Supriyadi.

Di samping itu, dalam pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM), Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz memberikan catatan bahwa pada pasal 348 RKUHP terdapat diksi “penghinaan” terhadap agama susah diukur. Sebab hal tersebut tergantung subjektivitas seseorang. Subjektivitas tersebut yang dianggap berahaya dalam konteks hukum pidana karena dapat disalahgunakan di luar kepentingan hukum.

Berdasarkan hasil perundingan Aliansi Nasional Reformasi KUHP tersebut, yang seharusnya diatur dalam RKUHP ialah terkait hate speech. Hal tersebut terdiri dua aspek. Pertama, seharusnya tindakan kebencian dari kalangan mayoritas ke minoritas harus diatur. Sebab bisa berpotensi menjadi bahan provokasi massa untuk melakukan kejahatan berdasarkan SARA. Kedua, yang harus diatur, terkait perlakuan berdasarkan kekuasaan atau tindakan dari kelompok mayoritas, adalah kebebasan dan kemerdekaan kelompok minoritas yang berpotensi memunculkan gejolak tindakan kekerasan yang masif.

Sedangkan dalam pasal 349, harus diperjelas agar tak dipersalahgunakan. Lalu pada pasal 348 pembatasan hak setiap orang tak memenuhi syarat substantif. Kemudian dalam pasal 350, harus dipertegas berupa tindakan atau hasutan yang bersifat pemaksaan. Di sisi lain, pasal 351 membingungkan sebab memuat hal yang sulit diukur yaitu, kegaduhan.

Di sisi lain, dalam pasal 352 perlu ada delik pembeda. Kritik seharusnya bersifat bebas, tak boleh dilarang dan dihukum. Kegiatan intoleransi tak dikaitkan dengan ancaman pidana. Barulah terkait siar kebencian dan hate crime bisa dijerat dengan ancaman pidana.

“Dalam kerangka toleransi, harusnya yang dipidana ialah syiar kebencian dan hate crime. Tapi kalau kritik, kan, enggak perlu dipidana. Masalahnya batas-batas kritik dengan penghinaan atau syiar kebencian itu tipis,” keluhnya.

Jika ditinjau dari bagaimana pasal penodaan agama tersebut bekerja melampaui kehendak hukum, maka menjadi sarana ampuh untuk menjatuhkan lawan politik atau pribadi yang tak disukai. Terlebih, pemerintah memecah pasal 165 dan 165a masih dalam substansi yang multitafsir dan mengabaikan kelompok mayoritas.

Baca juga artikel terkait PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti